Okta sempat terkejut sesaat mendengar apa yang dikatakan Melisa. Namun, beberapa saat kemudian dia menunduk dan tak lama bahunya bergetar, terdengar suara tawa dari bibir pria itu.
Melisa yang sudah dalam keadaan kembali menangis langsung menatap bingung sang suami yang kini malah tertawa. Dalam hati Melisa bertanya apakah suaminya ini sudah gila? Sedangkan Okta sendiri kini menatap Melisa kembali, masih dengan tawanya. "Oh. Ternyata kamu sudah tahu?" tanyanya kemudian. "Baguslah kalau kamu sudah tahu," lanjut Okta. Sedangkan Melisa malah merasa syok dengan sikap suaminya. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria itu akan apa yang telah dia lakukan di belakangnya. "Sinting kamu," maki Melisa. "Memang sudah keputusan yang tepat kalau kita berpisah," lanjutnya yang mana Melisa langsung kembali memasukkan sisa pakaiannya. Kali ini Okta tidak lagi menghalangi niat Melisa untuk pergi. Terserah istrinya itu meminta apa saat ini. Toh semuanya sudah jelas kalau dia akan menikah dengan Rani. Bonusnya dia akan segera memiliki seorang anak karena calon istrinya itu sedang hamil. Okta duduk di pinggir ranjang. "Aku tidak akan menghentikan kamu, Mel. Aku dan Rani sudah baik dengan meminta izin sama kamu dan tetap menjadikan kamu yang pertama, Rani hanya mau menjadi yang kedua. Tapi, kamu malah memilih untuk berpisah. Ya sudah." Dia mengedikkan bahu. "Jangan terlalu diambil hati segala ucapan papa aku. Sudah aku katakan bukan kalau itu hanya sekedar basa-basi. Kalau aku katakan dengan jujur juga mereka pasti akan terima. Apalagi kalau Mama sampai tahu Rani sedang hamil. Dia pasti akan semakin merasa bahagia dan merekka langsung merestui hubungan kami," ujar Okta dengan tersenyum lebar. Pria itu tengah duduk santai dengan kedua tangan yang menyangga tubuhnya. Kepalanya mendongak dengan bibir yang tersenyum lebar membayangkan keluarganya akan bahagia. Suami istri dan juga seorang anak. Sosok yang selama ini belum dia dan Melisa miliki. Melisa sempat menghentikan gerakan tangannya. Apa yang dikatakan oleh Okta ada benarnya juga. Dia memang sudah tak berharga lagi di sini bukan? Keputusannya untuk pergi dan bercerai memanglah sangat benar. Melisa menarik resleting kopernya lalu meraih gagang koper dan menyeretnya keluar dari kamar. Dia mulai menuruni tangga dengan perlahan. Sesekali menarik napas untuk menguatkan dirinya. Tentu saja kedatangan Melisa membuat Windi dan Khalif menatapnya. Belum lagi ketika mereka melihat sebuah koper besar yang dibawa oleh menantu mereka. Keduanya sempat saling pandang sesaat dengan bingung sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan mendekati Melisa. "Sayang. Kamu mau ke mana bawa koper sebesar ini malam-malam?" tanya Windi kemudian. Sekuat tenaga Melisa memasang senyum di bibirnya. Dia menatap kedua mertuanya yang selama ini selalu bersikap baik terhadap dirinya. "Pa, Ma. Terima kasih ya karena kalian selama ini sangat baik terhadap Melisa selama Melisa menjadi menantu di rumah ini." Dia menarik napas kembali. "Tapi maaf, Ma, Pa. Melisa mengundurkan diri untuk menjadi menantu di rumah ini." Dia memaksakan senyum meski air matanya kembali jatuh. Tentu saja apa yang dikatakan Melisa membuat Windi dan Khalif terkejut. keduanya saling tatap dengan keadaan bingung. "Apa yang kamu katakan, Sayang? Apa maksud kamu?" tanya Winda yang masih tak juga paham. "Iya, Nak. Kamu bicara apa?" Khalif ikut bertanya. Huh. Kenapa rasanya seperti sangat susah? Melisa mengembuskan napas kasar. "Pa, Ma. Melisa akan bercerai dari Mas Okta. Untuk itu, malam ini juga Melisa akan pulang dan akan segera mengurus perceraian kami secepatnya," ujar Melisa kemudian. Windi syok dibuatnya. Dia sampai melotot dan tangannya refleks menutupi mulutnya yang terbuka lebar. Melisa kembali memaksakan senyumnya. "Permisi, Pa, Ma." Dia berniat untuk pergi. Sayangnya, Windi langsung menahannya. Dia menggeleng dengan memegangi lengan Melisa. "Tidak-tidak, Nak. Apa yang kamu