Brian juga tidak mengatakan kalau ia adalah pewaris utama Bramantyo corporation, sejak sang Ayah, Bramantyo Khairan berpulang hampir lima tahun yang lalu.
"Bagaimana, Eva? Aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Apa Kamu masih bersedia menikah dengan orang miskin sepertiku?" ucap Brian seraya menatap Evara penuh puja. Evara menunduk. Ia mencintai Brian apapun keadaannya. Memang naif. Tapi itulah kenyataannya. "Aku juga mencintaimu, Brian. Aku mau menikah denganmu." kata Evara dengan kepala tetap tertunduk. Mereka menikah tanpa pesta. Evara mengajak Brian tinggal di rumahnya Brian tidak dapat membawa Evara ke apartemennya karena Ariana juga mencabut haknya atas apartemen itu. "Kembalilah ke rumah, Brian. Ceraikan Dia." Pinta Ariana melalui telpon. "Maaf, Ma. Mama belum mengenal Evara tapi sudah menolaknya." kata Brian. "Tapi dia hanya gadis tanpa masa depan, Brian. Dia dari kalangan bawah!" seru Ariana marah. "Aku yang akan menjadi masa depannya, Ma. Aku akan membawanya ke atas bersamaku." kata Brian lagi. "Kamu keras kepala! Kamu nggak akan bisa karena Mama akan menolaknya!" Ariana kembali berteriak dengan perasaan dikalahkan. "Kalau begitu, Aku juga akan menolak Mama." ketegasan Brian yang membuat Ariana serasa meledak, "Brian Putra Bramari!" Tapi Brian sudah memutus panggilannya. Brian merasa hatinya sakit. Ia ingin membawa Evara keluar dari rumah ini tapi kenyataannya ia justru yang harus tinggal di sini. "Eh! Ambilkan ponselku!" Titah Athena. Sungguh tidak sopan dibandingkan Adamis yang selalu menghormatinya. "Kamu punya tangan dan kaki, kan? Ambil sendiri!" ketus Brian tidak suka. "Kakiku pincang. Gerakanku lamban. Ini semua gara - gara Eva, jadi Kamu juga harus membantuku!" Sengat Athena. Semua cercaan dan hinaan yang biasa di terima oleh Evara kini ia juga merasakannya. "Sabar, Sayang. Mereka memang begitu. Abaikan saja, ya?" bujuk Evara tetap dengan kelembutannya. "Tapi mereka menindasmu, Eva. Kamu harus melawan mereka sesekali." Ucap Brian kesal. "Tapi semua memang gara - gara Aku. Aku yang membuat Athena cacat." keluh Evara. "Siapa yang bilang? Mengapa Kamu bisa membuatnya cacat?" tanya Brian tidak percaya. "Ibu. Ibu yang bilang. Aku mendorong Athena terlalu kuat saat ia berada dalam ayunan. Ia terlempar dan jatuh. Untung ia masih selamat. Saat itu ia masih bayi dan Aku baru berusia 2 tahun." jelas Evara. "Itu kelalaian orang tua yang tidak menjaga anak - anaknya dengan baik. Itu bukan salahmu." Sesal Brian. Evara tidak harus menanggung kesalahan yang tidak ia sengaja. Ia masih terlalu kecil saat itu. Evara menghela nafas. Selama ini ia selalu mencoba melawan tapi tak pernah ada hasilnya. Athena dan sang Ibu justru semakin menjadi dan menyudutkan nya atas kesalahannya di masa lalu. Evara telah membuat kaki Athena cacat. Apalagi yang harus ia lakukan? "Heh! Apa telingamu tuli? Aku memintamu mengambil sepatuku!" Brian berusaha menahan dirinya untuk tidak menghajar Athena yang sangat tidak tau diri itu. Semua nafkah dipenuhi oleh kakaknya tapi bukan rasa terimakasih yang Evara terima tapi cercaan dan ketidak puasan. Brian meraup dan melemparkan semua sepatu milik Athena. "Pilih sendiri! Jangan sampai Aku bolak balik mengambilnya!" Ketus Brian. Ia sangat tersinggung atas perlakuan Athena. Belum pernah ada yang merendahkannya seperti Athena sebelumnya. "Kamu menambah beban keluarga ini dengan menikahinya, Eva!" Tuding