Mas, aku izin ke kampus ya. Aku berangkat, assalamualaikum.Itulah isi pesan yang Zahra kirimkan pada Gibran. Tangannya masih senantiasa memegang ponsel, dia berharap ada pesan balasan yang dikirimkan Gibran. Namun, sampai lima menit menunggu, pesannya hanya centang satu. Hal itu membuat Zahra mengulas senyum getir."Jangan patah semangat, Ra. Hari ini, fokus dulu sama kuliah."Setelah itu, Zahra benar-benar meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, Zahra menyenandungkan lagu Jawa yang tengah ia gemari, kisinan 2. Jujur saja, dia cukup tersentil dengan liriknya karena menggambarkan dirinya saat ini. Meski begitu, dia tidak akan patah semangat.Dua puluh menit perjalanan, akhirnya Zahra sampai di kampus. Sepanjang koridor, dia menerima ucapan belasungkawa dari teman-teman yang ia kenal, baik satu organisasi dengan dirinya atau teman kelas Humaira. Dia sangat senang karena Humaira memiliki teman-teman yang sangat baik."Zahra !!!" panggil perempuan yang diketahui bernama Adel.Dia salah
Terhitung sudah lima hari Zahra kembali menjalankan kuliah secara langsung. Selama hampir sepekan itulah, Zahra kembali merasakan perbedaan. Jika sebelumnya dia tidak harus datang ke kampus dan bisa sepenuhnya fokus ke Nazira, kini fokusnya sedikit terbagi. Meskipun begitu, ,ahra berhasil beradaptasi dengan cepat.“Mas, nanti aku ada kerja kelompok. Mungkin pulangnya agak sore,” jelas Zahra pada Gibran saat tengah mengantar Gibran ke depan.Langkah lelaki itu berhenti. Keningnya mengerut sambil menatap lekat Zahra. “Di mana?” tanya Gibran singkat. Bukankah memastikan keamanan Zahra menjadi tanggung jawabnya sebagai suami.“Di kafe dekat kampus. Cari yang tengah-tengah,” jelas Zahra. Tangannya terangkat untuk Salim ke Gibran.Tanpa banyak Drama, Gibran mengulurkan tangannya. Dia juga mulai terbiasa dengan aktivitas paginya. Zahra, selalu melakukannya tanpa diminta sekalipun.“Hm. Saya berangkat,” pamitnya sebelum masuk mobil.Saat Gibran tengah siap-siap, Zahra tak beranjak sedikitpun.
Sakit hati dan perasaan bersalah kini bergelung jadi satu dalam relung hati Zahra. Tangisnya tak bisa ditahan kan lagi saat sampai di kamar Nazira. Dia terus mendekap bayi mungil yang masih terlihat sangat tidak nyaman dengan perubahan suhu di dalam tubuh. “Ssssttt, ini Buna, Nak,” ucap Zahra sambil menimang Nazira yang ada dalam dekapannya. Sesekali tangannya bergerak menghapus air mata yang menetes sedikit-sedikit. Tadi, Zahra hampir terkena serangan jantung saat melihat Mama Tania berdiri di ambang pintu. Dadanya berdebar hebat, terlebih perempuan itu datang bertepatan dirinya dan Gibran bertengkar hebat, disertai tangis hebat dari Nazira. Zahra tidak tahu apa yang tengah mertuanya pikirkan saat ini. Tadi, dia langsung disuruh Mama Tania masuk kamar dan membawa Nazira untuk menenangkan diri. Sesampainya di kamar, tangisnya justru pecah. “Buna ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Zahra sambil meletakkan Nazira ke box kembali. Buruk, wajahnya saat ini terlihat sangat buruk. Lihatnya k
“Minggu depan rencananya mau ada seminar. Lo nggak ikut?” Celetukan itu berhasil menarik atensi Zahra. Wanita itu tengah mengerutkan kening, matanya sesekali menatap ponsel. Ia tengah dilanda gelisah karena tadi pagi badan Nazira kembali demam. Hanya saja, dia tidak bisa menemani Zira. Hari ini ada dua mata kuliah yang melaksanakan penilaian. Jika bukan matakuliah pilihan dan bersifat wajib, Zahra tidak akan terlalu pusing. Namun, ini justru sebaliknya. Zahra terpaksa meninggalkan harus meninggalkan anaknya. “Siapa pematerinya?” tanya Zahra, dia tertarik karena berkesempatan menambah jumlah sertifikatnya. Adel yang mendengar pertanyaan Zahra langsung mendekat. “Suami lo,” jawab Adel sambil berbisik. Zahra langsung terdiam mendengar jawaban Adel. Sungguh, dia cukup terkejut dengan perkataan Adel. Gibran memang sering menjadi pembicara di seminar, baik nasional maupun internasional. Hanya saja, ia tak mengira jika kampurnya berhasil mendapatkan seorang Gibran sebagai pembicara. “
