LOGINAthena meringis menahan sakit. Cubitan Safira bagai mengoyak kulitnya. "Sebenarnya.. Aku.. Sebenarnya.." Kata Athena gugup. Ia merasa menjadi pusat perhatian sekarang karena semua mata memandangnya. Ia tidak terbiasa dan merasa demam panggung."Apa sih, maksudmu?" Selak Safira tidak sabar. Itu membuat Athena semakin gugup dan tidak percaya diri. "Tenangkan dirimu, Atha." Kata Evara. Suaranya yang halus seperti biasanya memang dapat menenangkan Athena. Safira hampir kembali mencubit Athena saat Athena mendelik tidak suka padanya. Tatapannya seolah mengatakan, 'Ini bukan urusanmu, Ibu!'Safira menelan salivanya. Ia merasa tidak dihargai. Mulutnya terbuka untuk mendamprat Athena, "Aku ingin bekerja, Eva. Apa ada kesempatan kerja untukku?"Ucapannya bukan hanya membuat Safira tidak jadi mendampratnya tapi ibunya itu menjadi terkesima dan membuat bulatan di mulutnya. 'Atha ingin bekerja? Aku nggak salah dengar?'Athena menundukkan wajahnya. Ia takut pada reaksi Evara dan mertuanya.
Schiphol, Amsterdam. Seorang laki - laki berlari - lari kecil menyambut Adamis. Dialah Vicky. Perawakannya tidaklah setinggi Adamis. Tapi kulit putihnya dan rambutnya yang dicat pirang membuatnya seperti orang Belanda sungguhan. "Tuan Adamis!" Sapa Vicky dengan nafas terengah. Ia mengira dirinya sudah terlambat dan membuat Adamis menunggu terlalu lama. Tapi tidak. Adamis baru saja keluar dari area baggage claim atau ruangan tempat mengambil kopernya. Adamis tertawa. Ia memasukkan lagi ponselnya. Semula ia ingin mengabari Evara tapi ia harus menyapa Vicky lebih dulu. "Apa Kamu sudah jadi orang Belanda sungguhan, heh?"Sejenak ia melupakan pantatnya yang panas karena duduk selama hampir 16 jam di dalam pesawat. Vicky membalas tawa Adamis dengan senyum tertahan. "Tuan muda bisa aja." Katanya malu. Penampilannya memang dibuat sedemikian rupa agar kolega baru tidak meragukannya. Kadang bila tau yang berhubungan dengan mereka adalah orang asing sikap mereka akan menjadi sedikit berb
Adamis berangkat ke Harleem. Evara sudah mengemas semua yang sekiranya dibutuhkan olehnya. Ia tidak melupakan membawakan banyak kaos kaki tebal karena ia takut Adamis kedinginan. Mata Evara sayu saat melepas Adamis. Ia meminta Ariana menunggu pesawat yang ditumpangi Adamis lepas landas. "Itu pesawatnya!" Beritahu Ariana. Mereka berdiri di depan mobil. Tidak jauh dari bandara. "Darimana Mama tau?" Tanya Evara. Ia merasa seluruh hatinya ikut terbang bersama Adamis. Ariana tersenyum dan mengajak Evara masuk ke dalam mobil. "Mama tau, Eva. Apa Kamu nggak percaya?" Tegas Ariana. Evara merasa bersalah karena meragukan mertuanya ini. Ariana tidak mungkin membohonginya. "Maaf, Ma. Bukan maksudku begitu." Katanya pelan. Ariana tersenyum dan mengangguk. Ia sangat memaklumi perasaan Evara. Sebenarnya ia sendiri juga merasa kehilangan setiap Adamis meninggalkannya untuk urusan pekerjaan. Tapi sekarang ada Evara dan itu membuatnya kuat. "Jalan, Pak." Titahnya pada sang sopir. Mata Evara
Bulan madu yang membahagiakan sekaligus menyengsarakan buat Adamis karena puluhan kali ia harus melawan hasratnya pada istrinya. Suatu malam Evara akhirnya tidak tahan lagi. Ia merasakan tubuh Adamis yang gemetar, "Lakukanlah, Adam. Lakukanlah," Desah Evara. Tapi lagi - lagi Adamis mendorong tubuh Evara. "Aku nggak mau.. Mencemari... anak Kakakku." Katanya dengan suara serak. "Tapi Kamu juga akan menjadi papanya, bukan?" Keluh Evara tidak habis pikir. Seorang wanita memang lebih pandai menahan hasratnya tapi ia tidak ingin membuat Adamis tersiksa. Ia harus ke kamar mandi dan berendam di air yang dingin cukup lama jika sudah begitu. Adamis juga memilih tidur di sofa untuk menjaga keinginannya itu. Tapi selebihnya mereka sangat bahagia dengan bulan madu mereka. Mahestra dan Moanda sangat memanjakan mereka. Evara merasa beruntung karena mempunyai keluarga suami yang sempurna baik dalam sikap maupun materi. Dering telpon di pagi hari membangunkan Adamis dari tidurnya. Adamis duduk
"Axel!" Tegur Alvian dan Artika berbarengan. Semua mata kini tertuju pada Alea untuk melihat reaksinya. Tapi untunglah Alea tidak menunjukkan reaksi yang mereka takutkan.Tinju Alea melayang perlahan pada bahu Axel,Bugh! "Jangan sok tau!" Kecamnya dengan nada sebal. "Apa Kakak tau apa yang ada di dalam hati orang? Apa Kakak itu seorang cenayang?" Katanya lagi setengah mengejek. Axel ingin membuka mulutnya tapi tatapan tajam dari Alvian menahannya. Ia segera meminum susunya dan mengejar sang papa. "Papa! Tunggu Aku!"Andara menghentikan langkahnya. "Kenapa dengan mobilmu?" Tanyanya sedikit heran. Axel menggeleng. "Aku hanya ingin jadi supir Papa hari ini. Apa nggak boleh?"Ucapannya membuat Andara tertawa. Diantara anaknya yang lain hanya Axel yang pandai membujuknya dengan kata - kata yang manis dan menyenangkan. Meski kelakuannya sering membuat kepalanya pusing tapi Andara tetaplah seorang papa yang sangat mencintai anak - anaknya. "Baiklah." Kata Andara seraya meraih bahu
Seperti yang telah diduga oleh Athena, Viona menolak keras untuk melakukan tes DNA dengan alasan, "Tes DNA itu mahal, Atha! Apa Kamu yang akan membayarnya?""Kenapa harus Aku? Bukankah bayi itu ada dalam perutmu? Apa hubungannya denganku?" Sangkal Athena keras. Viona memijit kepalanya untuk mengatasi rasa paniknya di depan Athena. "Tapi Kamu yang ingin melakukan pembuktian itu, Atha! Aku enggak! Aku sudah yakin anak siapa yang ada dalam perutku!" Tegas Viona. Tentu saja ia yakin siapa ayah bayi dalam perutnya. Dan itu bukanlah Athena. Athena tersenyum sinis. Diminumnya sisa minuman keras dalam gelasnya. Viona berusaha merayunya dengan membelikannya minuman keras kesukaannya. Tapi hati Athena sudah terlanjur patah. Ia sudah tidak memiliki kepercayaan lagi pada Viona. "Itu sudah membuktikan, Vion." Katanya. "Membuktikan apa? Kalau anak ini bukan anakmu? Apa Kamu gila, Atha?" Bantah Viona berlagak tersinggung. "Bukan hanya itu, ternyata Kamu juga pelit pada dirimu sendiri. Apalag







