Share

Bab 6 | Diabaikan

Mata sembab, kepala pusing, itulah yang dirasakan Zahra saat ini. Tadi malam, ia terlalu banyak menangis. Dengan berat hati, dia menandatangani surat perjanjian yang rasanya mengoyak harapannya.

Dengan penuh kepercayaan diri, dia berani mengajukan satu poin di perjanjian, izin berusaha membuka hati Gibran. Dia akan berusaha mendapatkan hati suaminya itu. Berbagai cara akan ia lakukan. Akan tetapi, Zahra tidak akan melakukan dengan cara kotor.

Huh, beruntung sekali anggota keluarga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing setelah acara tahlilan. Zahra tidak perlu mencari alasan mengapa matanya terlihat bengkak, seperti hari ini.

"Kamu pasti bisa, Zahra." Zahra menyakinkan diri sekuat tenaga. "Pasti akan ada jalan."

Setelah mengikat rambut, Zahra lantas beranjak. Ia melihat box bayi di sebelahnya. Ternyata Nazira masih tidur pulas di box bayinya. 

Melihat Nazira yang masih anteng, Zahra bergegas ke dapur. Ia tak bisa menyia-nyiakan kesempatan membuat sarapan untuk sang suami. Meskipun ada Bi Jum, Zahra tidak mau berpangku tangan. Dia ingin suami dan anaknya kelak makan hasil masakan tangannya sendiri. Mungkin, sesekali bisa Bi Jum yang mengambil alih, tapi Zahra lebih senang menyiapkan sendiri dan diberi bantuan.

"Pagi, Bi," sapa Zahra saat melihat Bu Jum baru keluar kamar.

"Aduh, maaf Non. Bibi kesiangan ya?" Bi Jum terlihat sungkan saat melihat majikannya sudah berada di dapur lebih dulu, daripada dirinya.

Zahra yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. "Nggak kok, Bi. Cuma sayanya saja yang bangun lebih pagi." Zahra menunjuk jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. 

"Sekali lagi maaf ya, Non." Bi Jum tetap saja merasa tidak enak dengan majikannya. Apalagi melihat Zahra sudah memotong bawang-bawangan. 

"Biar saya saja Non yang potong," ucap Bi Jum sambil mendekat ke arah Zahra. "Non bisa menyiapkan keperluan yang lain.

Zahra diam sejenak. Tawaran Bi Jum sangat menggiurkan. "Baiklah, Bi. Saya minta tolong, ya. Semua bahan yang harus diiris sudah saya siapkan. Saya mau masak nasi dan blender bumbu untuk ungkep ayam."

"Siap, Non."

Dua wanita beda generasi itu tengah bekerjasama di dapur. Sesekali tawa mereka terdengar saat salah satu melemparkan candaan. Zahra juga tak sungkan bertanya pada Bi Jum bila ada bahan yang kurang atau rasa masakan ada yang perlu ditambah atau dikurang.

"Ada lagi yang harus saya kerjakan, Non?" tanya Bi Jum saat pekerjaan mengiris bumbu sudah selesai.

Zahra menatap itu dengan senyum mereka. Ia tanpa sungkan memberikan dua jempol untuk mengapresiasi dan berterima kasih atas pertolongan Bi Jum.

Satu lagi perbedaan yang terlihat jelas anatas Humaira dan Zahra. Jika Humaira lebih pendiam, berbeda dengan Zahra yang lebih ekspresif. Zahra tak segan menyanjung, memuji, seseorang yang pekerjaannya memuaskan. Zahra juga bisa merengek atau tertawa bahagia pada orang-orang yang membuatnya nyaman.

Namun, sifat Zahra yang satu itu tidak bisa muncul di depan Gibran. Zahra lebih memilih memendam semuanya, memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja di depan Naresh dan semua orang. Dia hanya tidak mau dianggap mencari muka dengan sifatnya itu.

"Emm … boleh minta tolong potong wortelnya, Bi? Saya lupa belum sempat potong wortel. Rencananya, saya mau membuat sup untuk Mas Gibran," celetuk Zahra sambil menunjukkan cengiran. 

"Tidak usah sungkan, Non. Kayak sama siapa saja." Bi Jum terkekeh melihat tingkah Nazira. "Saya akan potong wortel ya."

"Terima kasih ya, Bi. Duh, makin sayang deh sama Bi Jum," ucap Zahra sambil memberikan finger heart pada Bi Jum.

"Uluh uluh … Non Zahra bisa saja. Saya, kan, jadi malu," ucap Bi Jum menimpali lelucon Zahra dengan turut memberikan hal serupa.

Keduanya saling tatap beberapa detik, lalu tertawa setelahnya. Mereka merasa lucu dengan yang terjadi saat ini. Tanpa di sadari, bercanda dengan Bi Jum membuat Zahra melupakan kenyataan menyakitkan tentang pernikahannya. Ada baiknya, Zahra lebih banyak berbincang dengan orang lain, daripada terus meratapi nasib pernikahan dirinya dan Gibran.

"Bi, saya ke atas dulu, ya. Mau lihat Nazira sama menyiapkan keperluan kerja Mas Gibran," celetuk Zahra saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam.

"Iya Non. Ini juga tinggal sedikit. Lebih baik Non kembali ke atas," ujar Bi Jum sambil menumis masakan terakhir.

Zahra sungguh menikmati peran barunya, entah sebagai Ibu atau sebagai istri. Zahra yang terbiasa bangun pagi, tidak keberatan jika diharuskan terus bangun pagi. Justru, dia sangat bahagia jika bisa menyiapkan keperluan rumah tangga, anak, dan juga suaminya. Ia masih bisa menikmati semua ini karena masih dalam masa cuti.

