"apa kak Edward bercanda atau mungkinkah aku salah dengar?" tanya Tania tak yakin."Kau tidak salah dengar dan aku juga tidak bercanda, aku menolak perjodohan ini Nona Tania. Aku sangat tidak tertarik padamu," jelas Edward dengan tenang.raut wajah Tania seakan kacau, "Ba-bagaimana bisa kau menolakku? Apa yang kurang dariku? d-dan bukankah ayahmu yang duluan menawarkan rencana Perjodohan ini. Kau tidak bisa menolaknya begitu saja, ayahmu pasti akan murka!" tekan Tania."jangan bawa-bawa ayahku Tania, ayah sekalipun tidak bisa memaksa Kak Edward," sahut Rachel tegas."aku hanya diam melirik Tania, ia menggertakkan gigi tak terima. "Tania, Edward sudah menolakmu. Berarti rencana perjodohan ini tidak bisa dilanjutkan," ucapku tenang.Tania beridri, ia mengebrak meja dengan marah, "Tidak bisa kakak, kak Edward tidak bisa menolakku dengan mudah begini, apa kurangnya aku? Aku Tania Fellias, putri bungsu Ethan Nugroho Fellias. Aku tidak terima dengan penolakan ini. Kak Edward coba pikirkan la
"Bella kau dari mana saja?" tanya Rachel setelah aku memasuki kamar.Aku tersenyum menjawabnya, "hari ini aku telah menerima sesuatu yang berharga."Rachel menyerit, "Apa kak Edward melamarmu?" tanyanya dengan mata berbinar, aku langsung melemparnya dengan bantal, "Bukan seperti itu," gerutuku.Aku mendekatinya yang tengah duduk di pinggir ranjang. "Kau tau apa ini?" kataku menunjukkan sebuah amplop cokelat.Rachel meraih amplop itu dengan raut bingung, kemudian ia membukanya, wajahnya terkejut seketika. "Ini sungguhan?" serunya dengan mata terbelalak, aku mengangguk mengiyakan.Dengan semangat Rachel berseru senang, "ini adalah kabar bahagia, kita wajib merayakan peresmian kebebasanmu!"Aku menggeleng, "belum waktunya untuk merayakan, ada yang harus ku lakukan dulu," kataku serius.Rachel terdiam, wajahnya menggambarkan kebingungan.Sebenarnya setelah menerima surat percerian itu, aku langsung menghubungi dua orang yang pernah ku hormati dan ku anggap penting. Mereka harus hadir dalam
"Ayah mertuaku sedang ke Singapore bu, maka dari itu Tania dititpkan pada kami," jawab Zico berbohong. pandai sekali dia bersilat lidah."enak banget ya, besan keluar negeri sesuka hati. Ga pernah nawarin kami buat pergi bersama, padahal kami sudah menyerahkan putra kami satu-satunya," cerocosnya tidak jelas.Aku menghela nafas sembari memegang pelipis, benar-benar mantan ibu mertua yang cerewet.Rachel akhirnya turun kembali, ia membawa amplop cokelat ditangannya lalu menyerahkan padaku."Apa itu syang?" Mata Zico melirik amplop cokelat yang ku pegang."Surat penting untuk orangtuamu," jawabku tersenyum.Mata ibu Zico seketika berbinar, "surat penting? mungkinkah itu sertifikat rumah atau tanah yang ingin kau beri untukku, nak menantu?"aku membalas tersenyum dan menggeleng, "ini hal mengejutkan yang lebih dari itu," jawabku membuatnya semakin berbinar.Zico dan Tania melirik heran padaku, ia pasti bingung apa yang tengah ku lakukan.tak lama kemudian, ponselku berbunyi. terdapat pesa
Setelah memastikan kepergian Zico dan kedua orangtuanya, aku merasa lebih lega."Selamat Nona Bella, pria benalu itu sudah resmi keluar dari rumah ini. Jika ibunya mengancam menuntut harta goni-gini, kau bisa memberinya nomorku, aku akan menanganinya untukmu," ucap pengacara Nowela. Ia membereskan foto-foto vulgar itu lalu mengembalikan ke amplopnya.Aku tersenyum menghadapnya, "Terimakasih Nona pengacara, peranmu sangat membantuku hari ini. Aku yakin ibunya itu tidak akan berani menuntut harta apapun."Pengacara Nowela memasukan amplop foto itu kedalam tasnya, "kalau begitu, aku pamit pergi dulu. Aku akan meminta temanku untuk mengunggah berita itu malam ini. Kau tunggulah kabar selanjutnya," ucapnya sebelum pergi.Aku mengangguk dan menyuruh Nina mengantarnya sampai keluar karena aku masih ada urusan dengan satu ular ini."Tania adikku, bukankah sekarang giliranmu?" aku tersenyum ramah sembari menoleh padanya yang tengah berdiri mematung."Hei~ adikku sayang, kemarilah ... Kakakmu in
