ホーム / Romansa / Adik Angkatku, Kekasih Gelapku / Bab 3. Bukan Siti Nurbaya

共有

Bab 3. Bukan Siti Nurbaya

作者: Indy Shinta
last update 最終更新日: 2025-11-19 21:18:38

“Karena kamu memang harus pulang,” sahut Nyonya Lydia datar, sambil mengiris sepotong daging di piringnya, “Ini rumahmu.”

Amara menatap ibunya. “Kalau ini rumahku… kenapa baru sekarang kalian membawaku pulang?”

Chandra melirik Amara sekilas. Tatapan itu dingin dan datar, nyaris tanpa emosi, tapi di balik dinginnya tersimpan sesuatu yang sulit diuraikan. Lalu ia kembali menunduk, menatap isi piringnya.

“Kami sudah lama mencarimu,” jawab Nyonya Lydia dengan senyum yang berhenti tepat di bibir, tak ada satu pun yang mencapai matanya. “Jangan bicara seakan-akan kami yang bersalah, Mara. Semua ini gara-gara Bik Harni. Sudah bagus dia tidak masuk penjara."

“Bik Harni tidak bermaksud menculikku. Dia hanya—”

“Dan sekarang kamu malah membelanya?” potong Nyonya Lydia lagi.

“Ma. Bagaimanapun Bik Harni sudah merawatku dengan baik.”

“Merawatmu? Dengan baik?” ulang Nyonya Lydia pelan, tajam. “Lihat dirimu, Amara. Berkacalah. Kalau kau memang terawat dengan baik, seharusnya kau sudah jadi seseorang sekarang… bukannya menjadi tukang pijat mur–”

“Cukup, Ma.”

Tuan Arman memotong cepat. Kalimat “tukang pijat murahan” yang hampir meluncur dari bibir istrinya itupun terpotong di udara.

Hening.

Amara menunduk. Tangannya sedikit gemetar. Ia melirik Chandra, satu-satunya yang dulu selalu membelanya dari monster-monster kecil dalam hidup mereka.

Tapi kini… yang ia lihat hanyalah rahang mengeras, sorot mata hambar yang tak benar-benar menatap, dan jarak yang terlalu jauh untuk seorang adik.

Tuan Arman akhirnya menegakkan punggung. “Makanlah,” katanya datar, kembali ke piringnya seolah tadi hanya turbulensi kecil di atas meja makan mahal.

Amara mengedarkan pandangan.

Ke ibunya yang mengiris daging tanpa hati.

Ayahnya yang tenggelam dalam diamnya.

Adiknya yang beku.

Hati Amara seperti diremuk dari dalam. ‘Keluarga macam apa ini?’

“Aku hargai upaya kalian mencariku."

Ketiga orang itu menoleh pada Amara.

"Tapi sekarang umurku sudah dua puluh delapan tahun.” Amara menahan jeda. “Kurasa, aku tidak harus tinggal di sini, kan? Sebab aku sudah terbiasa hidup mandiri. ”

Tatapan Nyonya Lydia seketika mengeras.

“Mandiri?” ulang Nyonya Lydia dingin. “Kau menyebut hidup mandiri setelah delapan belas tahun tinggal entah di mana, tanpa pendidikan yang pantas, tanpa arah?”

Ibunya tersenyum tipis, sopan, lalu menusukkan kalimatnya seperti pisau yang dibungkus beludru.

“Bangga sekali rupanya… dengan hidupmu yang ‘mengagumkan’ itu.”

Suasana meja makan kembali tegang, udara seolah kehilangan suhunya.

Tuan Arman akhirnya buka suara, nadanya lebih kalem tapi sama menguasainya.

“Amara, kami membawamu pulang agar hidupmu bisa ditata ulang. Kau tidak perlu repot bekerja sendiri atau tinggal di luar. Semua kebutuhanmu ada di sini.”

“Tapi, Pa. Aku bisa–”

“Tidak ada ‘aku bisa’,” potong Nyonya Lydia, tanpa kelip. “Kamu sudah cukup lama hidup salah arah. Sekarang dengarkan kami. Kamu akan tetap di rumah ini, sampai kami memastikan kamu menikah dengan pria yang bisa membuat hidupmu benar-benar stabil.”

Amara mengernyit. Kenapa tiba-tiba muncul obrolan soal pernikahan di sini?

“Ma, aku bukan anak kecil lagi. Aku hanya ingin–”

“Cukup.” Suara Tuan Arman memecah udara seperti palu hakim.

Orang nomor satu di rumah besar itu meletakkan garpunya perlahan di atas piring. Suara logam beradu dengan porselen terdengar tajam di antara keheningan.

Sekilas, Chandra tampak ingin berkata sesuatu, tapi urung. Tangannya yang menggenggam garpu tampak menegang, seperti menahan sesuatu yang berat.

“Mara. Selama ini kami sulit menemukan jejakmu, karena Bik Harni suka berpindah-pindah tempat tinggal.” 

Amara mengangkat wajahnya sedikit. Masih waspada. Masih sakit hati. Tapi… kalimat ayahnya terdengar berbeda: lebih sabar, tidak menyerang. Nada yang membuat hatinya yang tadinya kering kerontang mulai… melembut. Sedikit. 

“Jangan kau pikir selama ini Papa dan Mama tidak berbuat apa-apa untukmu, Mara.”

Kalimat itu membuat Amara mulai berpikir ulang. 

Ada yang pelan-pelan merayap ke dadanya. Rasa kesal, masih marah, mencoba mengerti.

“Papa tahu kau marah. Papa juga tahu kau sudah melalui banyak hal sulit selama ini. Maafkan kami yang terlambat menemukanmu.”

