Share

Bab 7 | Mengungkit Posisiku

Memasak, bangun pagi, memandikan Nazira menjadi rutinitas Zahra setiap harinya. Dulu, dia memang kerap bangun pagi. Namun, kini rasanya jauh lebih berbeda. Dia merasa dibalik itu semua ada tanggung jawab yang harus dirinya emban. Meskipun begitu, Zahra merasa tidak terbebani karena Zahra sangat menikmatinya.

Kuliah? Sebenarnya dirinya mengalihkan jadwal kuliahnya dari yang semula offline menjadi daring selama dua minggu ini. Dia kerap mengirimkan tugas yang diberikan dosen di kala waktu senggang. Zahra ingin menikmati waktu bersama Nazira dulu. Jika keadaan sudah terlihat memungkinkan, Zahra akan kembali mengambil kelas offline.

‘Semoga Mas Gibran suka sama masakan aku. Dan aku berharap, kali ini Mas Gibran mau mencicipinya,’ ucap Zahra dalam hati sambil menutup matanya sekilas. ‘Semangat, Zahra. Lupakan yang terjadi kemarin!’ Zahra tidak ingin kejadian kemarin merusak suasana hatinya. Biarlah yang sudah terjadi, berlalu begitu saja. Dia hanya perlu fokus dengan yang ada di depan mata.

Di lain sisi, Zahra merasa sangat beruntung karena banyak orang-orang yang membantunya, termasuk Bi Jum. Wanita paruh baya itu senantiasa menemani dirinya, baik saat memasak, seperti saat ini, atau pun saat menemani Nazira bermain. Sedikit banyak kehadiran Bi Jum membuat dirinya tidak merasa sendirian di tengah sikap dingin Gibran.

“Bi Jum, kentangnya sudah selesai di potong dadu?” tanya Zahra di tengah kesibukan membuat capcay.

“Sudah, Non. Kentangnya sudah siap dimasak,” jawab Bi Jum. Rencananya Nona mudanya hendak memasak sambal goreng kentang dan ati ampela, salah satu masakan favorit Gibran selain opor ayam.

“Ya sudah. Minta tolong bawa sini ya, Bi. Mau saya tum—”

“BI … BI JUM!!!!”

Teriakan itu membuat suasana menjadi gaduh. Kedua wanita beda generasi itu saling tatap. Keduanya sama-sama mengernyitkan kening, seolah saling melempar tanya tentang apa yang terjadi.

“BI JUM!!!!” 

“I–iya, Den.”

Bi Jum menjawab tergagap teriakan Gibran. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Bi Jum memijaki setiap anak tangga dengan langkah tergesa. Sementara itu, Zahra masih terdiam di tempat. Dia baru pertama kali mendengar Gibran berteriak begitu kencang dan keras. Bahkan, Zahra tak yakin jika—

“Oeekkk.”

—Nazira tidak bangun.

Zahra mengembuskan nafas panjang. Baru menyelesaikan ucapannya, dia sudah mendengar suara tangis anaknya. Dia terlebih dahulu mencuci tangan, sebelum akhirnya ikut menaiki anak tangga. Hanya saja, tujuan dirinya dan juga Bi Jum berbeda. Entah apa yang membuat Gibran pagi-pagi sudah berteriak kencang.

“Siapa yang sudah mengganti gorden di kamar saya?!" tanya Gibran dengan tatapan tajam. 

Terlihat jelas Gibran tengah menahan amarahnya. Satu jam yang tidak ia suka adalah, seseorang berani mengubah ornamen, letak benda, atau apa pun itu yang ada di kamarnya. Dan kini, dia justru melihat gorden di kamarnya berganti warna dari abu-abu menjadi hijau army.

"Sa–saya tidak tahu, Den," jawab Bi Jum tergagap. Dia juga baru pertama kali menerima amarah dari Gibran. Selama bekerja dengan Gibran, lelaki itu tak pernah marah, selalu ada Humaira yang menenangkan.

