共有

Bab 2. Pertemuan Kembali

作者: Indy Shinta
last update 最終更新日: 2025-11-19 20:30:15

Amara menegakkan punggungnya yang mendadak kaku, napasnya tercekat.

Chandra menatapnya. Sekilas saja, tapi cukup terbaca ekspresi “astaga apa ini” yang melintas di wajah lelaki itu. Kemudian, emosinya terkunci. Datar. Dingin. Seolah Amara hanyalah petugas kasir minimarket tak dikenal yang ia temui lima menit lalu.

Jarak psikologis tiba-tiba muncul di antara mereka, membuat setiap gerakan keduanya jadi terasa canggung. Tiada kehangatan seperti yang pernah tercipta di ranjang sebuah villa di Bali waktu itu.

Wajah Amara memanas, rasa malu memenuhi pipinya dengan semburat kemerahan. Ia cepat-cepat meneguk gelas berisi air minumnya untuk mengguyur rasa panas di sekujur tubuhnya yang mendadak tegang. Sangat tegang seperti karet gelang yang ditarik kencang.

'Tuhan. Tolong selamatkan aku dari situasi ini!'

Tapi jeritan hatinya itu sia-sia.

Tidak, bahkan Tuhan pun seperti tak sudi menolongnya dari situasi yang penuh canggung ini. Mungkin, inilah buah karma yang harus ia petik setelah tertanam pada beberapa bulan yang lalu.

Oh, astaga.

Andai mesin waktu itu ada, rasanya ia ingin kembali ke hari itu. Hanya untuk menolak telepon sialan dari Rina yang menawarinya job tambahan.

“Tamu di Villa Aster minta tambahan satu terapis, sekarang juga. Dua orang udah di sana, tapi ternyata tamunya ada tiga, masih kurang satu lagi. Plisss, Mara! Aku nggak punya orang lain lagi. Villa Aster, cuma dua jam, bayaran double belum termasuk tips."

Bayaran double, belum termasuk tips. Siapa sanggup menolak? Pas tanggung bulan. Gajian masih lama, sementara tagihan sudah menganga di sana-sini.

Tentu saja Amara menerima.

Lagipula Amara sudah terbiasa menghadapi berbagai macam klien pria: bule berotot seperti batu, pengusaha lokal dengan perut buncit tapi pedenya selangit, pria yang sok sibuk sendiri dengan ponsel saat dipijat, sampai bapak-bapak yang sok tahu titik saraf tapi malah menjerit-jerit minta ampun begitu dia tekan.

Tidak salah jika rekannya langsung lari padanya saat dibutuhkan. Apalagi, selama ini Amara selalu bersikap profesional. Wajah Amara yang cantik dan tubuh idealnya selalu membuatnya mendapatkan tawaran berupa tiket liburan, jam tangan mahal, bahkan mobil. Semuanya dengan iming-iming “layanan plus-plus”.

Namun, ia selalu menolak.

Tapi, malam itu entah kenapa...

Klien yang ia tangani bersikap aneh usai Amara membalurkan minyak ke tubuh berotot itu. "Panas," katanya. "Tolong aku," lanjut sosok itu sebelum mendadak menciumnya dengan rakus. Dan lebih aneh lagi, Amara menyambutnya, seperti ada desakan liar yang tak terelakkan tiba-tiba muncul dalam dirinya.

Ada sesuatu yang rasanya familiar dari pria itu, Amara bisa merasakan, tapi tidak bisa menjelaskan

Namun, dari segala kemungkinan yang ada... sungguh, ia sama sekali tak mengira bahwa klien yang sedang bercinta dengannya itu ternyata adik lelakinya sendiri, yang sudah belasan tahun terpisah darinya.

"Tenang, Mara. Tenang!" tegur Amara pada dirinya sendiri.

Tapi, bagaimana dia bisa tenang?

Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan menatap Chandra.

“Uh… hai…” suaranya serak, tercekat. Lalu, ia menunduk, mendadak merasa hina, sangat malu.

Ingin rasanya menjerit sambil menjambak rambutnya sendiri.

Padahal seharusnya, setelah delapan belas tahun terpisah, pertemuan ini bisa menjadi sebuah reuni mengharukan seperti acara "Termehek-mehek" di TV.

“Hai.” Chandra mengangguk singkat. Tangannya menyentuh punggung kursi yang berada tepat di seberang meja Amara, seolah mencari pegangan agar tidak pingsan.

Tanpa menyadari ketegangan yang sedang terjadi, Nyonya Lydia segera menyendokkan nasi ke piring Chandra, dengan presisi tingkat ibu-ibu yang sudah puluhan tahun menghafal porsi makan anak bungsunya.

“Makan dulu, Ndra. Kamu pasti capek, kan? Kamu boleh langsung istirahat setelah ini.”

Ah. Kalimat itu…

Boleh langsung istirahat setelah ini.