Athena tanpa dosa. Ia menunduk untuk mengambil sepatu yang ia inginkan dan mengabaikan yang lain. Tentu saja ia ingin Brian yang merapikan lagi sisanya. "Ya. Eva menolak jodoh yang kupilih dan memilih menikah denganmu. Apa yang Eva lihat darimu?" Sang Ibu ikut mencela. Evara menahan lengan Brian yang mengeras karena menahan marah. "Sebaiknya Kalian bercerai saja kalau Kamu tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih baik!" Ketus sang ibu lagi. "Ibu!" Tegur Evara. "Kenapa? Kamu jangan bodoh, Eva! Hidup ini tidak akan bahagia tanpa uang!" maki Safira. "Aku bahagia, Ibu. Aku tidak akan pernah bercerai dengan Brian." tegas Evara seraya mengusap lengan suaminya. Eva ingin Brian tidak membalas makian Safira. "Makan tuh, cinta!" Selak Athena sebal. Ia benci melihat wajah Brian yang tampan dan posturnya yang tinggi menjulang dan terutama, kakinya yang tegak sempurna. 'Tampangnya sih tampang orang berada, tapi ia hanya seorang mandor rendahan!' hati Athena merutuk. ************ Brian menghela nafasnya berkali - kali sebelum berbicara, "Aku akan berusaha memenuhi kebutuhan Eva, Bu. Aku akan membahagiakannya. Beri Aku kesempatan." Sang ibu, Safira, membuat cibiran di bibirnya. Ia sama sekali tidak mempercayai Brian dan menyesali kebodohan Eva. Semua cercaan dan hinaan kini menjadi santapan sehari - hari bagi Brian. Evara selalu menenangkannya dengan kata - kata yang lembut dan pelukan yang hangat. Itu membuatnya semakin mencintai Evara karena Evara begitu sabar dan tabah menghadapinya. Brian berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik tapi jalannya untuk menjadi eksekutif di perusahaan lain selalu dijegal sang Ibu. "Aku akan memblokir perusahaan Kalian jika Kalian menerima Brian bekerja di sini." ancam Ariana. Tidak ada perusahaan yang tidak ingin bekerja sama dengan Bramantyo corporate. Perusahaan iklan terbesar di ibukota. Juga banyak produksi lain. Semuanya untuk ekspor. Brian tahu sepak terjang sang Ibu untuk menggagalkan usahanya. Meski begitu Brian tidak pernah menyesalinya. Ia tahu Ariana ingin ia kembali ke rumah mewahnya dan mengakui kesalahannya karena menikahi Evara. Gaji nya sebagai mandor tentu jauh dari penghasilannya saat masih bersama sang Ibu. Memasuki bulan ketiga pernikahan mereka, Evara hamil. Mereka berdua menyambut kehamilan itu dengan rasa syukur. Brian bertekad berusaha lebih keras lagi agar dapat mencukupi Evara. "Brian, Athena ingin menikah. Aku minta Kamu dan Eva yang menyediakan maharnya!" Pinta Safira pada suatu pagi. Brian langsung merasa pusing. "Apa Eva sudah mengetahui nya, Bu?" "Belum. Aku baru bicara padamu. Kamu suami Eva, Kamu harus memenuhi semua kebutuhan Eva dan keluarganya." tuntut Safira penuh percaya diri. 'Kebutuhan Eva iya, tapi tidak dengan kebutuhan Kalian.' dengus hati Brian. Tapi mulutnya berkata lain, "Berapa maharnya, Bu?" 'Bahkan Eva pun tidak kuberi mahar.' sesal Brian dalam hati. "Tidak banyak. Hanya seratus juta." Jawab Safira enteng. "Seratus juta?" Kejut Brian. "Kenapa? Kamu tidak mampu? Lagi?" Cibir Safira. Ia tidak mau tau. Brian dan Eva harus mendapatkan uang itu. Evara yang baru selesai mandi merasa heran melihat wajah suram suami dan juga kehadiran ibunya. "Apa yang Kalian bicarakan?" Tanya Evara seraya menatap mereka bergantian. "Tidak ada." Jawab Safira. Ia akan mengatakannya pada Eva kali yang lain. Sekarang biar Brian yang berusaha lebih