RISA ingin pulang setelah dia selesai menyantap makan malam. Dia pun kembali ke kamar untuk mencari-cari pakaian yang ia kenakan saat datang ke sana. Begitu dia menemukan apa yang sedang ia cari, Risa langsung memunguti pakaiannya satu per satu dan membawa pakaiannya ke kamar mandi.
Namun, sebelum kakinya sempat masuk ke dalam kamar mandi. Risa merasakan sebuah cengkeraman kuat di lengan atasnya yang memaksanya untuk berhenti dan berbalik.
Dahinya mengernyit. "Ada apa lagi, Va?" tanyanya saat menatap Alva yang kini tersenyum miring padanya.
"Gue udah bilang sebelumnya, kalau lo masih punya hutang penjelasan sama gue, kan?" kata Alva ringan.
Mata perempuan itu langsung melotot tajam. Dia mencoba melepaskan pegangan tangan Alva di lengan atasnya, tapi semuanya percuma.
Alva mengambil pakaian Risa, lalu membuang semuanya ke lantai dengan asal. Ditariknya perempuan itu dengan kuat sampai dia jatuh di atas ranjang dan dia mulai menindih perempuan itu dengan seringai mengerikan terpatri di bibirnya.
"Lepasin gue, Va! Bukannya lo udah dapat semua yang lo mau dari gue? Kenapa lo masih mau nahan gue di sini segala?" Risa mencoba mendorong Alva, tapi pria itu tak bergeming dari posisinya.
Ditatapnya Risa yang berada di bawah kungkungan tubuhnya dengan senyuman meremehkan. "Kita belum selesai bicara. Lo harusnya udah tahu itu, kan? Gue belum puas, sama sekali, Risa!" geramnya.
Risa menelan ludahnya susah payah. Dia kembali memberontak, mencoba melepaskan dirinya, tapi sia-sia saja. Harusnya dia tahu, sekali saja dia masuk ke dalam kandang buaya, maka dia tidak akan diizinkan keluar sebelum meregangkan nyawa.
"Apa yang mau lo bicarain sama gue?" tanya Risa yang kini pasrah di bawah kuasa tubuh Alva. Dia bahkan pasrah, seandainya Alva mau memilikinya lagi setelah ini.
Alva tidak langsung bertanya. Jemari tangannya menari pelan di atas kulit paha Risa yang kini langsung menahan napas dengan mata terpejam rapat. Tangan kanan Risa langsung bergerak cepat untuk memegangi tangan Alva yang perlahan-lahan hendak naik menyentuh miliknya yang tak tertutupi apa pun di balik kemeja yang dikenakannya.
"No!"
Alva hanya tersenyum miring. Dia menghentikan tangannya masih dengan posisi seperti itu, sedang kepalanya merendah, mendekati telinga Risa, lalu berbisik di sana.
"Lo punya masalah apa sama Alan, heh?" tanyanya pelan, tapi nadanya benar-benar terdengar sangat meremehkan. "Kenapa lo malah datang ke gue buat lepas perawan, kalau lo bisa minta pacar berengsek lo itu buat ngambil mahkota lo dengan senang hati?"
Risa hanya bisa diam. Kepalanya langsung berpaling ke samping, menghindari tatapan mata Alva yang kini berusaha menelanjangi isi hatinya dengan perlahan dan hati-hati.
Bahkan Alva juga tahu, kalau Alan, kekasih yang sudah melamarnya itu adalah pria berengsek di luaran sana.
Mata Risa memejam erat. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Nggak ada masalah apa-apa, gue cuma—"
"Nggak usah ngelak lagi. Gue nggak akan percaya, kecuali lo ngomong yang sebenarnya. Ada apa di antara kalian berdua? Apa yang terjadi, Risa?" Alva menarik tubuhnya untuk bisa duduk di atas ranjang, tepat di sebelah Risa yang masih berpaling ke arah lainnya.
