“Jav, lo denger gua gak, sih?”
Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.
Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.
Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba banyak hal. Dengan kata lain Jodry dan Javier telah menginvestasikan banyak waktu, uang, dan tenaga untuk sampai ke titik ini.
Dan semua bayangan itu hilang dari kepala Javier, karena kabar kehamilan Aletta.
“Sorry, Jo. Lo bilang apa tadi?” tanya Javier, seraya melirik proposal di tangannya.
Di kursinya Jordy mengembuskan nafasnya kasar. “Kertas di tangan lo kebalik,” kata Jordy.
“Oh iya,” gumam Javier, memutar kertas di tangannya. Lelaki itu mencoba membaca deretan kata yang tertera di sana. Tapi tak hampir semenit di posisi itu, Javier justru menyimpan kertas itu ke meja. Otaknya menolak diajak kerja sama.
Jordy yang masih melayangkan sorot tanya, kini berhasil menarik perhatian Javier. “Ada masalah apa? Ayah lo?” tebak Jordy. Lelaki bertubuh tegap itu ikut menyimpan kertas di tangannya, untuk fokus mendengarkan Javier. Wajah kusut lelaki itu, sangat menganggu fokus Jordy.
“Gua gapapa,” aku Javier, berbohong. Jordy menaikan satu alisnya, seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak percaya.
Membohongi orang terdekat itu seperti menulis di atas air. Javier hanya akan terlihat seperti orang bodoh di mata Jordy, jika ia melanjutkan kebohongannya. Karena itu, Javier pada akhirnya mendecih. “Kentara banget?” tanya Javier. Jordy mengangguk. “Tapi gua gak yakin buat nyeritain ini ke lo sekarang. Maksud gua, kita lagi sibuk,” sambung Javier.
“Terus lebih baik lo pendem sendiri gitu?” balas Jordy.
“Mungkin?” Javier mengangkat bahu.
“Kalau lo gak fokus, gua juga ikut gak fokus, Jav. Emang masalahnya fatal banget sampe bikin lo bengong gitu? jarang-jarang lo kayak gini,” papar Jordy.
“Janu ngehamilin pacarnya,” celetuk Javier tiba tiba.
Mata Jordy membulat, ekspresi andalannya ketika terkejut. “Nyata, nih? si Janu?” seru Jordy, tidak percaya. Javier mengangguk lemah, meyakinkan. “Gila tuh anak kecil,” maki Jordy.
Dengan begitu Javier dan Jordy memutuskan untuk menutup rapat mereka hari ini. Meja mereka bersihkan, tumpukan kertas kembali mereka susun serapih mungkin. Barulah setelahnya, mereka pindah ke tempat yang lebih nyaman untuk berbincang.
Bermula dengan kekecewaan Javier pada Janu. Tentu saja, seorang kakak seperti Javier di dunia ini pasti akan merasakan hal yang sama. Janu itu, bagaimana malaikat bagi Javier. Lucu, kecil, polos, dan ceroboh, sehingga Javier selalu ingin melindunginya. Karena itu, kekecewaan Javier perlahan berubah menjadi rasa bersalah.
Mungkin ini salah Javier karena telah meninggalkan adiknya itu sendirian di rumah. Javier jadi kurang di perhatikan, lelaki itu jadi mencari kehangatan pada Aletta. Mengingat, Ayahnya yang dingin dan selalu keras dalam mendidik. Juga, Ibunya yang terlalu sibuk mengekor pada sang suami. Hal itu pula yang menjadi alasan Javier ingin lepas dari keluarganya. Karena rumah itu tidak membuatnya nyaman. Rumah yang harusnya menjadi tempat Javier pulang, justru membuatnya ingin melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu, melarikan diri.
Cerita Javier berakhir dengan keputusan yang mungkin ia ambil, dan terbaik bagi masalah ini. Namun, Jordy menentang akan keputusan itu. “Lo yang bener aja, Jav?” kata Jordy, terkekeh sinis.
Javier mengembuskan nafasnya kasar. Ia juga sebenarnya merasa keputusan ini berlebihan. Namun, kasih sayangnya pada Janu melebihi apapun di dunia ini. “Gua gabisa diem aja, Jo. Janu bahkan belum lulus sekolah, dia pasti bingung banget sekarang. Isi pikiran dia sekarang, pasti dia bakal mati di tangan Ayah. Lo tau kan, Ayah gua gimana?” keluh Javier panjang lebar.
Jordy mengangguk, mengiyakan. “Gak semua harus lo yang selesain, Jav. Janu harus tanggung jawab atas apa yang udah dia perbuat—“
“Gak bisa,” sergah Javier cepat, lelaki itu tampak tegas akan keputusannya.
“Terus Felly?” tanya Jordy, membuat mimik wajah Javier menegang seketika. “Kalau lo gantiin Janu buat nikahin Aletta, lo mau jelasin gimana ke Felly? Dan lo yakin alesan lo bakal dia terima dengan mudah? lo sama dia udah pacaran empat tahun, Jav.” Jordy geleng-geleng, tak habis pikir dengan Javier.
Felly. Javier bahkan belum sempat mengabari gadis itu bahwa ia telah sampai ke rumah dengan selamat. Gadis itu memang selalu penuh pengertian. Berbanding dengan wanita biasanya yang sering Jordy ceritakan. Felly jarang mengeluh, jika Javier tidak mengabari berhari-hari. Gadis itu juga tidak mudah curiga atau cemburu. Pembawaannya selalu tenang dan manis. Ia juga mandiri, pintar, juga penyayang.