"Bagaimana tidak tahu?!" Gibran mengusap wajahnya dengan kasar. "Bibi yang setiap hari membersihkan kamar saya dan Humaira!!"

Bi Jum meremas kedua tangannya. "Memang bukan saya, Den yang mengganti gordennya." Bi Jum menengadahkan kepala. "Saya tidak berani menyentuh apa pun yang ada di kamar ini, tanpa persetujuan orang rumah, terutama Aden."

"Maksud bibi, gorden ini bisa terpasang sendiri?" sarkas Gibran masih menumpahkan amarah Pada Bu Jum. "Jangan mengada-ada, Bu!!"

Bi Jum menggelengkan kepala. "Tapi, memang bukan saya yang menggantinya, Tuan. Sungguh, saya tidak berani menggantinya tanpa persetujuan Aden."

Sial! Gibran benar-benar diselimuti amarah saat ini. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh atau mengubah apa pun yang ada di kamarnya. Baik letak benda, warna gorden, dan warna sprei, itu semua pilihan Humaira. Istrinya itu sangat menyukai warna monokrom dan sekarang, gorden di rumahnya sudah berganti warna.

"Nggak, nggak ada yang boleh mengganti sesuatu yang sudah dipilih Humaira," gumam Gibran tegas. Kilat marah terlihat semakin besar.

Setelah mengatakan itu, Gibran kembali mendekat ke arah jendela kamar. Matanya menyorot tajam gorden berwarna hijau army itu. Dengan tangan mengepal dan rahang mengetat, Gibran menarik gorden itu hingga menimbulkan suara memekakan.

“Saya tidak suka milik saya diubah!” ucap Gibran menegaskan. Tangannya kembali menarik gorden itu.

"ASTAGHFIRULLAH." Bi Jum mundur beberapa langkah.

Bi Jum tanpa sadar berteriak kencang melihat tindakan Gibran. Demi apa pun, saat ini Gibran terlihat sangat menyeramkan. Lelaki itu seperti memiliki dunianya sendiri, tidak ingin siapa pun mengusik kehidupannya, terutama yang berkaitan dengan Humaira.

“Den, Biar saya yang menggantikan,” ucap Bi Jum sambil bergetar.

"Bi ada ap—"

Zahra yang mendengar teriakan dan suara bising langsung berlari dari kamar Nazira. Saat sampai di kamar Gibran, matanya membulat melihat keadaan di sana. Kelambu itu sudah berakhir miring ke bawah. Lingkaran-lingkaran pengait berceceran di lantai. Sementara itu, Gibran masih senantiasa berdiri di sana tanpa merasa terganggu sedikitpun.

"Mas, ada apa?" tanya Zahra perlahan. Ia mulai melangkahkan kakinya masuk dengan perlahan. "Kenapa gordennya jatuh? Ketarik, kah?” Zahra menatap sekitar. Keadaan gorden beserta yang lainnya sungguh sangat mengenaskan.

"Buang gorden itu!!' titah Gibran terkesan sangat arogan saat ini. 

Mata Zahra langsung melotot mendengar perintah itu. Ia langsung melangkah mendekat dan menyentuh bahu Gibran agar mau menghadap ke arahnya. Namun, lelaki itu menghindar sebelum Zahra berhasil menyentuhnya.

"Mas, kenapa dibuang? Itu baru aku beli dan aku pasang kem—"

Mata Gibran semakin berkilat tajam mendengar pengakuan itu. Dia melangkah mendekat ke arah Zahra, lalu berseru "Kurang ajar!"

Gibran yang gelap mata langsung mencengkeram rahang Zahra. Matanya memerah, amarah benar-benar memuncak. Berani-beraninya wanita ini mengubah sesuatu yang ada di kamar ini! Zahra pikir dirinya memiliki hak itu? Tidak! Zahra sama sekali tidak memiliki hak apa pun.

