Share

BAB 7

Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.

Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.

Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.

Dan benar saja. Tepat saat Aletta hendak mengunci semua jendela, pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Aletta sontak mengambil langkah besar, berharap bahwa Janu adalah pelakunya.

Namun, Justru Javier yang muncul. Aletta celingkuan, mencoba mencari keberadaan Janu yang bisa saja sengaja bersembunyi.

“Mau kemana?” tanya Javier, memperhatikan penampilan Aletta yang rapih. Lelaki itu mengembuskan nafasnya kasar, menyadari gelagat gadis tersebut. “Janu gaikut, dia harus sekolah,” papar Javier, meleburkan harapan sekaligus senyum tipis di bibir Aletta.

“Sekolah?” tanya Aletta, memastikan.

Javier mengangguk, “Kamu mau kemana?” ulang lelaki itu.

Alih-alih menjawab, Aletta justru tenggelam dalam pikirannya. Ia kesal, mendengar Janu bisa bersekolah tanpa menghubunginya sekalipun. Mata Aletta kini menatap tepat ke wajah lelaki di hadapannya.

“Kakak ngapain kesini?” tanya Aletta, sedikit takut bahwa lelaki itu akan memarahinya. Dulu, Janu sempat bercerita tentang Javier. Lelaki itu seperti jiplakan Ayahnya. Dingin, tegas, ambisius, idealis, dan sulit dalam mengontrol emosi.

“Saya mau ngobrol sama kamu.” Tanpa menunggu jawaban Aletta, lelaki itu masuk ke dalam rumah.

Aletta menaikan satu alisnya, terkejut akan perlakuan tidak sopan Javier. Buru-buru ia menyusul Javier, yang sudah duduk di salah sofa miliknya.

“Duduk,” titah Javier pada Aletta. Gadis itu menurut, walaupun sedikit heran karena Javier berlagak seperti tuan rumah. Mata lelaki itu mengedar, memperhatikan setiap detail rumah Aletta. “Kamu tinggal sendiri?” tanya lelaki itu.

Aletta mengangguk. “Emang, Janu gak cerita?” tanyanya.

“Cerita, banyak banget. Kita ngobrol semaleman,” kata Javier, masih belum selesai dengan kegiatan menyapu detail rumah Aletta.

Kalo tau, kenapa nanya coba? teriak batin Aletta.

Seakan Javier bisa mendengarnya, lelaki itu tiba-tiba menatap Aletta. Tepat di maniknya. Posisi itu bertahan untuk beberapa saat, tanpa suara dari keduanya. Javier yang tenggelam dengan pikirannya, sedangkan Aletta berusaha mencerna sorot yang Javier berikan.

Bagi Aletta, lelaki itu tampak sendu. Entah karena merasa iba pada Aletta atau hal lain, Aletta tidak terlalu perduli. Hingga akhirnya, Javier membuka suara di detik selanjutnya.

“Saya bakal tanggung jawab,” ucap Javier, memicu berkerutnya kulit dahi Aletta.

“Hah?”

“Saya, bukan Janu yang akan bertanggung jawab atas bayi di perut kamu,” jelas Javier.

Aletta membeku di tempatnya. Roman gadis itu berubah datar. Apakah lelaki di hadapannya ini sedang bercanda? Kalau iya, Aletta akan dengan terang-terangan berkata bahwa, ini lucu. Akan tetapi, wajah serius Javier seakan menyergah pikiran Aletta tersebut.

“Maksud Kakak?” timpal Aletta, singkat.

“Saya gak bisa biarin Janu menikah di umur dia yang masih belia. Di saat bersamaan, kamu butuh pendamping dan seorang Ayah untuk bayi kamu. Karena itu, saya akan menikahi kamu, Aletta. Saya, bukan Janu,” beber Javier, menekankan bagian akhir kalimat.

Aletta memang mempercayai Javier, bahkan lebih dari ia mempercayai Janu, pacarnya sendiri. Namun, bukan berarti Aletta akan senang mendengar ucapan Javier barusan. Lelaki itu bahkan tampak datar-datar saja. Sama sekali tidak terganggu akan sorot tajam yang Aletta berikan.

Alis Aletta terangkat satu. Ia mengingat jelas, Janu pernah bercerita kalau Javier memiliki seorang kekasih. Bahkan hubungan mereka sudah terjalin sejak mereka masih SMA. Kata Janu, hubungan mereka begitu harmonis dan dewasa, sehingga sulit menemukan celah untuk mereka menyerah satu sama lain. Janu bahkan mengatakan bahwa ia ingin hubunganya dengan Aletta berjalan seperti milik mereka.

“Saya bakal putusin pacar saya, kalau perlu,” kata Javier, seakan bisa membaca pikiran Aletta. “Saya juga bakal buka hati buat kamu, saya bakal serius mendalami peran saya—“

“Bentar, kak,” sergah Aletta cepat, “Kakak lagi ngapain, sih? Bercanda? Nge prank aku?” tanyanya. Javier menggeleng tegas. “Gini, kak. Yang hamilin aku itu Janu, kenapa Kakak yang nikahin aku? Terus, kenapa kesannya jadi aku yang jahat? Kenapa Kakak harus putus karena aku?”

“Aku gamau, Kak,” sambung Aletta, nadanya begitu tegas.

“Saya gak lagi ngasih penawaran ke kamu. Ini satu-satunya jalan, kalau kamu mau, ya bagus. Kalau kamu gamau, saya gaakan ambil pusing,” tandas Javier, membuat Aletta memanas seketika.

Aletta menanggah, menatap atap rumahnya sebagai usaha untuk menahan air mata yang mendadak mendesak untuk di keluarkan. Dengan begini, hancur sudah harapan Aletta yang sempat terbangun karena kemunculan Javier.

Javier memajukan tubuhnya, berusaha mendekat pada Aletta sebelum membuka suara. Namun, gadis itu justru bangkit. Aletta menggeleng, menolak mendengarkan lebih banyak ucapan dari Javier. “Keluar, Kak. Udah cukup Janu nyakitin aku, tolong jangan ngomong apa-apa, lagi,” kata Aletta memperingati.

“Aletta, kita ngobrol dulu,” bujuk Javier, ikut bangkit.

“Engga, Kak. Tolong keluar dari rumah ini,” tolak Aletta.

“Aletta—“

“AKU BILANG KELUAR!” bentak Aletta.

Mau tidak mau, Javier mengikuti mau gadis itu. Dengan sorot frustasi, lelaki itu mengambil langkah lemah ke arah pintu rumah Aletta yang terbuka. Sedangkan Aletta menatap kepergian Javier, dengan matanya yang memerah. Barulah setelah Javier benar-benar pergi, tangis gadis itu meledak.

Kini, sudah tidak lagi ada harapan bagi Aletta mendapatkan pertanggung jawaban dari Janu atau keluarganya. Ia tidak mungkin datang ke kediaman keluarga Josshepa begitu saja. Aletta tidak seberani itu.

Seakan takdir belum cukup puas memberi Aletta derita, perut gadis itu tiba-tiba terasa sakit. Sangat amat. Buru-buru gadis itu bangkit, mencoba meraih ponsel di atas meja untuk menghubungi Abin. Namun, Aletta justru kehilangan kesadaran tepat di langkah pertama.

“ALETTA!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status