Atau singkatnya, Felly itu wanita sempurna. Javier selalu bersyukur dan bangga karena Felly adalah gadisnya.
“Lo berantem sama dia aja jarang, Jav. Masa tiba-tiba lo bilang pengen nikahin cewek lain? Sinting kali lo,” maki Jordy, kesal. Terlebih mengingat, kalau Jordy termasuk orang penting dalam hubungan keduanya.
“Jo, lo bikin gua makin pusing,” balas Javier, memijit pelipisnya dengan tubuh menyandar pada kursi.
“Udah tugas gua sebagai sahabat lo buat ngeutarain hal yang benar, Jav. Gua tau, kok, lo sayang banget sama Janu. Semua yang lo lakuin bahkan selalu didasarin buat kebaikan dia di masa depan. Cuma, gak gini juga lah, Jav. Lo harus inget sama perusahaan kita, sama Felly, sama mimpi-mimpi lo,” serang Jordy bertubi-tubi.
Javier membenarkan ucapan Jordy dengan hanya diam di tempatnya. Kini, isi kepalanya seperti sedang bertengkar. Menimbulkan rasa pening, dan mual dalam waktu bersamaan. Hingga sebuah notifikasi dari ponselnya memecah lamunan lelaki itu.
Ternyata dari Janu.
Janu : Bang, dimana? Janu minta maaf, Janu sayang abang.
“Jav?” panggil Jordy, pada Javier yang kini mematung dengan sorot berkaca-kaca. Lelaki itu tidak melepas fokusnya pada layar ponsel untuk beberapa saat. “Janu?” tanya Jordy memastikan.
Javier mengangguk lemah, lelaki itu kini menatap Jordy. Ia menggeleng, “Gua gabisa, Jo,” katanya, hampir berbisik.
“Hah?” Jordy menaikan satu alisnya, tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Gua gabisa biarin idup Janu ancur,” jelas Javier, sekali lagi memandang layar ponselnya dengan nanar.
“Jav, dengerin gua—“
Belum sempat Jordy menyelesaikan ucapannya, Javier buru-buru bangkit. Lelaki itu mengambil barang-barangnya untuk di masukan ke dalam tas. Tak lupa meraih jas hitam yang ia taruh di kursi kerjanya. Untuk beberapa detik, ia terhenti.
Matanya mengedar, untuk melihat pemandangan kantornya yang belum terisi penuh. Hanya ada beberapa meja dan kursi yang masih terbungkus rapih, serta sofa yang salah satunya di duduki Jordy. Di sana, Jordy menutup matanya.
Percuma, jika sudah seperti ini tidak akan ada yang bisa menghentikan Javier. Lelaki itu selalu teguh akan hal yang ia yakini. “Javier,” panggil Jordy tepat saat Javier hendak berlalu pergi.
“Sorry, Jo. Janu Cuma punya gua,” sahut Javier, terdengar begitu yakin.
“Seenggaknya, lo harus jujur sama Felly. Yakinin dia kalau ini bukan salah dia, dan perasaan lo ke dia selama itu nyata,” saran Jordy, yang langsung di iyakan Javier dengan anggukan.
Detik kemudian, Javier melangkah pergi. Meninggalkan Jordy dengan perasaan resahnya yang kini mendominasi. Bagaimana jika keputusan Javier menghancurkan fokus lelaki itu? Peresmian perusahaan hanya tinggal menghitung hari. Respon sang Ayah, respon keluarga Aletta, dan juga Felly.
Bagaimana Javier akan mengatasi semua itu dalam waktu bersamaan?
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b
Aletta menempelkan telinganya ke pintu. Memastikan apakah Javier sudah berangkat kerja atau justru diam di sofa tadi. Di dalam lubuk hatinya, Aletta tau perilakunya ini keterlaluan. Mengurus segalanya sendirian, terlebih Javier bekerja, rasanya akan mustahil. Suaminya itu pasti keteteran. Namun, gejolak aneh yang timbul kemarin membuat Aletta merasa, harus menjaga jarak dengan Javier. Aletta itu hanya gadis biasa, tidak dapat dipungkiri perasaannya bisa saja berubah jika terbiasa. Terlebih, mengingat Javier bukanlah lelaki yang sulit untuk membuat wanita jatuh hati padanya. Lelaki itu terlalu sempurna. Kulitnya putih susu, dengan dua lesung di masing-masing pipinya. Rambut yang lembut, wangi, berbadan tegap, jug
Di sebuah gedung bertingkat dua, dengan cat abu-abu gelap, dan furnitur yang senada. Lantai satunya tampak begitu ramai. Semua dari orang-orang itu menggunakan pakaian formal khas orang kantoran. Ada beberapa dari mereka yang duduk melingkar dengan satu meja besar di tengah. Ada juga yang berdiri, sibuk mengobrol atau hanya melihat-lihat. Hingga akhirnya acara penghujung membuat mereka berdiri serentak, menghadap ke podium kecil di bagian paling depan. Javier baru saja hendak memotong pita di tangannya, dengan Jordy di samping, dan puluhan orang yang menyaksikan. Namun, suara dering ponselnya menghentikan Javier sesaat. Masih dengan senyum lebar, Javier melirik layar ponselnya seklias. Detik selanjutnya lengkungan itu perlahan memudar. Untungnya, Jordy buru-buru menyenggol Javier, menyadarkann