Risa menghela napas panjang. Bayangan saat Alan menusukkan miliknya ke bagian belakang sekretarisnya membuat Risa meradang. Amarahnya berkobar, semakin kuat dan semakin mengerikan.
Tangannya terkepal kuat saat mengatakan, "Dia selingkuh dari gue."
"Hm?" Alva masih menatap Risa yang tak kunjung membalas tatapannya. "Terus?"
"Iya nggak ada lanjutannya. Gue emosi, terus gue ...."
Risa menelan ludahnya susah payah, dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia yang emosi, termakan rayuan setan, lalu mengiyakan tawaran gila yang tak sengaja diucapkan Alva, sebelum pria itu tahu kalau Risa adalah kekasih Alan.
"Lo sengaja nyari gue dan manfaatin tawaran gue beberapa bulan yang lalu, kan?" Alva mendesah panjang. "Asal lo tahu, Risa, gue paling nggak suka dimanfaatin kayak gitu."
"Maaf! Lo bisa lupain semuanya. Anggap aja gue cuma orang asing yang minta bantuan lo buat lepas status sialan ini. Gue cuma nggak mau dia dapatin apa yang paling dia mau. Gue juga penasaran ...," Risa menggigit bibir bawahnya, "apa dia masih mau nerima gue, setelah dia tahu kalau gue udah nggak perawan?"
Alva mendengkus dengan suara keras. Risa tanpa sadar menoleh dan memperhatikan Alva yang tak kunjung melepaskan pandangannya dari Risa.
"Lo nyuruh gue lupain semuanya? Sesuatu yang menurut lo akan menjadi pengalaman terindah seumur hidup gue, terus lo suruh lupain buat gitu aja?" Alva tertawa keras. "Jangan bercanda, Risa!"
"Terus, lo maunya kayak gimana? Gue harus bilang ke Alan, kalau lo yang udah ngambil keperawanan gue atau apa? Lo mau hubungan lo sama Alan hancur gara-gara gue? Apa sih yang lo mau sebenarnya dari gue, Alva?!" tanya Risa setengah kesal dan dipenuhi emosi bukan main saat mengingat kekasihnya.
"Mau gue sederhana."
Risa menatap Alva dengan tatapan tak percaya. Sederhana, tapi apa?
"Gue mau lo," balasnya singkat, padat, dan jelas.
Risa syok. "Lo udah gila?"
Alva menggeleng pelan. "Lo sendiri yang bilang, kalau ini akan jadi pengalaman yang tak terlupakan. Tapi gue maunya, ini akan jadi sesuatu yang tidak ada habisnya. Jadilah partner seks gue, Risa!"
Risa menggeleng tegas. Alva benar-benar sudah gila! Risa bukan penganut seks bebas di luar nikah, apa yang ia lakukan sore tadi, semuanya murni karena khilaf dan dipenuhi amarah. Apa pria itu bercanda menawarkan sesuatu yang bahkan tidak dia sukai sama sekali itu?
"Apa lo kira, gue mau-mau aja jadi budak nafsu lo kayak gitu? Lo tahu gue bukan tipe cewek kayak gitu, gue—"
"Kalau lo nggak mau, gue cukup maksa lo buat mau." Alva tak membiarkan Risa mengatakan semua pendapatnya.
Tidak semudah itu bermain-main dengannya. Ada harga mahal yang harus dibayar karena telah memanfaatkannya. Menyerahkan mahkotanya saja belum cukup. Alva mau lebih ... tubuhnya, jiwa, dan raganya. Alva menginginkan Risa menjadi miliknya, bukan melihat perempuan itu bahagia dengan pria lain di luaran sana.
Alva menunjuk sudut ruang kamarnya. "Lo lihat di sana!" tunjuknya yang sukses membuat Risa menelan ludah susah payah. "Apa yang udah kita lakuin sebelumnya, semuanya terekam jelas dengan baik. Kalau gue mau, gue bisa nyebarin video itu dengan mudah. Lo bisa langsung putus dari Alan, bahkan yang lebih buruk lagi, lo bakal kehilangan nama baik lo di mana-mana."