Baiklah, dia kemarin berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami, tetapi hanya sekedar materi. Dia juga mengizinkan Zahra untuk berusaha. Namun, persetujuannya itu bukan berarti Zahra bisa melakukan apa pun sesuka hati, termasuk mengganti yang ada di kamar ini.

"DEN!" teriak Bi Jum dengan panik. Wanita paruh baya itu langsung mendekat, mencoba melepaskan tangan Gibran dari rahang Zahra.

"Den, istighfar. Jangan melakukan ini. Kasihan Non Zahra kesakitan." Bi Jum meneteskan air mata melihat Zahra mendapatkan perlakukan kasar dari Gibran. "Den, saya mohon."

"Ma–mas, sakit," ucap Zahra setelah tersadar dari rasa terkejutnya. Sungguh, dia tak pernah membayangkan akan menerima perlakuan kasar dari Gibran.

Tanpa sadar, mata Zahra berkaca-kaca. Dia hanya berniat baik saat melihat gorden sudah kotor. Namun, niat baiknya justru mendapatkan respon berbeda dari Gibran. Andai saja Gibran mengatakan tidak boleh mengubah tata kamar ini, termasuk warnanya, Zahra akan mengganti gorden itu dengan warna kesukaan Humaira.

Yang Zahra minta hanya sederhana, komunikasikan semuanya. Zahra tidak bisa mengerti keinginan Gibran tanpa lelaki itu bilang. 

"Mas," panggil Zahra dengan mata berkaca-kaca.

Gibran, lelaki itu terdiam sesaat saat lagi-lagi melihat mata Nazira. Ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Namun, lagi-lagi Gibran menampiknya. Dia memilih memalingkan wajah setelah menghempaskan cekalan tangannya hingga tanpa sadar membuat Zahra hampir tersungkur.

"Non," ucap Bi Jum yang berhasil menahan tubuh Zahra. "Non tidak apa-apa?" tanya Bi Jum sambil memegang rahang Zahra yang memerah, sangat kontras dengan kulit putihnya.

Zahra, meskipun dirinya terluka baik fisik maupun batin, dia tetap mengulas senyum manis. "Aku nggak apa-apa, Bi," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. 

Wanita itu lalu mengusap lelehan air mata di pipinya. Dia kembali mendekati Gibran dengan langkah bergetar. Jujur ia diliputi rasa takut setelah menerima perlakukan kasar tadi.

"Ma–mas, aku minta maaf," ucap Zahra dengan bibir bergetar. "Aku minta maaf kalau sudah lancang merubah kamar kamu. Tapi, demi Tuhan … niat aku baik. Aku hanya ingin mengganti gorden yang sudah kotor."

Zahra mengusap air mata yang kembali menetes. "Besok, kalau mau ganti sesuatu, aku pasti bilang dulu ke kamu, Mas. Aku nggak akan mengulang kesalahan hari ini." Dengan takut-takut, Zahra meraih tangan Gibran, lalu menciumnya. Beruntung kali ini Gibran tidak menghempaskan tangannya. "Aku minta maaf, ya."

"Jangan pernah merubah apa pun yang ada di kamar ini. Hanya Humaira yang berhak merubahnya. Saya hanya mengizinkan mengganti yang sudah kotor dengan catatan sesuai warna kesukaan Humaira!" Gibran menatap Zahra dengan lekat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu tegas.

Zahra mengangguk berulang kali mendengar perkataan Gibran. Dia tidak akan membantah lagi agar Gibran tak marah pada dirinya. Dia sudah satu langkah untuk memperbaiki hubungan mereka dan mencoba mendapatkan hati Gibran. Zahra tidak ingin gegabah dan membuat semuanya hancur.

Hanya saja, kata yang keluar dari mulut Gibran setelahnya membuat Zahra kembali terdiam. Perkataan itu kembali mengingatkan dirinya bahwa dia hanya sekedar pengasuh Nazira.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurain Abdullah
cerita nya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status