Compartir

167 | Bidadari

Autor: Strawberry
last update Última actualización: 2025-12-01 22:54:12

Cahaya matahari pertama menyelinap masuk melalui celah tirai—tipis, hangat, dan cukup terang untuk membangunkan Liam dari tidur yang tidak benar-benar dalam.

Ia mengerjap pelan.

Selimut masih melingkari pinggangnya, tubuhnya masih hangat oleh sisa-sisa kedekatan semalam. Namun bukan itu yang membuatnya perlahan bangkit.

Ada gerakan lembut di depan sana.

Hanna.

Ia berdiri di depan jendela, membuka tirai kamar, membiarkan semburat keemasan jatuh tepat ke tubuhnya. Rambut coklat terang Hanna berubah menjadi emas saat disentuh matahari. Ia memakai kemeja putih kebesaran—yang entah milik siapa—menutupi pahanya hanya sampai sedikit di atas lutut.

Begitu cahaya itu menerpa wajahnya, bayangan tubuhnya tampak lembut, nyaris seperti lukisan pagi yang terlalu indah untuk dunia yang kacau.

Hanna menoleh. Senyumnya kecil tetapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Liam mengendur.

“Aku sudah minta sarapan ke pelayan,” ucap Hanna sambil berjalan mendekati tempat tidur. Suaranya cerah, seolah semalam
Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Capítulo bloqueado

Último capítulo

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   206 | Bukan Pernikahan Indah

    Udara di dapur seketika berubah. Kata "besok" yang diucapkan Liam bukan sebuah usulan, melainkan sebuah keputusan yang telah dipatri. Nada dingin yang menyelinap di balik suaranya yang biasanya hangat membuat Lily mengerutkan kening."Besok? Bukannya terlalu buru-buru, Liam?" tanya Lily, mencoba membaca ekspresi Liam yang tiba-tiba sulit ditembus.Hanna juga memalingkan seluruh tubuhnya dari jendela. Es krim yang baru saja dia rasakan pahit di mulutnya kini seolah jadi tanda tanya besar. "Kenapa mendadak?" tanyanya, suara datar namun mata tajam mengamati setiap perubahan di wajah Liam.Liam berdiri, mendekati meja dapur. Tangannya mengepal ringan di permukaan kayu. Dia tahu dia tidak bisa menyembunyikan semuanya, tapi dia juga tidak bisa menebarkan kepanikan. Bukan sekarang."Beberapa urusan di Valthera memerlukan kehadiranku lebih cepat dari perkiraan," jawabnya, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dan semakin lama kalian di sini, semakin besar risiko." Dia memandang Hanna, dan kali

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   205 | Pernikahan

    Liam keluar dari kamar Hanna dengan rambut yang berantakan sehabis mandi, pakaiannya lebih santai. Dia mendekati Lily yang ada di dapur dan menatapnya dengan tatapan heran.“Kamu datang lagi?” tanyanya.“Kapan siap ikut kembali ke Valthera?” jawab Liam dengan pertanyaan lain, tak lama menyusul Hanna keluar dari kamar juga. Lily memperhatikan putrinya dengan kening berkerut. Dia bisa melihat ada beberapa bekas merah kebiruan di leher, selangkan putrinya.“Cepat sekali baikannya” gumam Lily “Kalau aku yang bujuk memang tidak mempan, harus Liam sendiri yang melakukan” tambahnya.Hanna tak menyahut.Pandangan Lily kembali ke Liam.“Terserah Hanna. Aku tidak bisa ikut kembali jika dia tidak. Sebagai Ibu aku sudah melakukan banyak salah jadi aku harus menebusnya” jawabnya panjang“Hanna setuju ikut kembali, di Rensfold aku tidak bisa menjaga dia dan bayinya” Liam menjelaskan.“Kamu sudah tahu?” tanya LilyDan Hanna masih bergeming di tempatnya sambil memangku eskrim dan menyendoknya sedikit

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   204 | Kamu Milikku Selamanya

    Kata-katanya bukan perintah, melainkan janji. Janji yang disegel bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan bahasa tubuhnya yang sekarang sepenuhnya berfokus pada Hanna. Dia bergerak turun, meninggalkan jejak bibir yang hangat dan basah di sepanjang tulang dada Hanna, berhenti di ruang antara kelembutan dadanya. Di sana, dia menempelkan dahinya, sejenak hanya bernapas, menyerap kehangatan dan aroma khas Hanna yang selalu membuatnya tenang.Gerakan mereka selanjutnya lahir dari sinkronisasi yang sempurna. Pinggul Hanna sedikit melengkung, bertemu dengan lengkungan tubuh Liam di atasnya. Tidak ada gesekan yang kasar, hanya tekanan yang dalam dan penuh arti, sebuah pelukan yang mencapai tingkat paling intim. Sebuah erangan terlepas dari bibir Hanna, bukan karena sakit, tapi karena kepenuhan—perasaan diisi, dimengerti, dan ditahan dengan sangat berharga.Liam mengalihkan berat badannya, membiarkan satu tangan bebas meraba. Tangannya itu menyelinap di antara mereka, telapak tangannya ya