katakan? Kenapa tiba-tiba kamu ingin meminta cerai dari Okta?" tanyanya bingung. Khalif pun mengangguk. "Iya, Nak. Kamu ada masalah dengan Okta? Kita bicarakan dengan baik-baik, ya, Nak. Jangan mudah untuk meminta cerai. Itu tidak baik." Apa yang dikatakan Khalif memang tepat, tetapi dalam masalah yang tidak tepat. Bagi sebagian orang. Khalif mendongak menatap lantai dua di mana putranya tadi pergi ke sana. "Okta! Turun kamu. Ini istri kamu mau pergi kamu ke mana? Turun Okta!" teriaknya kemudian. Okta yang sedang asyik tiduran di ranjang langsung berdecak mendengar panggilan itu. Dia pun langsung keluar dari kamar dan turun ke lantai satu.Dia bisa melihat kalau kedua orang tuanya saat ini sedang mencoba untuk menahan kepergian Melisa. "Tidak, Nak. Kamu tidak boleh pergi sebelum menjelaskan sesuatu pada kami," ujar Windi yang terus menahan lengan Melisa. "Biarkan saja dia pergi, Ma," ujar Okta dengan langkah santainya. Kini dia sudah sampai di samping sang mama. "Biarkan saja Melisa pergi, Ma. Itu pilihannya sendiri," ujarnya sekali lagi. Baik Windi dan Khalif langsung melotot pada Okta. "Apa maksud kamu, Okta? Kamu membiarkan Melisa pergi? Kamu menyanggupi perceraian di antara kalian? Apa sebenarnya masalah kalian ini sehingga kalian ingin berpisah?" Rasa khawatir Khalif sebelumnya kini berubah menjadi rasa marah karena merasa keputusan anak dan menantunya sudah keterlaluan. Tanpa bicara pula. Melisa yang mendengar itu hanya mengalihkan pandagan. Air matanya tak kunjung berhenti. Sedangkan Okta tampak mengembuskan napas kasar. "Pa. Dia sendiri yang meminta cerai. Okta hanya mau menuruti saja. Padahal, Rani sudah mengatakan kalau dia ingin menjadi istri keduaku, bukan satu-satunya. Rani hanya ingin menjadi madu kakaknya." Kerutan terlihat jelas di kening Khalif dan juga Winda. "Rani? Istri kedua? Maksudnya apa ini?" tanya Khalif dengan suara yang semakin keras. Okta menghela napas panjang kembali. Dia pun mulai menjelaskan pada kedua orang tuanya. "Pa. Rani meminta izin kalau dia ingin menjadi istri keduaku. Dia tidak ingin merebut aku dari kakaknya, kok. Tapi, Melisa tidak mau dan memilih untuk bercerai denganku," ujanya kemudian. "Apa!" teriak Windi dan Khalif secara bersamaan. Terkejut? Pasti. Syok? Sudah jelas. "Lelucon macam apa ini?" tanya Khalif tak habis pikir. Masalah sebesar ini mereka sembunyikan darinya. Tatapan Khalif jatuh pada putranya. "Dan kamu setuju kalau Rani mau menjadi istri kedua kamu?" Okta tanpa ragu mengangguk. "Iya." "Gila kamu!" maki Khalif. "Atas dasar apa kamu mengiyakan keinginan adik iparmu yang gila itu?" Ya. Bagi Khalif Rani adalah sosok gila karena mempunyai keinginan untuk menjadi istri kedua dari suami kakaknya sendiri. "Pa. Rani tidak gila. Dia hanya ingin hidup bersama dengan Okta. Dan Okta menerimanya karena kami saling mencintai," jawab Okta singkat dan jujur. "Kalian saling menyukai? Apa maksud kalian!" bentak Khalif karena tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia dengar. "Mas Okta dan Rani sudah menjalin hubungan di belakang Melisa, Pa," ujar Melisa memperjelas kemudian. Khalif dan Windi menatap tajam Okta. "Kamu berselingkuh?" tanya Windi dengan amarah yang sudah tidak bisa lagi ditahan menerima kebenaran itu. Okta mengedikkan bahunya. "Ya mau bagaimana lagi, Ma. Kami saling mencintai dan perasaan itu tidak bisa kita kendalikan bukan?" tanyanya dengan santai seolah apa yang dia lakukan adalah hal benar. "Dasar gila!" teriak Windi. Tepat setelahnya dia melayangkan sebuah tamparan ke arah pipi sang anak. Kemarahan jelas terlihat dari sorot matanya. Napas Windi terlihat memberat sebagai tanda seberapa marahnya perempuan itu. "Kamu laki-laki Baj*ngan!'' teriaknya sangat keras dengan menunjuk ke arah Okta.Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih
Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag
Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen
Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m