dulu. Safira beranjak keluar dari kamar berukuran tiga kali tiga meter itu. "Untuk apa Ibu masuk ke kamar Kita?" Tanya Evara. Brian menggeleng. Ia tidak ingin membebani pikiran Evara yang kini sudah mengandung buah cinta mereka. "Tidak ada. Hanya cercaan atas kemiskinanku seperti biasanya." Ujar Brian dengan senyum pahit. Evara merasa iba. Ia memeluk Brian dengan hangat. "Maafkan Aku. Aku yang membawamu ke sini." kata Evara sambil mengusap pipi Brian dengan sepenuh cinta. "Aku mencintaimu." Balas Brian tanpa ingin menyanggah. Evara tersenyum manis. "Aku juga mencintaimu." Katanya. Brian berangkat kerja dengan uang mahar yang begitu mengganggu pikirannya. Dulu uang seratus juta itu bukan masalah untuknya. Tapi sekarang? Apa ia harus meminta bantuan Adamis? Ia mulai memencet tombol hijau setelah mendapatkan nama adiknya. Perasaannya semakin berkecamuk. Apa yang harus ia katakan tentang uang seratus juta itu? ************Uang duka? "Apa maksud Anda dengan uang duka?"Alis Evara bertaut. Ia terlihat bingung. Pimpinan proyek itu segera menyadari kalau Evara belum menerima kabar ini. "Maaf, Nyonya Brian. Kami dari proyek tempat suami anda bekerja." katanya dengan berat hati. Evara mulai mengerti. "Apa yang terjadi dengan suamiku?" Tanya Evara. Air matanya mulai mengalir turun. Evara sudah dapat menduga tetapi hatinya menolaknya. Pimpinan proyek itu saling berpandangan dengan kedua anak buahnya. "Brian.. Mengalami kecelakaan kemarin siang, Nyonnya"Dunia mulai terasa berputar di mata Evara. Tapi ia masih mencoba bertahan. 'Tidak,' ia mengibaskan kepalanya. "Apa Brian ada di rumah sakit? Rumah Sakit mana?" Tanyanya dengan bibir bergetar. Pimpinan proyek itu terdiam cukup lama. Ia tidak tega melihat air mata Evara. Wajah cantiknya terlihat pucat seperti tak berdarah. "Brian,.. Brian meninggal, Nyonya." Anak buahnya merasa tidak tahan lagi. Ia tidak ingin membuat Evara berharap terlalu lama. "Tid
"Rencananya pagi ini Aku baru mau ke sana untuk memberitahunya." Kata Adamis lagi. Ariana terlihat bersemangat. Tapi ia juga tau Adamis tidak menyukai Evara. Ia pernah mengatakannya."Aku benci Dia, Mama. Dia yang membuat Kak Brian meninggalkan Kita!"Bagaimana kalau ia mengacau karena mengamuk di sana? "Mama yang akan memberitahunya, Dami. Mama akan pergi bersama Sony." Kata Ariana lembut. "Sebaiknya Kamu ke kantor aja." Katanya lagi. "Apa Mama yakin?"Sebenarnya Adamis memang enggan ke rumah Evara. Ke rumah perempuan yang membuat Kakaknya pergi meninggalkan rumah ini. Ia benci Evara! "Mungkin Sony akan terlambat ke kantor." Kata Ariana mengingatkan. Adamis mengangguk mengerti. Sony adalah orang kepercayaan Brian. Tentu ia sudah mengenal Evara. "Baiklah, Ma. Katakan pada Sony, waktu kerjanya hari ini fleksibel. Tapi hanya hari ini. Aku akan ke kamarku dulu." Katanya. Ia mencium pipi sang Mama sambil berharap dalam hati, 'Semoga Mama juga tidak terpengaruh pada perempuan jaha
'Dimana Kamu, Brian?' keluh hati Evara. Tiga tamparan sudah diterimanya hari ini. "Kamu harus melawan, Eva!" Terngiang ucapan Brian di telinga Evara. Plak!!! Evara membalas tamparan Athena dengan sekuat tenaganya. "Kamu yang lancang, Atha! Kamu adikku! Beraninya Kamu menampar orang yang sudah memberimu makan!" Teriaknya setinggi langit. Ia murka juga gelisah. Brian tidak kunjung datang padahal malam semakin merangkak naik. 'Apa Kamu ingin meninggalkanku, Brian? Tolong, jangan siksa Aku seperti ini..' Airmata Evara mulai mengalir turun di pipinya yang memerah karena 3 kali tamparan. "Kalau saja Brian tau kelakuanmu, Atha. Apa Kamu mau menanggung akibatnya?" isak Evara. Air mata terus mengalir di pipinya. Tiga kali tamparan membuat pipinya terasa memar. Tapi bukan itu yang membuatnya menangis. 'Kamu kenapa, Brian? Apa yang telah terjadi padamu? Apa Kamu baik - baik saja, Sayang?' Safira dan Athena mulai cemas. Apa Evara akan melaporkan kekerasan mereka pa