Suasana tegang terlihat begitu jelas di ruang pemeriksaan ini. Tidak ada yang mengira jika Gibran datang, termasuk Zahra. Sejak tadi, Zahra bukannya tidak menghubungi Gibran, melainkan lelaki itu tidak yang tidak bisa dihubungi. Sekarang, tiba-tiba lelaki itu sudah ada di ambang pintu dengan tatapan datar terkesan dingin. Seakan dengan slow motion Gibran melangkah sambil melonggarkan simpul dasi. Tatapan lelaki itu senantiasa datar, terlebih saat menatap Daffa dan Zahra dalam posisi berdekatan. Telinganya masih begitu sehat hingga bisa mendengar jelas yang lelaki itu ucapkan. ‘Cih, menghalalkan’ cibir Gibran dengan genderang perang di dalam otak dan hatinya. Tidak berbeda dengan Zahra dan Daffa, Fitri juga ikut terkejut, terlebih saat melihat tatapan Kakak sepupunya. Dia memang sudah terbiasa dengan sikap dingin Gibran, hanya saja sekarang dia merasakan hal yang berbeda. Aura Gibran lebih mencekam dari biasanya. “Kak,” sapa Dokter Fitri dengan senyum canggungnya. “Kok ke sini?” Gi
Rindu, hari ini Zahra merasakan rindu akan kedua orang tuanya. Sudah cukup lama dia tak bertemu dengan Mama Nadia maupun Ayah Bagas. Mereka hanya berhubungan melalui panggilan video. Kesibukannya membuatnya tidak memiliki banyak waktu. Beruntung kedua orang tuanya memahami peranan baru. Tadi, dia baru saja melakukan panggilan video bersama Bunda Nadia. Banyak yang mereka bicarakan, termasuk resep menu makanan yang biasa Bunda Nadia buat saat di rumah. Selain itu, Zahra juga banyak bertanya tentang cara merawat bayi yang baik dan benar. Setelah selesai, Zahra bergegas menuju bawah. Senyumnya langsung mengembang saat melihat Nazira berada di tempat tidur goyangnya sambil bermain dengan Bi Jum. “Masyaallah, anak Buna lagi main?” tanya Zahra, membuat Bi Jum yang asyik bermain menolehkan kepala. Bi Jum mengulas senyum melihat nona mudanya. “Hallo Buna, Nazira pinter loh hari ini,” ujarnya sambil menirukan suara anak kecil. “Zira hari ini nggak nangis waktu Buna belajar,” lanjutnya membu
“Loh Mas, kamu sudah pulang?”Seruan itu membuat Mama Tania dan Gibran tersentak. Lelaki itu menegakkan tubuhnya, menatap Zahra dan Mama Tania bergantian. Dengan memperlihatkan ekspresi datarnya, Gibran tengah menyembunyikan sedikit rasa panik. Dia takut baik Zahra atau Mama Tania menuduhnya yang tidak-tidak, misalnya memperhatikan istri secara diam-diam.“Hm,” jawab Gibran sangat singkat.“Kok Mama nggak dengar suara mobil kamu?” Mama Tania mengerutkan kening. “Kamu sudah lama?”Gibran sedikit gelagapan mendapatkan tembakan pertanyaan itu. Meski begitu, Gibran tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Sungguh, Gibran tidak ingin semua orang salah paham.“Belum.”Gibran menjawab sambil lalu, memilih mengambil minum. Setelah itu, Gibran melenggang pergi begitu saja. Dengan balutan kerja lengkap, Gibran mulai menapaki setiap anak tangga. Jujur saja hari ini dirinya sangat lelah. Ada klien yang sengaja mempersulit hingga belum ada kata setuju di antara dua perusahaan.“Kamu nggak menyiapka
“Selamat pagi cucuma Oma.”Mama Tania yang baru saja membuka mata langsung disambut suara menggemaskan dari Nazira. Bayi mungil itu ternyata sudah membuka mata sambil menggerak-gerakkan tangannya, seolah ingin meminta Mama Tania membangunkan dirinya.“Masyaallah, cucu Oma pintar sekali,” pujinya saat melihat bayi mungil itu bangun lebih dulu daripada dirinya.Wanita paruh baya itu memilih mengajak Nazira berbicara. Setiap kata yang keluar dari mulut Tania, selalu Nazira balas dengan suara khas bayi yang menggemaskan. Respon itu membuat Tania tersenyum bahagia dan bangga. Zahra berhasil menerapkan kebiasaan baik untuk Nazira.“Kita mandi dulu ya, Sayang. Habis itu temani Oma masak di dapur. Okey?”Tania menggendong Nazira. Dibawanya bayi mungil itu di tempat bak mandi kecil. Tangannya yang sudah terlatih sejak lama, membuatnya tidak kagok, meski pengalaman itu terjadi dua puluh tujuh tahun lalu.Sesekali, Tania mengajak Nazira berbicara. Dia ingin membiasakan Nazira mendengarkan banyak