로그인Tangan Ryan sempat terangkat tinggi—dan untuk sesaat, Hanna benar-benar yakin tangan itu akan mendarat di pipinya. Tapi pukulan itu tidak pernah datang.Gerakannya berubah di tengah udara, perlahan turun, dan justru jatuh ke atas kepala Hanna. Sentuhannya ringan, nyaris hati-hati, jari-jarinya kemudian bergeser ke sisi wajah Hanna, membingkai dengan lembut seolah ingin menenangkan badai yang sudah terlanjur dia ciptakan sendiri.“Hanna…” suaranya serak, nyaris berbisik. Tatapan matanya melembut, ada sisa sedih di sana yang sulit dijelaskan. “Aku cuma… nggak mau kehilangan kamu, jujur aku cemburu karena kamu lebih peduli dengan Liam daripada aku.”Sentuhan itu hangat—terlalu hangat untuk pria yang baru saja hampir meledak. Tapi bagi Hanna, semua kelembutan itu terasa salah. Apalagi pengakuannya, bukannya membuat Hanna bersimpati tapi membuat Hanna muak.Ia menatap Ryan, matanya dingin dan lelah.“Kalau caramu mencintai adalah dengan mengurung dan mengendalikan,” bisiknya pelan, “maka i
Hanna hanya menatap tablet kecil di atas nampan dengan pandangan lelah dan muak. Ia tak menyentuh makanan sedikit pun.Ketika Ryan kembali, ia berhenti di ambang pintu, menatap meja dengan dahi berkerut.“Kenapa kamu gak makan?” tanyanya rendah, menahan nada kesal.Hanna mendongak pelan. “Siapa yang tahu makanan ini aman?” ujarnya sarkastik. “Bagaimana kalau aku diracuni?”Rahangan Ryan langsung mengeras. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.“Hanna, ini keterlaluan!” suaranya meninggi. “Kamu menuduhku tanpa bukti! Aku calon suami kamu—orang yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu!”“Memiliki tanggung jawab atas keselamatanku,” balas Hanna datar, “belum tentu berarti kamu benar-benar bertanggung jawab.”Nada suaranya tenang, tapi tajam. “Aku gak bisa makan ini.”“Hanna…” desis Ryan pelan, geram menahan emosi.Hanna menyilangkan tangan di depan dada, matanya menusuk balik ke arah Ryan.“Kalau begitu,” ujarnya tenang tapi menantang, “coba kamu jelaskan… itu apa?”Ia menunjuk ke arah
Hanna menatap Ryan dengan sinis. Lelaki itu memang menakutkan saat marah. Wajahnya keras, rahangnya tegang, sorot matanya menusuk—membuat siapa pun pasti ciut. Tapi bukan Hanna. Walau hatinya berdebar, ia menolak menunduk.Ryan berdiri di depannya, kedua tangan di pinggang, berjalan mondar-mandir seperti sedang menahan diri. Amarahnya jelas terlihat, meski tak satu pun kata kasar keluar dari mulutnya.Hanna menghela napas berat, lalu berdiri. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, membuat Ryan langsung menoleh tajam.“Sekarang aku gak peduli, meski kamu marah,” ucap Hanna tegas.Ryan terdiam sesaat. Pandangannya tak percaya—baru kali ini ada yang berani menentangnya seperti itu. Tapi entah kenapa, untuk Hanna, ia tak bisa benar-benar marah. Ia tak ingin melihat Hanna membencinya, meski di dalam dada, kesalnya sudah menumpuk.Kenapa harus Liam? pikirnya. Seorang profesor biasa, kepala biro tanpa nama besar keluarga kecuali kehormatan karena jasanya terhadap negara—apa hebatnya dibanding d
Ketika kereta mulai bergerak, Hanna menyandarkan kepala di jendela. Getaran halus dari rel membuat matanya hampir terpejam. Ia hanya ingin tenang, untuk sekali ini saja.Namun dari dalam tasnya, seberkas cahaya biru memantul di sisi logam. Kilatan itu samar, tapi cukup untuk membuatnya menoleh.Perlahan, Hanna membuka resleting tas. Smartwatch-nya—yang tadi sudah ia matikan sendiri, tiba-tiba menyala kembali. Layar kecil itu memancarkan cahaya dingin, berkedip cepat seperti sedang memproses sesuatu.Hanna menatapnya lama, perasaan miris menelusup tanpa bisa ditahan. Ryan selalu bicara soal keamanan, soal melindungi dirinya. Tapi justru di bawah kendali pria itulah, Hanna tak pernah benar-benar merasa aman.Ia mengangkat jam itu hati-hati. Di layar, muncul pola aneh: barisan simbol dan angka berderet cepat, seperti kode yang menyalin dirinya sendiri.“Tidak mungkin...” bisiknya pelan. Ia menekan tombol samping berulang kali, tapi tak ada respons.Cahaya di layar semakin kuat, lalu beru
Hanna menatap layar jam sekali lagi, napasnya masih bergetar.Tanpa banyak berpikir, ia melepaskan Smartwatch itu dari pergelangan. Di dalam gerbong yang remang, ia membuka penutup casing dengan gerakan terburu-buru namun rapi — sama sekali bukan orang yang ceroboh soal perangkat. Ia memberikan smart watch-nya ke Liam dan professor itu menyingkap komponen satu per satu, menelusuri papan sirkuit, antena, modul GPS, dan chip komunikasi.“Tidak ada,” gumamnya, suaranya tipis namun tegas. “Tidak ada pelacak fisik di sini.”Liam mencondong, matanya menyapu bagian-bagian yang terbuka. Ia mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Dia menipumu,” katanya keras. “Tidak ada pelacak. Dia tidak tahu kamu di sini.”Hanna menatap Liam panjang, masih menahan panik di dalamnya. “Tapi dia tahu aku tidak di kampus,” katanya, dan suaranya menahan nada heran sekaligus khawatir saat mengambil kembali sepatu boot yang tadi tercecer.Liam menatapnya, lalu menanyakan dengan tenang, “Agendamu hari ini ke man
Lampu senter itu diam memancar, menyoroti sepatu boot kulit hitam Hanna yang tergeletak miring di lantai. Jantung Hanna berhenti berdetak. Nafasnya tertahan di tenggorokan, tubuhnya kaku dalam pelukan Liam.Liam bereaksi dengan cepat. Dengan gerakan halus namun pasti, dia menarik Hanna lebih dalam ke sudut gelap di balik tumpukan koper tua, menjauh dari garis pandang langsung di bawah pintu. Tubuh mereka masih menyatu, dan gerakan ini membuat Hanna mendesah pelan, yang langsung ditutup Liam dengan telapak tangannya yang hangat."Tolong jangan ada yang masuk," bisik Hanna dalam hati, matanya membelalak dalam kegelapan, menatap bayangan mereka yang samar di dinding gerbong.Dari balik pintu, suara siulan petugas itu terdengar. "Kosong," teriaknya kepada rekannya yang tidak terlihat. "Mungkin cuma sepatu penumpang yang ketinggalan."Langkah kaki itu bergeming untuk sesaat. Sorot senter masih bermain-main di sepatu Hanna, seolah-olah si petugas ragu-ragu.Liam menunduk, bibirnya melekat d







