Share

6. Pergi

Penulis: Evie Edha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-05 13:00:58

"Apa yang Papa lakukan?" tanya Riyanti dengan rasa terkejut. Dia menatap suami dan juga putrinya secara bergantian.

Sedangkan Bagus tidak mempedulikan sang istri. Tatapannya masih tajam mengarah pada Rani yang kini menatap dirinya dengan mata membeliak dan tangan memegang pipi yang baru saja dia hadiahi sebuah tamparan.

Bagus mengangkat sedikit dagunya. "Sejak kapan aku mengajarimu menjadi perempuan murahan? Ha?" Dia bertanya dengan nada membentak.

"Katakan? Siapa yang mengajarimu menjadi wanita murahan?" Dia kembali bertanya.

Rani menatap papanya dengan kerutan kebingungan. Dia terkejut dengan kalimat barusan. "Apa maksud Papa?" tanyanya kemudian.

Begitu pun dengan Riyanti. Dia juga merasa terkejut dengan pertanyaan suaminya. Mendekati sang putri, dia memegangi kedua pundak Rani dan menatap suaminya. "Apa yang sudah Papa lakukan? Dan apa yang Papa katakan tadi? Kenapa Papa tiba-tiba datang lalu menampar Rani dan bertanya hal seperti itu?" tanya Riyanti yang tiba-tiba ikut merasa kesal sebab suaminya menanyakan hal yang menyakitkan hati.

Bagus masih menatap tajam Rani dan sang istri. "Lalu apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya seperti itu?" tanyanya kemudian.

"Katakan! Apa yang harus papa tanyakan kalau bukan bertanya mengenai itu?" Bagus mengulang kalimat pertanyaannya.

"Papa ini apa-apaan sih?" tanya Riyanti sedikit sewot.

"Apa papa harus bertanya bagaimana keadaan kandungan kamu? Begitu?" Bagus bisa melihat bola mata kedua perempuan di hadapannya semakin melotot lebar, bahkan keduanya saling tatap untuk beberapa saat.

"Atau papa harus bertanya sejak kapan dia menjadi simpanan Okta?" lanjut Bagus kemudian.

Semakin terkejutlah Rani dan Riyanti. "Papa," panggil Riyanti, dalam hati mereka bertanya-tanya apakah Bagus sudah mengetahui mengenai perselingkuhan Rani dan Okta?

Bagus mengangkat tangan ketika melihat istrinya yang membuka bibir, pertanda untuk Riyanti tetap diam karena dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun saat ini.

Bagus menggeleng pelan, gurat kekecewaan terlihat jelas di wajahnya saat ini. "Papa benar-benar tidak menyangka sama kamu Rani. Bisa-bisanya kamu berselingkuh dengan Okta. Dengan suami kakakmu sendiri?" tanyanya dengan Nada tinggi di akhir kata. Urat di leher menunjukkan jelas seberapa marahnya Bagus saat ini.

"Memalukan!" Maki Bagus pada Rani.

"Pa---"

"Dan kamu?" teriak Bagus memotong kalimat yang akan diucapkan istrinya. Pria itu kini menunjuk wajah Riyanti dengan kemarahan yang kembali tersulut mengingat istrinya menyembunyikan hal sebesar ini.

"Kamu sudah keterlaluan, Ma. Kamu menutupi kebusukan anak kamu yang menjadi selingkuhan ini! Kamu mendukung apa yang dia lakukan begitu?" Bagus berkacak pinggang.

"Kamu mendukung dia menjadi pelakor begitu? Iya?" Suara Bagus semakin meninggi.

'Keterlaluan!" Dada Bagus naik turun akibat kemarahan. Dia masih benar-benar tidak menyangka dengan apa yang sudah dilakukan pada dua orang ini.

Riyanti kini sangat yakin kalau suaminya telah mengetahui perselingkuhan Rani dan juga suami Melisa. Dia mencoba mendekati Bagus dengan menggapai tangannya. "Pa---"

"Kami menjalin hubungan karena kami saling mencintai, Pa." Tiba-tiba saja Rani yang sejak tadi diam membuka suaranya. Kalimat yang diucapkan perempuan itu mengatakan kebenaran atas perselingkuhannya.

Riyanti yang mendengar itu melotot seketika, menatap tajam putrinya dan merutuki kebodohan Rani. "Rani! Diam!" Dia menegurnya.

"Apa, Ma? Biarkan saja aku bicara. Toh Papa sudah tahu semuanya. Apalagi yang harus kita tutup-tutupi?" Rani menatap mamanya penuh tanya.

Riyanti semakin melotot. Ingin sekali dia menoyor kepala Rani agar otak perempuan itu bisa encer sedikit.

"Kalian." Bagus menunjuk dua orang itu secara bergantian.

"Kalian benar-benar keterlaluan! Papa kecewa sama kalian!" Bagus langsung membalikkan badan dan pergi dari ruangan itu.

