Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.
Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.
Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Dan benar saja. Tepat saat Aletta hendak mengunci semua jendela, pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Aletta sontak mengambil langkah besar, berharap bahwa Janu adalah pelakunya.
Namun, Justru Javier yang muncul. Aletta celingkuan, mencoba mencari keberadaan Janu yang bisa saja sengaja bersembunyi.
“Mau kemana?” tanya Javier, memperhatikan penampilan Aletta yang rapih. Lelaki itu mengembuskan nafasnya kasar, menyadari gelagat gadis tersebut. “Janu gaikut, dia harus sekolah,” papar Javier, meleburkan harapan sekaligus senyum tipis di bibir Aletta.
“Sekolah?” tanya Aletta, memastikan.
Javier mengangguk, “Kamu mau kemana?” ulang lelaki itu.
Alih-alih menjawab, Aletta justru tenggelam dalam pikirannya. Ia kesal, mendengar Janu bisa bersekolah tanpa menghubunginya sekalipun. Mata Aletta kini menatap tepat ke wajah lelaki di hadapannya.
“Kakak ngapain kesini?” tanya Aletta, sedikit takut bahwa lelaki itu akan memarahinya. Dulu, Janu sempat bercerita tentang Javier. Lelaki itu seperti jiplakan Ayahnya. Dingin, tegas, ambisius, idealis, dan sulit dalam mengontrol emosi.
“Saya mau ngobrol sama kamu.” Tanpa menunggu jawaban Aletta, lelaki itu masuk ke dalam rumah.
Aletta menaikan satu alisnya, terkejut akan perlakuan tidak sopan Javier. Buru-buru ia menyusul Javier, yang sudah duduk di salah sofa miliknya.
“Duduk,” titah Javier pada Aletta. Gadis itu menurut, walaupun sedikit heran karena Javier berlagak seperti tuan rumah. Mata lelaki itu mengedar, memperhatikan setiap detail rumah Aletta. “Kamu tinggal sendiri?” tanya lelaki itu.
Aletta mengangguk. “Emang, Janu gak cerita?” tanyanya.
“Cerita, banyak banget. Kita ngobrol semaleman,” kata Javier, masih belum selesai dengan kegiatan menyapu detail rumah Aletta.
Kalo tau, kenapa nanya coba? teriak batin Aletta.
Seakan Javier bisa mendengarnya, lelaki itu tiba-tiba menatap Aletta. Tepat di maniknya. Posisi itu bertahan untuk beberapa saat, tanpa suara dari keduanya. Javier yang tenggelam dengan pikirannya, sedangkan Aletta berusaha mencerna sorot yang Javier berikan.
Bagi Aletta, lelaki itu tampak sendu. Entah karena merasa iba pada Aletta atau hal lain, Aletta tidak terlalu perduli. Hingga akhirnya, Javier membuka suara di detik selanjutnya.
“Saya bakal tanggung jawab,” ucap Javier, memicu berkerutnya kulit dahi Aletta.
“Hah?”
“Saya, bukan Janu yang akan bertanggung jawab atas bayi di perut kamu,” jelas Javier.
Aletta membeku di tempatnya. Roman gadis itu berubah datar. Apakah lelaki di hadapannya ini sedang bercanda? Kalau iya, Aletta akan dengan terang-terangan berkata bahwa, ini lucu. Akan tetapi, wajah serius Javier seakan menyergah pikiran Aletta tersebut.
“Maksud Kakak?” timpal Aletta, singkat.
“Saya gak bisa biarin Janu menikah di umur dia yang masih belia. Di saat bersamaan, kamu butuh pendamping dan seorang Ayah untuk bayi kamu. Karena itu, saya akan menikahi kamu, Aletta. Saya, bukan Janu,” beber Javier, menekankan bagian akhir kalimat.
Aletta memang mempercayai Javier, bahkan lebih dari ia mempercayai Janu, pacarnya sendiri. Namun, bukan berarti Aletta akan senang mendengar ucapan Javier barusan. Lelaki itu bahkan tampak datar-datar saja. Sama sekali tidak terganggu akan sorot tajam yang Aletta berikan.
Alis Aletta terangkat satu. Ia mengingat jelas, Janu pernah bercerita kalau Javier memiliki seorang kekasih. Bahkan hubungan mereka sudah terjalin sejak mereka masih SMA. Kata Janu, hubungan mereka begitu harmonis dan dewasa, sehingga sulit menemukan celah untuk mereka menyerah satu sama lain. Janu bahkan mengatakan bahwa ia ingin hubunganya dengan Aletta berjalan seperti milik mereka.
“Saya bakal putusin pacar saya, kalau perlu,” kata Javier, seakan bisa membaca pikiran Aletta. “Saya juga bakal buka hati buat kamu, saya bakal serius mendalami peran saya—“
“Bentar, kak,” sergah Aletta cepat, “Kakak lagi ngapain, sih? Bercanda? Nge prank aku?” tanyanya. Javier menggeleng tegas. “Gini, kak. Yang hamilin aku itu Janu, kenapa Kakak yang nikahin aku? Terus, kenapa kesannya jadi aku yang jahat? Kenapa Kakak harus putus karena aku?”
“Aku gamau, Kak,” sambung Aletta, nadanya begitu tegas.
“Saya gak lagi ngasih penawaran ke kamu. Ini satu-satunya jalan, kalau kamu mau, ya bagus. Kalau kamu gamau, saya gaakan ambil pusing,” tandas Javier, membuat Aletta memanas seketika.
Aletta menanggah, menatap atap rumahnya sebagai usaha untuk menahan air mata yang mendadak mendesak untuk di keluarkan. Dengan begini, hancur sudah harapan Aletta yang sempat terbangun karena kemunculan Javier.
Javier memajukan tubuhnya, berusaha mendekat pada Aletta sebelum membuka suara. Namun, gadis itu justru bangkit. Aletta menggeleng, menolak mendengarkan lebih banyak ucapan dari Javier. “Keluar, Kak. Udah cukup Janu nyakitin aku, tolong jangan ngomong apa-apa, lagi,” kata Aletta memperingati.
“Aletta, kita ngobrol dulu,” bujuk Javier, ikut bangkit.
“Engga, Kak. Tolong keluar dari rumah ini,” tolak Aletta.
“Aletta—“
“AKU BILANG KELUAR!” bentak Aletta.
Mau tidak mau, Javier mengikuti mau gadis itu. Dengan sorot frustasi, lelaki itu mengambil langkah lemah ke arah pintu rumah Aletta yang terbuka. Sedangkan Aletta menatap kepergian Javier, dengan matanya yang memerah. Barulah setelah Javier benar-benar pergi, tangis gadis itu meledak.
Kini, sudah tidak lagi ada harapan bagi Aletta mendapatkan pertanggung jawaban dari Janu atau keluarganya. Ia tidak mungkin datang ke kediaman keluarga Josshepa begitu saja. Aletta tidak seberani itu.
Seakan takdir belum cukup puas memberi Aletta derita, perut gadis itu tiba-tiba terasa sakit. Sangat amat. Buru-buru gadis itu bangkit, mencoba meraih ponsel di atas meja untuk menghubungi Abin. Namun, Aletta justru kehilangan kesadaran tepat di langkah pertama.
“ALETTA!”
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t