LOGINLiam tak langsung menjawab pertanyaan Hanna. Ia tampak berpikir serius, matanya seolah menimbang sesuatu yang berat di kepalanya.“Aku akan mencarinya untukmu,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan tapi mantap. “Dan aku akan kabari kalau sudah ketemu. Tapi…” nada bicaranya berubah menggoda, “…apa hadiah yang kamu kasih buatku?”“Perhitungan sekali!” dengus Hanna, meski sudut bibirnya nyaris tersenyum.“Aku harus perhitungan,” balas Liam ringan. “Secara kekayaan, aku gak bisa tandingi tunanganmu. Tapi soal cintamu, aku yakin aku bisa.”“Liam… kenapa kamu aneh sekali. Menggelikan,” sahut Hanna, mencoba menutupi getaran kecil di suaranya.Terdengar tawa lirih di seberang, suara khas Liam yang selalu membuatnya kehilangan fokus.Lalu suara itu kembali serius. “Kamu harus segera kembalikan komunikator itu pada temanmu. Aku akan menghubungimu lewat surel. Aku kirimkan link ke komunikatormu—itu bisa kamu akses tanpa terhubung ke jaringan rumah Ryan.”“Hm… terima kasih,” ucap Hanna, nadanya lembu
“Kok kamu gak bilang kalau Ryan Kelly tunanganmu? Kamu sangat hebat, Hanna. Aku yakin kamu bukan orang biasa,” puji Marry sambil tak berhenti berdecak kagum pada teman barunya.Hanna tersenyum tipis. “Kalau gak lihat sendiri, orang pasti pikir aku ini cuma membual, Marry.”Dan itu memang benar—orang seperti Ryan Kelly seharusnya hanya berpasangan dengan gadis dari keluarga konglomerat atau kalangan elit. Siapa yang akan menyangka kalau justru dia, Hanna, yang menjadi tunangannya.“Siapa bilang begitu? Aku percaya, kok. Karena kamu cantik dan…”“Mengajakmu makan di sini?” potong Hanna cepat.Marry tersenyum malu. Ya, kalau hanya karyawan magang biasa, mana mungkin bisa mentraktir di tempat semahal ini—tempat di mana satu menu saja setara dengan satu bulan gaji mereka.Melihat wajah Marry yang memerah, Hanna malah tersenyum lembut. Ia tak marah. Orang menilai dari materi, itu hal yang manusiawi. Selama tidak memanfaatkan atau merugikannya, Hanna bisa memaklumi.“Oh ya, Hanna, kamu tadi
Semua kepala di restoran itu serentak menoleh ke arah pintu saat bunyi sensor pintu otomatis berdenting pelan.Cahaya dari luar jatuh ke sosok tinggi berjas hitam yang baru saja masuk — langkahnya tenang, matanya tajam, dan seluruh auranya memancarkan satu hal: kuasa.Ryan.Hanna menegang di kursinya.Sementara Marry, yang duduk di hadapannya, langsung terdiam dengan mata melebar. Tangannya berhenti memegang sendok, mulutnya sedikit terbuka.“Lord… itu… itu Ryan Kelly?” bisiknya nyaris tak terdengar, seolah takut suaranya bisa membuat sosok itu menoleh.Hanna tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan rasa kesal yang mulai naik lagi ke dadanya.Ryan menelusuri ruangan dengan tatapan yang cepat, lalu matanya langsung berhenti di meja Hanna. Tanpa senyum, tanpa ragu, ia berjalan mendekat.Langkahnya menarik perhatian semua orang.Beberapa pelanggan menunduk sopan, beberapa lagi diam-diam merekam. Sosok Ryan bukan orang biasa — dia adalah wajah pengaruh dan uang
Hanna masih terngiang-ngiang dengan pembicaraan para customer di Noodle House tentang pemilik teknologi pangan—atau lebih tepatnya, teknologi agraris—di Elystra.Melihat bagaimana raut wajah Ryan saat mendengarkan percakapan itu, ia tampak sangat tertarik pada sosok misterius yang disebut-sebut tadi.Melihat karakter Ryan yang ambisius terhadap uang dan kekuasaan, Hanna mencium aroma bahaya. Sosok yang disebut-sebut itu, katanya, dulu adalah rekan kerja Prof. Julian. Dan jika benar begitu, Hanna yakin Liam tahu sesuatu.Ia sudah tidak sabar untuk menanyakannya pada Liam. Rencananya, ia akan menghubungi Liam lewat email kantor biro pendataan—karena Ryan tidak mungkin berani meretas instansi pemerintah sembarangan.“Aku antar kamu ke kantor!” ucap Ryan tiba-tiba.Hanna hanya menoleh sebentar. “Bukannya kamu sibuk, ya?”“Bisa kalau cuma antar kamu. Kita satu jalan,” jawabnya datar.Hanna tak menyahut, tapi pagi ini Ryan tampak tidak sabar. Ia mencengkeram bahu Hanna, lalu bibirnya langsu
Elystra.Ryan menajamkan pendengarannya. Nama “Elystra” memicu sesuatu dalam benaknya — sebuah wilayah yang bahkan sudah dihapus dari peta resmi Valthera karena dianggap tercemar dan tidak layak huni.Ia menunduk sedikit, pura-pura memainkan botol airnya sambil memperhatikan mereka dari ekor mata.Dan kalau ia bisa menemukan siapa yang berada di balik perubahan itu, ia tahu betul: kekuatan seperti itu bisa mengguncang dunia.“Aku dengar mereka pakai sistem bio-katalis buatan, bikin tanah gersang bisa nyerap nutrisi dari udara.”“Kata temenku yang kerja di sana, semua proyeknya dirahasiakan. Gak ada logo pemerintah. Cuma simbol aneh di setiap fasilitasnya.”Ryan menelan ludah pelan. Matanya berkilat tajam, tapi ia menyembunyikannya di balik ekspresi datarnya.Kalau rumor itu benar, Elystra bisa menjadi sumber kekuatan besar. Teknologi seperti itu bisa mengubah dunia — dan siapa pun yang menguasainya akan mengendalikan seluruh sistem pangan global.Ia melirik Hanna yang sedang menunduk,
Udara di distrik bawah terasa berbeda, hangat, lembap, dan penuh aroma kehidupan yang tak pernah singgah di kawasan atas Valthera. Mobil hitam Ryan tampak mencolok di antara kios-kios tua dan papan nama yang berkelap-kelip setengah padam.Di sini menjadi gambaran mayoritas masyarakat yang tak tersentuh kemakmuran dan bantuan apapun namun mereka tetap hidup dan menjadi penyeimbang Valthera yang kaya di mata dunia.Begitu mereka berhenti di depan Noodles House, Hanna melangkah lebih dulu, tanpa menoleh. Ryan sempat ragu, tapi akhirnya mengikuti, menundukkan kepala agar tidak menarik perhatian. Dengan pakaian yang mereka kenakan, tetap saja mereka mencolok, banyak mata menatap mereka dengan tatapan menilai dan menebak-nebak. Beberapa dari mereka berpikir, kalau orang-orang ini pasti datang untuk melihat tempat dan mungkin nanti menggusur wilayah mereka, seperti yang terjadi sebelumnya. Mengganti kedai-kedai kecil yang hangat dan berisi tawa dengan rumah-rumah produksi yang bising.Tempa