Maafkan kami. Dua kata itu membuat Amara akhirnya terisak pelan.

“Mara. Papa dan Mama ingin kau tetap di rumah ini, karena kami peduli. Izinkan kami menebus delapan belas tahunmu itu dengan jaminan masa depan yang lebih baik buatmu, Nak.” 

'Nak'. Kata yang cukup melipurnya dari semua tuduhan, kemarahan, dan luka yang menumpuk selama bertahun-tahun.

“Tetaplah tinggal. Jangan pernah berpikir untuk pergi dari kami lagi, Mara. Rumah ini tempatmu. Papa dan Mama hanya akan melepasmu pergi saat kau telah menikah nanti.”

Tuan Arman tersenyum tipis, cukup membuat Amara kembali percaya bahwa ia masih punya tempat di rumah ini. 

“Dan omong-omong soal menikah, Papa sudah punya calon suami untukmu,” lanjut Tuan Arman, membuat Amara terbatuk kecil.

“Calon… suami?” ulang Amara, matanya melirik ayah dan ibunya, sekilas pada Chandra yang sejak tadi diam, seperti sibuk dengan pikirannya sendiri.

Chandra tiba-tiba mengangkat wajahnya sedikit. Mata itu menatapnya dengan kedalaman yang tenang namun dingin. Tetapi di balik ketenangan itu, ada bara kecil yang sulit dipadamkan setiap kali menatap Amara.

“Apa ini tujuan Papa memanggilku pulang? Melepas tanggung jawab dengan cepat-cepat menikahkan aku?” protes Amara.

“Dengar, Nak,” suara Tuan Arman melunak. “Papa tidak mungkin sembarangan menikahkan kamu dengan pria yang tidak jelas. David itu putra dari keluarga terhormat.”

Mendengar nama David disebut, Chandra yang semula menunduk langsung mengangkat kepalanya, seolah ia juga terkejut dan baru mendengar rencana ayahnya ini.

Tuan Arman tersenyum pada putranya. “Kamu kenal baik dengan David, kan, Ndra?” Lalu ia menoleh pada Amara. “Dia dulu kakak tingkatnya Chandra di Kanada. Mereka berteman dekat. Kamu bisa tanya-tanya ke Chandra seperti apa David semasa sekolah dulu, yang jelas… dia pria baik-baik seperti adikmu.”

Amara mendengus mendengarnya. ‘Pria baik-baik seperti adikmu.’ 

Bah! 

Tak tahukah ayahnya… bahwa anak lelaki yang dibanggakannya itu pernah meniduri seorang terapis spa? Amara sendiri tak yakin apakah itu yang pertama bagi Chandra. 

“Pa…” Pandangannya tidak melawan, tapi tidak menyerah. “Aku ingin menentukan hidupku sendiri. Biarkan aku memilih sendiri pria yang ingin kunikahi.”

“David itu pria yang baik, kan, Ndra?” sahut Tuan Arman tanpa betul-betul mempedulikan protes Amara.

Seisi meja kini menoleh pada Chandra. Rahang adik lelakinya itu tampak mengeras, seperti menahan sesuatu yang ia jaga baik-baik agar tidak pecah.

“Aku setuju,” jawabnya, akhirnya.

Tuan Arman dan Nyonya Lydia tersenyum puas mendengar jawaban si anak bungsu, tapi kepuasan itu langsung menguap saat Chandra tiba-tiba melanjutkan ucapannya. 

“Aku setuju Kak Mara memilih sendiri pria yang ingin dia nikahi.”

“Ndra, Papa bukan minta pendapatmu,” tegur Nyonya Lydia. “Papa cuma ingin kamu jelasin ke kakakmu, gimana itu si David,” ujarnya.

Namun, Chandra justru menambahkan, “Ini bukan jamannya Siti Nurbaya, Ma. Biar saja Kak Mara menentukan sendiri jalan hidupnya.”

“Kamu akan menikah dengan David, Mara.” Nyonya Lydia menegaskan, mengabaikan ucapan Chandra. 

“Ini bentuk kasih sayang Mama dan Papa ke kamu. Mungkin terdengar memaksa, tapi justru jahat kalau kami biarkan kamu salah memilih pasangan hidupmu. Kami tak akan membiarkanmu hidup miskin dan sengsara lagi,” imbuhnya.

Tuan Arman mengangguk dan menambahkan, “Ingat, Nak… kebahagiaan seorang wanita itu ditentukan oleh pasangan yang bisa meratukannya. Dan untuk bisa menjadi ratu, maka kau harus memiliki kualitas suami seperti raja: terhormat, berwibawa, punya istana dan kekuasaan. Dan David… punya itu semua.”

"Tapi David sudah punya pacar, Pa." Chandra menyahut cepat.

"Cuma pacar." Tuan Arman tertawa ringan. "Bukan berarti calon istri." Kemudian ia menoleh pada Amara. "Jangan khawatir, Mara. Orangtuanya hanya merestui David menikah denganmu."

Amara hanya diam. Sedangkan Chandra terlihat menghela napas, ada sorot tidak puas di matanya.

"Kamu kan dekat dengan David, Ndra. Bantulah David dan kakakmu biar saling kenal lebih dekat." Nyonya Lydia menimpali.

Chandra mendengus kecil. "Aku terlalu sibuk buat jadi Mak Comblang." 

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 9. Capek Menghindar Terus, Hadapi Saja

    Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 8. Pinjam Kamar Mandinya Sebentar

    Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 7. Malunya Sampai ke Ubun-Ubun

    Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 6. Satu Atap

    PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 5. Adikku Sudah Dewasa

    Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 4. Hidupku yang Luar Biasa

    Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status