Alva hanya menyeringai saat Risa menatapnya dengan wajah tidak percaya. "Lo beneran udah gila, Va." Dia sampai menggelengkan kepalanya perlahan.
"Iya, gue udah gila, karena tubuh lo begitu menggoda dan menggairahkan," erangnya, kemudian mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Risa.
Risa menggeleng pelan, wajahnya masih syok saat Alva terus saja menciumi wajahnya dengan perlahan.
"Gue janji, gue nggak akan nyebarin video itu ke mana pun, tapi sebagai gantinya, lo harus melayani nafsu gue setiap kali gue minta," katanya final.
Dia tidak bisa langsung meminta Risa mengakhiri hubungannya dengan Alan. Walaupun Risa punya kesempatan juga alasan untuk melakukannya, tapi Alan tidak akan menyerah mendapatkan Risa.
Satu-satunya cara adalah melihat langsung keputusan sepupunya saat mengetahui semua ini. Dengan begitu ... Risa pun tahu apa yang sebenarnya Alan incar darinya.
Namun, sebelum semuanya benar-benar berakhir. Alva telah menanamkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa membuat Risa lepas darinya.
Dia memang gila. Benar, dia sudah gila sejak pertama kali mengenal Risa. Dia menginginkannya, dia menyukainya. Sifat-sifat keras dan tegasnya pada diri sendiri dan bagaimana dia membawa diri saat berada di dekatnya.
Alva menyukai semua itu dan dia ingin mendapatkannya. Menurutnya, cinta tak harus memiliki itu bullshit, karena kalau tidak memiliki, maka tidak akan ada kata bahagia itu dalam hidup kita masing-masing.
"T-tapi gue ...." Risa menelan ludahnya susah payah. Dia tidak bisa menolak lagi. Kalau dia mundur, maka semua yang telah ia bangun susah payah akan hancur. Namun, kalau ia bertahan, maka dia akan menjadi mainan seorang bajingan.
"Gue nggak keberatan soal hubungan lo sama Alan. Gue bisa jadi orang ketiga, kalau itu memang diperlukan."
Risa menelan ludahnya susah payah. "Apa nggak ada cara lain, Va? Gue ...."
"Nggak ada lagi, sayang. Itu yang sebenarnya gue mau dari lo. Dan lo udah salah main-main sama orang, karena orang yang lo mainin, nggak akan mau kenikmatan itu berakhir di tengah jalan."
Risa menelan ludahnya sekali lagi. Dia hanya bisa menganggukkan kepala dan menyetujui semuanya. Alva melepas pakaiannya sendiri, lalu dia membuka kancing-kancing kemeja yang Risa gunakan.
Lalu keduanya ... kembali melebur menjadi satu kesatuan yang tak mau dilepaskan.
