Beberapa jam sebelum Tuti tewas.
...Atmosfir ruangan terasa berat. Aura-aura berganti dan saling membaur di dalamnya. Namun aura pekat milik Rayland Pram Adiptara jauh lebih mendominasi, mengenyahkan aura lain milik Ramlan, Ryan, juga Tania. Ini bukan kali pertama terjadi. Aura Rayland yang suram terkadang menginvasi aura lain hingga membuat pria itu tampak unggul--di mana pun dan kapan pun--saat dia menghendakinya. Tidak menutup kemungkinan, jika hal inilah yang membuat Rayland selalu tampak mengintimidasi, mengendalikan berbagai macam situasi, karena auranya.
Tidak ada yang tahu, bahwa sejatinya sosok Rayland juga mampu melihat warna aura seseorang. Pria itu terlalu misterius, gerak-geriknya nampak pasif sehingga tidak ada yang tahu pasti apa yang tengah dipikir
Berbulan-bulan terlewati sejak peristiwa kematian Tuti yang misterius. Tentu saja hari-hari yang dilalui Anya begitu berat. Tuti adalah pelayan pribadinya selama ia tinggal di mansion Adiptara, jadi tidak menutup kemungkinan jika mereka sudah akrab, tidak hanya sebagai pelayan dan majikan melainkan juga sebagai teman. Anya bahkan telah menganggap Tuti selayaknya sosok ibu yang cerewet; sering menegurnya mengenai hal ini-itu dan terutama mengenai apa yang bersangkutan dengan Rayland, suaminya yang kaku. Tuti adalah pelayan yang baik dibalik kecerewetannya, mungkin karena pengalamannya sebagai seorang pelayan membuatnya tidak merasa canggung jika berhadapan dengan Anya yang pecicilan dan pembuat onar. Sebaliknya, ia justru bersikap apa adanya dan tidak harus memasang sikap palsu untuk mendapatkan perhatian, mengingat status Anya sebagai nyony
Kalau saja ia bisa pingsan saking kagetnya. Anya ingin melakukannya sekarang. Sayangnya, ia sama sekali tidak berharap menjadi tontonan orang-orang yang menatapnya aneh, juga berpikiran yang tidak-tidak mengenai dirinya. Bisa dipastikan, ia akan di cap sebagai gadis yang mengawali mata kuliah terakhirnya di awal semester dengan pingsan di kelas. Tidak, Anya tidak menginginkannya. Namun nyatanya, dia merasa ingin pingsan justru karena dosennya sendiri, yang tidak lain adalah Rain. Orang yang sudah menculik dan hampir saja membunuhnya dengan sadis. Sontak, Anya hanya bisa termangu, tidak memikirkan apapun selain bagaimana dia akan mati ditangan Rain.Atau cara seperti apa yang akan dilakukan lelaki itu untuk menghabisi nyawanya. Nyatanya, Anya sangat takut sekarang. Dia tidak bisa memikirkan apapun selain kata MATI. Keringat dingin telah menghampirinya saat
Kriuk!! Kriuk!! Kriuk!! "Bisakah kamu makan tanpa harus menimbulkan bunyi menjengkelkan seperti itu?" Lolita menoleh sembari menyengir. Keripik pisang ditangannya berhenti tepat di depan mulutnya. Remah-remahannya pun menempel bak lintah darat di sekitar bibirnya. Ryuu yang pengertian segera menghapusnya dengan tissue. "Empat belas kali," Anya mengernyit. "Hah?" Lolita menggeleng. Suara kriuk-kriuk renyah kembali terdengar saat keripik pisang lagi-lagi masuk ke dalam mulut kecilnya. Seperti biasa, Ryuu yang duduk di samping gadis itu kembali bertingkah layaknya pelayan anjing--melayani Lolita. Benar-benar pria bucin. Menyebalkan!! "Sudah empat belas kali kamu marah-marah karena hal sepele hari ini, Anya. Katakan! Kamu ada masalah? Ryuu akan menyelesai