"Papa. Papa." Riyanti bermaksud mengejar sang suami, tetapi dia menyadari kalau itu terasa percuma.

"Kamu ini, Ran. Gimana sih?" Dia berujar kesal pada putrinya.

Sedangkan Rani yang masih santai memilih untuk kembali memakan jeruknya yang tersisa. "Sudahlah, Ma. Jangan dipikirkan lagi. Cepat atau lambat Papa dan Kak Melisa harus tahu juga, kan?"

Riyanti berdecak. Dia merasa bingung saat ini. Mendudukkan diri pada sofa, dia pun hanya bisa memegang ujung keningnya karena merasa pusing.

***

Melisa sudah sampai di kediaman Okta. Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu utama. Sebelum membuka pintu, Melisa tampak menarik napas dalam seolah menyiapkan diri untuk segala hal yang akan terjadi.

Setelah siap, Melisa pun memasuki rumah. Dia melihat suami dan kedua mertuanya sedang bersantai berada di ruang tengah.

"Itu Melisa," ujar Okta yang melihat kedatangan sang istri. Semua atensi pun terarah kepadanya.

"Kamu lembur, Sayang makanya baru pulang?" tanya Okta.

Melisa memang menghentikan langkah sebentar, tetapi dia hanya mengangguk lalu meninggalkan ruang tengah menuju kamar. Dia akan mengemasi pakaiannya lebih dulu.

Okta yang menatap gelagat aneh istrinya memilih langsung mengikuti Melisa. Memasuki kamar, dia mengerutkan kening kala melihat sang istri yang mulai mengemasi pakaian ke dalam koper.

"Melisa? Apa yang kamu lakukan?" tanya Okta. Dia mendekati sang istri.

Berdiri di ujung ranjang, dia menatap pergerakan istrinya yang mengambil pakaian dari dalam lemari dan memasukkannya ke dalam koper. Tak ada jawaban untuk pertanyaannya tadi. 

"Kamu ada tugas ke luar kota? Dan harus siap-siap sekarang?" tanyanya lagi dan tetap tidak mendapat jawaban.

Okta pun mulai kesal karena merasa diabaikan. "Sayang. Kamu masih kesal karena aku memiliki niatan menikahi Rani? Oh ayolah jangan kekanak-kenakan seperti ini dengan mendiamkan aku," ujarnya dengan kekehan.

Namun, tetap tidak ada jawaban sama sekali.

Okta mulai merasa aneh kala Melisa memasukkan semua pakaiannya. Dia pun mendekati sang istr, mengulurkan tangan lalu memegang pundak sang istri sembari bertanya. "Melisa apa yang ka---"

"Jangan sentuh aku!" teriak Melisa keras sembari menepis tangan Okta yang ingin memegang pundaknya.

Kini dia berbalik badan dan menatap tajam sang suami sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah Okta. Dia menggeleng pelan. "Jangan sekali-kali menyentuhku dengan tangan kotormu yang sudah menjamah tubuh perempuan lain itu," ujarnya sekali lagi dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.

Okta yang melihat keadaan Melisa pun merasa aneh. Dalam hati bertanya apakah semarah itu Melisa sampai ingin meninggalkan rumah? Dan apa pertanyaannya tadi? 

"Kamu ini kenapa sih? Marah-marah tidak jelas. Dan itu ...." Okta menunjuk ke arah koper sang istri.

"Untuk apa juga kamu memasukkan semua pakaian kamu ke dalam koper? Kamu mau pergi dari rumah ini?" tanya Okta kemudian.

"Ya." Hanya itu jawaban dari Melisa dan dia melanjutkan kembali aktivitasnya memindahkan pakaiannya.

"Kamu ini kenapa sih? Kalau kamu marah soal Rani, tidak perlu seperti ini." Dia mencoba mengeluarkan pakaian sang istri yang sudah masuk ke koper.

Namun, di luar dugaan Melisa yang melihat itu langsung melabuhkan sebuah tamparan pada Okta dengan sangat keras. Dia melakukannya dengan sekuat tenaga yang dia punya. Napasnya memburu dengan dada naik turun.

Tangan Melisa kembali menunjuk ke arah Okta. "Jangan, coba-coba menghentikan aku," ujarnya penuh penekanan.

Okta marah dengan hal itu. "Bisa tidak kita bicara baik-baik? Jangan seperti in---"

"Istri mana yang bisa baik-baik saja kalau suaminya sudah berselingkuh di belakangnya!" teriak Melisa keras karena dia sudah benar-benar merasa muak. Tidak peduli kalau mertuanya akan mendengar keributan ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   107. Selesai

    Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   106

    Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   105

    "Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   104

    Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   103

    "Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   102

    Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   101.

    Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   100

    Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen

  • Adikku Ingin Jadi Maduku   99

    Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status