Sesampainya di kamar Nazira, Zahra langsung berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai, ia langsung menghampiri Nazira. Senyumnya merekah saat melihat Nazira sudah terbangun dan tengah memberikan senyum manis.

"Masyaallah, anak Buna senyumnya cantik sekali." Zahra mengangkat Nazira, lalu memberikan kecupan di seluruh wajah Nazira. "Pinter banget nggak nangis."

Wanita itu lantas berjalan ke arah tempat biasa menggantikan popok dan pakaian Nazira. Sebelum meletakkan bayi mungilnya, dia terlebih dahulu membersihkannya dengan tisu basah.

"Kita mandi dulu ya, Sayang," ucap Zahra dengan telaten melepas popok Nazira dan bajunya. 

Setelah melepaskan semua, Zahra langsung memandikan Nazira dengan air hangat yang sebelumnya sudah ia siapkan. Dengan perlahan dan lembut, Zahra mengusap setiap jengkal tubuh Nazira. Sesekali, bayi itu mengeluarkan ocehan yang ditimpali dengan senang hati oleh Zahra.

"Aduh … anaknya Bunda Huma pinter deh," ucap Zahra saat Nazira tak menangis saat dimandikan. "Pinter banget sih, Bunda Huma pasti bangga sama Zira. Anak cantik, nanti kalau sudah besar jangan lupa doain Bunda Huma, ya."

Nazira yang seolah mengerti, memejamkan mata, lalu mengulas senyum. Nazira ini senang bila diajak berbicara. Andai saja Huma masih ada di sini, mungkin dia sangat bangga dengan Nazira. Huh, takdir Tuhan memang tidak bisa ditebak. Semoga Huma mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

Setelah selesai dengan Nazira, wanita itu langsung menggendong Nazira, Ia menitipkan pada Bi Jum yang sudah menyelesaikan pekerjaannya. 

“Buna ke ayah dulu, ya cantik.”

Zahra kembali menapaki setiap anak tangga. Tujuannya adalah kamar Gibran. Sesampainya di sana, kening Zahra mengerut, dia melihat kasur sudah kosong. Saat mendekat ke arah kamar mandi, dia mendengar suara gemericik.

“Ah … sudah bangun ternyata, gumamnya.

Tidak ingin menunggu lama, Zahra langsung menuju ruang wardrobe. Dia mengambil kemeja biru langit, celana hitam dengan jas senada. Zahra juga menyiapkan kaos kaki dan sepatu. Ia membawa semuanya dan menggantungnya di gantungan baju.

“tsk, berantakan sekali,” ucapnya saat melihat kasur Gibran.

Dengan cekatan, Zahra menarik sprei di setiap sudutnya. Zahra langsung mengambil selimut dan melipatnya setelah menata bantal. Kedua sudut bibir Zahra tertarik ke atas. Dia puas saat melihat semuanya sudah tertata rapi.

“Mas, setelah mandi, segera turun ke bawah, ya. Aku sudah menyiapkan sarapan,” teriak Zahra berharap Gibran mendengarnya.

Perasaan gugup kini tengah menyerang Zahra. Dia berulang kali menatap ke arah tangga, lebih tepatnya memastikan Gibran turun atau belum. Seperti tak tenang, Zahra kembali berdiri. Dia memastikan tidak ada yang kurang dengan menu masakan hari ini.

“Sudah pas,” ucapnya.

Senyum Zahra langsung terluka saat mendengar suara sepatu mulai menuruni tangga. Namun, senyum itu langsung sirna saat melihat Gibran turun dengan setelan pakaian kerja yang berbeda. Gibran, suaminya tidak mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan.

Zahra masih berpikiran positif. Mungkin saja Gibran memiliki selera pakaian yang berbeda. Kalau begitu, Zahra akan mencoba memahami Gibran lebih dari sebelumnya. Jika perlu, Zahra bertanya pada Mama Tania tentang Gibran.

“Mas, sarapan dulu,” seru Zahra dengan senyum manis. “Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu mau makan dengan lauk apa? Tadi aku masak sup sayur, tempe goreng, sama a—”

“Saya berangkat!”

Hanya saja, pikiran positif Zahra terpatahkan dengan ucapan singkat Gibran. Tubuh Zahra langsung luruh, terduduk di kursi makan dengan tatapan nanar. Lelaki itu pergi begitu saja tanpa mau mencicipi masakan yang ia buat susah payah. Bahkan, Gibran tidak mau repot-repot melihatnya.

“Non, Den Gibrannya mana?” tanya Bi Jum. Wanita paruh baya itu tidak tahu apa yang tengah terjadi. 

Hati Zahra rasanya sangat sakit. Harapannya terpatahkan dengan dua kata yang meluncur tajam dari mulut sang suami. Meskipun begitu, Zahra mengangkat kepalanya. Dia menatap Bi Jum dengan mata berkaca-kaca, tetapi bibirnya mengulas senyum manis.

“Mas Gibran sudah berangkat, Bi.”

Bi Jum terdiam di tempat. Matanya terkunci pada ekspresi Zahra. Senyum itu terlihat sangat dipaksakan. 

“Mas Gibran ada rapat. Jadi, nggak sempat untuk sarapan.”

“Non,” panggil Bi Jum. “Mau saya peluk?”

Tawaran itu membuat tangis Zahra pecah. Wanita muda itu lantas beranjak, dipeluknya Bi Jum dengan erat. Mulutnya membisu, hanya ada suara tangis yang menyayat hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status