Tepat pukul lima sore, Anya tiba di mansion dengan wajah tertekuk kesal. Tidak perlu ditanya mengapa, sebab sudah pasti pasangan anjing Lolita dan Ryuu adalah penyebabnya. Anya tidak akan menceritakan kelakuan apa saja yang mereka perbuat selama di kebun binatang. Tidak. Sebab dia tidak ingin mengingat apapun lagi mengenai kejadianmemalukan yang Lolita lakukan. Anya mungkin hanya akan sedikit marah jika mereka berdua tidak menyeretnya ikut ke dalam masalah. Tetapi tampaknya, Lolita tidak akan senang jika tidak menyeretnya juga. Benar-benar true friends. Tidak pernah melupakan Anya. Namun sekarang, yang lebih membuatnya cemas adalah mengenai kedua pesan yang dikirimkan Rain juga Rayland. Mungkin dia bisa tenang jika Rayland hanya ingin pulang ke mansion. Toh, memang sudah seharusnya seperti itu. Tetapi bagaima
"Tuan, hari ini adalah pertemuan Anda dengan Mr. Zhou Cheng. Pihak mereka telah menanti Anda sejak tiba di Shanghai kemarin. Namun karena kesehatan beliau sedang menurun, pertemuannya baru dilaksanakan sekarang." Antonio berjalan mengimbangi Rayland di sisinya. Ketika dia menjelaskan rencana hari ini, Rayland hanya mendengarkan kemudian melaksanakan sesuai jadwal pertemuan. Langkah kaki keduanya berjalan cepat memasuki sebuah restoran ternama di Shanghai. Lantas, seorang pegawai pria berbadan tinggi, berkulit putih, bermata sipit, dan terlihat ramah menyambut kedatangan mereka dengan gaya profesionalitas yang tinggi. Baik Rayland maupun Antonio, keduanya berjalan mengikuti sang pegawai menuju salah satu ruang VIP di sana. Tempat dimana pertemuan bisnis itu akan berlangsung dengan pemilik Zhou Grup--yang tidak lain adalahMr. Zhou Cheng sendiri.
"RAIN!!!" "Aku di sini." Anya menoleh ke samping. Di sana, sosok Rain menatapnya dengan datar, sedang bersandar pada kusen pintu. Anya kemudian memijit kepalanya yang berdenyut pening, bukan karena keberadaan Rain melainkan karena ia tidak menyangka akan terbangun dari alam mimpi sembari berteriak memanggil nama pria itu. Lagipula, dia bangun dalam keadaan tidak pada posisi yang benar. Itu jelas membuatnya pusing. Lalu, mengapa dia memanggil nama Rain? Anya tidak tahu. Mungkin hanya refleks sebab Anya memimpikannya. "Kamu baik-baik saja?" Rain berjalan mendekat, lalu kemudian duduk di kursi yang entah ia ambil dari mana. Anya tidak peduli tentang hal kecil seperti itu. Yang lebih penting sekarang, dimana dia? Menatap sekeliling Anya menyadari ia berada di sebuah kamar bernuansa ma
Secepat Anya menyelesaikan perkataannya, secepat itu pulalah Rain terkejut bukan main. Pasalnya, nama Rahman Ady Adiptara adalah nama yang begitu tabu baginya. Nama itu, adalah malapetaka sesungguhnya untuknya. Pria itu adalah sosok paling mengerikan di balik senyum palsunya. "Rain?" Rain tertegun ketika sekali lagi suara Anya terdengar menginterupsinya, membawanya menuju kesadaran. Manik cokelat Anya berkilat, tertimpa sinar matahari yang terik menerpa balkon. Dan Rain menyadari, dia tidak bisa mengelak dari pertanyaan gadis itu. "Kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat aneh, apa kamu sakit?" Anya melepas pelukannya, lantas tangan kecilnya bergerak mencoba menyentuh kening Rain. Dia menggeleng, "kamu tidak demam." Gumamnya. Rain tersenyum. "Aku memang tidak sakit, Anya." Rain bergerak menuntun Anya memasuki apar
Seperti yang sudah-sudah, Anya kembali dibuat syok setelah melihat bagaimana miripnya orang yang dipanggil Rahman dengan wajah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara. Berbagai prasangka juga dugaan yang sama sekali tidak ada dalam bayangannya selama ini, kini mengelana dengan bebas di otak kecilnya. Apa hanya kebetulan? Mungkin saja. Anya tidak ingin mengambil kesimpulan secara serampangan. Itu jelas berbahaya. Tetapi kemungkinan-kemungkinan tidak masuk akal atau mustahil sekalipun, tidak berhenti menari di dalam pikirannya. Apakah mertuanya--Ramlan Ady Adiptara--adalah orang yang sama dengan Rahman Ady Adiptara? Atau yang paling masuk akal adalah, mertuanya memiliki seorang kembaran? Ataukah, Anya hanya sedang berhalusinasi?