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   203 | Aku Mencintaimu

    Liam menggenggam tangan Hanna dengan lembut, menciumnya berulang kali. Tapi Hanna hanya diam.“Kamu tahu, setelah Mama, kamu satu-satunya yang aku cintai. Apa kamu tega membiarkanku sendirian di Valthera?” tanyanya, suara serak menahan haru.Hanna kemudian membelai wajah Liam, matanya berkaca-kaca. “Aku takut… takut gak bisa bikin kamu bahagia,” bisiknya pelan.“Siapa yang bilang? Kamu gak usah ngapa-ngapain. Hanya diam di sampingku sudah bikin aku bahagia, kok.”“Liam… kamu berlebihan.”“Hanna…” suara Liam mendalam, penuh pertanyaan. “Menurutmu, semua yang aku lakukan masih belum bikin kamu percaya kalau aku cinta sama kamu?”Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Hanna tak bisa menjawab. “Aku… aku percaya sama kamu, Liam. Aku hanya takut…”“Tolong, jangan bicara begitu lagi…” ucap Liam, mendekat.Tangannya merayap, satu tangan ke belakang kepala Hanna, yang satu lagi ke punggungnya, menekan lembut hingga jarak mereka tak tersisa. Kemudian, dia menyatukan bibirnya dengan bibir Hanna. Perla

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   202 | Kembali ke Valthera

    Kafe itu tetap tenang. Mesin kopi berdengung rendah. Beberapa peneliti lalu-lalang tanpa memperhatikan meja di sudut tempat Liam duduk diam terlalu lama.Raphael tidak menyela.Ia tahu, ada momen tertentu di mana Profesor Liam tidak membutuhkan jawaban—hanya ruang untuk menyusun ulang logika di kepalanya sendiri.“Kalau dia hamil,” ucap Liam akhirnya, datar, hampir seperti membaca laporan, “berarti sistem tidak gagal.”Raphael mengangguk pelan namun dia hampir menahan tawanya. Orang sekelas Profesor Liam bisa keluar kata-kata seperti itu, kepalanya sedang penuh dengan Hanna.“Berarti implan bekerja,” lanjut Liam. “Dan berarti… kehamilan itu tidak dipicu. Tidak dipaksakan. Tidak dimanipulasi.”“Profesor tentu saja implan bekerja karena Nona Hanna mengaktifkannya dan artinya milik Anda juga sehat. Pembuahan alami itu lebih hebat dan canggih dari sistem manapun” celetuknya. Liam menoleh dan Ia terdiam lagi.Semua parameter yang selama ini ia yakini sebagai variabel risiko, runtuh satu pe

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   201 | Tak DIucapkan

    Pintu depan tertutup pelan setelah Liam pergi.Tidak ada suara mesin menjauh, bahkan langkah kaki pun sudah menghilang jauh—hanya sunyi yang tertinggal terlalu lama di ruang tengah.Lily meletakkan piring terakhir ke wastafel. Tangannya berhenti di sana, punggungnya masih menghadap Hanna.“Kamu seharusnya bilang,” ucap Lily akhirnya. Suaranya rendah, tertahan. “Tentang kehamilanmu pada Liam.”Hanna berdiri di dekat jendela. Ia tidak langsung menoleh.“Tidak.”Lily berbalik. “Untuk apa disembunyikan seperti itu?”“Aku sudah memutuskan,” jawab Hanna. “Aku tidak akan memberi tahu Liam.”“Biar apa?” Lily mendekat setapak. “Biar anakmu nasibnya seperti kamu?”Hanna menoleh cepat. Matanya langsung memerah.“Kalau Mama tidak mau menemaniku di sini, ya sudah,” katanya, suaranya bergetar tapi tegas. “Mama bisa kembali ke Valthera. Aku tidak memaksa.”“Hanna,” Lily menggeleng. “Ini bukan soal aku.”“Ini selalu soal itu,” potong Hanna. “Semua orang selalu merasa paling tahu apa yang terbaik buat

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status