Setelah memastikan Tania dibawa pergi. Rasa lemas dikakiku tiba-tiba menyerang. Aku terduduk dilantai memperhatikan telapak tanganku yang memerah setelah berulang kali menampar anak itu.Aku menggenggam tanganku sembari menutup mata, tergambar jelas wajah ayah dan mendiang ibuku saat mereka menyuruhku menyayangi Tania sewaktu kecil. Perasaan ini mengangguku, namun aku tidak ingin terlihat lemah. Itu akan membuat Tania semakin menjadi-jadi meremehkanku.Dia sudah menujukkan wajah aslinya, itu artinya ini bukan lagi perang tersembunyi. Jika ingin mengakhiri ini, aku atau dia harus ada yang kalah."Bella ... Kau tak apa?" tanya Rachel mendatangiku, aku tersenyum menoleh padanya. "Aku baik-baik saja."Aku merogoh kantungku dan mengeluarkan botol kecil dari sakuku. "Dia sudah merasakan bagaimana rasanya meminum racun yang ia berikan sendiri. Aku sudah puas melihat ketakukannya saat meminum racun itu," ucapku. Aku menatap datar botol kecil di telapak tanganku.Aku beranjak berdiri kemudian m
Keesokan harinya Nina datang ke kamarku untuk memberi laporan. "Apa kau sudah membaca pesanku kemarin?" tanyaku yang tengah bersiap didepan cermin."Seperti isi pesan Nyonya, saya sudah menyuap dokter itu untuk memberi penawarnya diam-diam lalu tidak lupa dokter itu mengatakan diagnosa palsu seperti yang Nyonya inginkan," jawab Nina.Aku tersenyum sembari merapikan rambutku, "baguslah."Nina terdiam sesaat, ia seperti ingin bertanya namun ragu. "Apa ada yang ingin kau katakan," tanyaku menoleh padanya.Nina meremas tangannya kemudian dengan ragu bertanya padaku, "Ma-maafkan saya jika pertanyaan saya lancang Nyonya, mengapa Nyonya memberi penawar itu? padahal kemarin di gubuk Nona Tania sempat sekarat dan akan mati."Aku mengela nafas, tidak aneh dia menanyakan itu. Rachel juga sempat bertanya begitu."Aku senang kau bertanya begitu Nina, itu artinya kau mendukungku untuk menghabisinya, ... tetapi, ini belum saatnya. Biarkan aku membuatnya menderita dulu," jawabku tersenyum.Bohong jika
Didalam mobil ditengah perjalan sangat hening, Edward hanya fokus menyetir sedang aku memperhatikan luar jendela. "Apa kau sudah menghukum adikkmu dengan baik?" tanya Edward memulai pembicaraan."Ya, bisa dikatakan begitu. Dia orang yang sangat membenciku. aku tidak tahu, apa setelah ini ia akan berhenti atau tidak," jawabku tanpa menoleh."Aku tahu kau ingin menghukum adikkmu dengan tanganmu sendiri, walau begitu jika kau butuh bantuan. Katakanlah padaku," ucap Edward. Aku menunduk dan tersenyum, "terimakasih."Sesampainya di kantor, aku pamit pergi pada Edward, namun ia tiba-tiba memanggilku. "Bella, kau cukup menangani adikmu saja. Dan jangan khawatir, mantan suamimu tidak akan pernah menganggumu lagi," ujar Edward dengan senyum misterinya.Aku terdiam hingga mobil Edward pergi, "apa dia sudah melakukan sesuatu pada Zico?" gumanku berfikir.Aku berjalan memasuki lobi kantor. Keramaian di tempat receptionist membuatku menyerit, aku buru-buru menghampiri mereka. "Ada apa ini?" tanyaku
PoV Tania..."Lepaskan! lepas ku bilang!" Aku meronta sebisa mungkin, namun dua pria kekar ini dan melemparku masuk ke gubug jelek. "Aku tidak ingin disini! aku ingin pulang!" teriakku dengan nafas memburu.Tiba-tiba aku merasa aneh dijantungku, "uhuk ... uhuk ..." Aku berusaha menahan batuk tapi tetap tidak berhenti. Aku memegang dadaku, rasa sakit saat batuk begitu menyakitkan. Hingga tiba-tiba aku merasa akan muntah."Uhuk ... Brub!" tanganku gemetar saat melihat cairan darah yang begitu banyak keluar dari mulutku. "D-darah?" kepalaku terasa berat aku terus batuk dan memuntahkan cairan darah. Sampai aku merasa lemas dan terkapar, rasanya benar-benar menyakitkan."To-tolong ... a-aku mohon ... uhuk ..." Aku merayap memegang kaki salah satu pria kekar itu, "d-dokter, p-panggilkan, to-tolong." Rasanya aku semakin sulit untuk bernafas.Tidak! aku tidak ingin mati, sekuat tenaga aku menjaga kesadaranku. Aku berusaha menganggkat kepalaku untuk mendongak, pelayan itu muncul bersama dokter