"Apa?!" Ponsel Ariana nyaris terjatuh jika Adamis tidak segera menangkapnya. Mereka baru saja menikmati hidangan makan siang yang mereka pesan. Ariana tidak menjawab. Ia bahkan menangis setengah histeris. Adamis melihat ponsel yang masih tersambung dan menempelkannya di telinganya. "Bagaiamana, Bu! Kapan Ibu akan membawa jenazahnya?" tanya orang di seberang sana. Ia merasakan nafas Adamis hingga ia mengira Ariana kembali pada ponselnya. Adamis merasa hatinya melorot ke bawah. "Ap.. Ap - pa maksud Anda? Jenazah?" Tanya Adamis terbata. "Ini siapa? Apa hubungan Anda dengan korban kecelakaan tunggal ini?" 'Korban kecelakaan tunggal?' Adamis melirik ibunya yang masih terus menangis. Bahkan pengunjung resto yang lain mulai ada yang menghampiri mereka untuk menenangkan Ariana. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada prihatin. Adamis menelan salivanya. Sekujur tubuhnya terasa dingin. "Korban.. Kecelakaan.. Tunggal? Siapa maksud..
'Tapi bagaimana kalau Mama mengetahuinya? Mau diletakkan dimana harga diriku?' keluh hati Brian. Ia melajukan motornya setelah mengantar Evara ke tempat kerjanya. 'Evara sedang mengandung. Ia harus berhenti bekerja dalam waktu dekat.' hatinya merasa galau. Ia jadi banyak melamun di tempat kerja. Ia berusaha menghubungi Adamis tapi ia segera membatalkannya. Adamis menatap ponselnya. Baru saja ia akan menjawab panggilan dari kakaknya saat panggilan langsung terputus. Adamis memutuskan melakukan panggilan balik. "Ada apa, Kak?" Tanyanya. "Ada apa?" Brian justru balik bertanya. "Kakak tadi menelponku." sergah Adamis merasa aneh. "Oh, apa begitu? Mungkin kepencet." Kilah Brian. "Sudah, ya. Aku masih harus lanjut kerja." Putus Brian. Ia langsung memutus hubungan tanpa Adamis dapat mencegahnya. 'Aku harus mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan uang itu. Aku harus memikirkannya lebih dulu.' batin Brian gelisah. Adamis tidak tau itulah percakapan terak
Brian juga tidak mengatakan kalau ia adalah pewaris utama Bramantyo corporation, sejak sang Ayah, Bramantyo Khairan berpulang hampir lima tahun yang lalu. "Bagaimana, Eva? Aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Apa Kamu masih bersedia menikah dengan orang miskin sepertiku?" ucap Brian seraya menatap Evara penuh puja. Evara menunduk. Ia mencintai Brian apapun keadaannya. Memang naif. Tapi itulah kenyataannya. "Aku juga mencintaimu, Brian. Aku mau menikah denganmu." kata Evara dengan kepala tetap tertunduk. Mereka menikah tanpa pesta. Evara mengajak Brian tinggal di rumahnya Brian tidak dapat membawa Evara ke apartemennya karena Ariana juga mencabut haknya atas apartemen itu. "Kembalilah ke rumah, Brian. Ceraikan Dia." Pinta Ariana melalui telpon. "Maaf, Ma. Mama belum mengenal Evara tapi sudah menolaknya." kata Brian. "Tapi dia hanya gadis tanpa masa depan, Brian. Dia dari kalangan bawah!" seru Ariana marah. "Aku yang akan menjadi masa depannya, Ma. Aku