Seolah Amara bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk disambut oleh mereka.

“Nah, Amara.” Nyonya Lydia tersenyum bangga. “Ini dia adik yang sejak tadi kau tunggu-tunggu. Pangling, ya? Tinggi dan tampan, kan? Lihat, adikmu tumbuh hebat. Kamu harus belajar banyak darinya.”

Amara tersenyum kecut.

Sejak dulu ibunya suka menyanjung Chandra setinggi langit, sementara dirinya selalu dijatuhkan. Meskipun faktanya adiknya itu memang memenuhi kualifikasi sebagai anak yang patut dibanggakan oleh keluarga Sanjaya: cerdas dan punya banyak prestasi.

Ah. Nostalgia toxic parenting. Nikmat sekali. Amanda teringat ucapan tajam Nyonya Lydia dulu:

“Lihat adikmu! Nilainya selalu di atas rata-rata. Kamu itu kenapa sih, Mara? Dasar bodoh!”

Dan perih itu kembali muncul, seperti memar lama yang disentuh tanpa permisi.

Tapi ada juga kenangan manis. Dulu, setiap kali ia menangis karena tekanan sang ibu, Chandra selalu menghibur dan mendukungnya.

“Jangan nangis dong, Kak. Aku janji deh… besok-besok aku mau bikin nilaiku jelek juga, biar adil.”

“Hus!” Amara menjitaknya. “Salah satu dari kita harus ranking! Biar hadiahnya bisa kita bagi dua!”

Chandra pun meringis memegangi kepalanya yang habis kena jitak, tapi cengirannya itu terus mengembang untuk sang kakak.

Sekarang, senyuman adiknya itu hilang. Tatapannya dingin, datar, seolah kedekatan mereka sudah dipreteli oleh takdir dan dibuang ke tempat sampah organik.

Amara menelan ludah. Kecanggungan di meja makan ini makin mengental.

Setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokan, sementara sikap Chandra yang dingin membuatnya ingin terjun ke jurang Grand Canyon.

Sial.

Seandainya orangtuanya tidak mengancam akan memenjarakan Bik Harni, Amara tidak mau menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

Ia sempat mengira, neraka di rumah ini mungkin sudah padam. Namun rupanya… malah tambah menyiksa.

Setidaknya ia masih punya Chandra. Begitu semula pikirnya.

Tapi ternyata alam semesta, dengan humor gelapnya, memutuskan untuk menamparnya dengan kenyataan brutal:

Ia telah bercinta dengan adiknya sendiri.

***

“Jadi, proyek ekspansi ke Indonesia Timur sudah disetujui, Ndra?”

Suara Tuan Arman memotong kesunyian yang sejak tadi menggantung di ruang makan, jenis kesunyian yang biasanya muncul ketika keluarga tidak punya hal lain untuk dibicarakan… kecuali bisnis.

“Sudah, Pa. Tapi aku masih belum yakin dengan pilihan mitra lokalnya.”

Chandra duduk tegap, tenang, seperti model majalah bisnis edisi ‘CEO Muda Paling Menjanjikan’.

“Kita harus mempertimbangkan ulang kerja sama dengan Newland Corp,” lanjutnya dengan nada percaya diri.

Tuan Arman mengangguk singkat tanpa benar-benar melihat siapa pun, seluruh fokus tertumpuk pada piringnya. Seakan proyek ekspansi jauh lebih penting daripada keberadaan satu manusia tambahan bernama Amara di meja makan hari ini.

“Bagaimana dengan proyek di Surabaya?” tanyanya lagi.

“Stabil, hanya perlu audit laporan tahunan,” jawab Chandra dengan ketenangan yang membuat Amara ingin bertanya: apakah pria ini pernah panik dalam hidupnya?

Nyonya Lydia menimpali, lembut dan penuh perhatian.

“Kamu harus jaga kondisi, Ndra. Mama tahu kamu gila kerja, tapi tubuhmu kan bukan robot.”

Chandra tersenyum sopan dan manis. Senyum yang pasti membuat banyak wanita jatuh hati.

Tuan Arman, Nyonya Lydia, dan Chandra larut dalam percakapan tentang bisnis dan laporan keuangan. Sementara Amara hanya duduk di sana, mengaduk supnya yang sudah dingin.

Tak ada satu pun yang menyinggung kepulangannya. Tak ada pertanyaan tentang bagaimana ia bertahan selama ini, atau di mana ia tinggal selama delapan belas tahun terakhir.

Tak tahan lagi, Amara akhirnya buka suara.

“Sebenarnya, untuk apa kalian memintaku pulang?”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 9. Capek Menghindar Terus, Hadapi Saja

    Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 8. Pinjam Kamar Mandinya Sebentar

    Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 7. Malunya Sampai ke Ubun-Ubun

    Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 6. Satu Atap

    PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 5. Adikku Sudah Dewasa

    Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 4. Hidupku yang Luar Biasa

    Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status