BUNYI ponsel yang memekakkan telinga tak sanggup membuat Risa berniat mengangkatnya. Dia hanya menatap ponsel itu dengan wajah datar, tatapan matanya dipenuhi luka dan juga amarah. Dia hanya mendiamkan panggilan itu sampai sosok di seberang sana berhenti melakukannya, karena dia merasa lelah.Risa menatap pemandangan tubuhnya di depan wastafel kamar mandi. Jejak-jejak yang ditinggalkan Alva di sana terlalu banyak dan membuat kulitnya tampak mengerikan. Dia menyentuh satu per satu jejak itu, lalu menghela napasnya kasar.Untungnya ibu kosnya sedang tidak ada di tempat. Teman-teman se-kosan-nya yang tinggal di sana pun berkata akan bermalam di rumah kekasih masing-masing, karena mumpung ada kesempatan.Risa sebenarnya juga ingin melakukan hal serupa. Setelah pulang bekerja kemarin, dia langsung sedikit berkemas,
RISA hanya bisa diam dan melihat, sejak Alva masuk ke kamar kos-kosannya dan mulai berlaku seenak jidatnya. Mulai dari membuka kulkas dan memasukkan semua buah yang Alva bawa saat datang ke sana. Lalu, membuka lemari pakaian yang berisi pakaian dan beberapa alat masak yang Risa sembunyikan untuk mengecek apa saja yang ada di dalam. Dan yang terakhir, pria itu dengan santainya merebahkan tubuhnya tanpa beban di ranjang single milik Risa.Risa sempat takut saat mengetahui Alva-lah yang mengetuk pintu kamarnya beberapa saat lalu. Terlebih saat pria itu memaksa untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia sempat berpikir, Alva ingin mereka melakukannya lagi di sini. Namun, dugaannya sirna begitu Alva hanya melihat-lihat saja lalu rebahan di ranjang singlenya sambil tertawa pelan."Tempat lo kecil, tapi nyaman. Gue boleh nggak ikutan tinggal di sini sama lo?" tanya Alva sambil melirik Risa yang masih mematung di tempat semula.Risa menarik napas panjang, kemudian menjelaskan,
RISA mulai tidak tahan melihat Alva berada di kamar kos-kosannya. Dia yang semula duduk di atas karpet kini menoleh ke arah Alva yang sedang rebahan di atas ranjang singlenya tanpa beban."Jadi, kapan lo mau pulang dari sini? Gue nggak apa-apa, tugas lo di sini udah selesai juga. Lo tinggal lapor sama sepupu lo, kalau gue baik-baik aja. Gue juga udah balas pesan dia, jadi dia nggak perlu terlalu khawatir lagi soal gue, kan?"Risa memulai pembicaraan setelah mereka terdiam sangat lama. Risa sejak tadi memilih membaca novel yang dibelinya minggu lalu daripada bicara dengan Alva. Sedangkan Alva lebih memilih tiduran dengan mata terpejam, walaupun begitu, Risa tahu Alva tidak sedang tidur sekarang."Kenapa? Lo nggak suka gue ada di sini?" Alva membuka mata dan mengerling ke arah perempuan yang tak memalingkan tatapan dari novel di tangannya."Nggak," jawab Risa pendek."Wh
ALVA merasa sedikit terkejut saat melihat Ralf tiba-tiba saja datang menghampirinya. Mereka memang cukup berteman baik selama ini. Alva, Alan, dan Ralf. Mereka bertiga bisa dibilang sebagai teman sejati.Alan dan Alva yang masih bersaudara, tapi sering bertengkar karena masalah sepele dan Ralf yang akan berada di tengah-tengah untuk melerai pertengkaran di antara mereka. Sosok Ralf cukup berjasa, karena hadirnya pria itu juga membuat tali erat hubungannya dengan Alan tidak putus di tengah jalan."Risa gimana keadaannya?" tanya Ralf begitu Alva keluar dari mobil dan berdiri di hadapannya.Alva berdecak. "Begini sambutan lo pagi-pagi waktu ngelihat sahabat lo sendiri?"Ralf mendengkus. "Nggak usah lebay. Lo sehat wal afiat gini, apa masih perlu gue tanyain soal gimana kesehatan lo, ha?"Alva mengembuskan napasnya panjang. "Risa baik-baik aja, harusnya dia bisa masuk sekarang
LANGIT di luar sana mulai menggelap. Beberapa orang telah memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Bahkan Ralf tadi sudah menawarinya sebuah tumpangan untuk pulang. Namun, Risa tidak berniat untuk kembali sebelum pekerjaannya selesai.Alva masih menunggu perempuan itu bergerak dari posisinya. Namun, Risa masih terus melanjutkan pekerjaannya, walaupun dia sadar dirinya sedang diperhatikan dan hari sudah tak lagi terang.Alva mendesah kasar. Dia bangkit dari kursinya setelah menenteng tas kerja, dan mendekati Risa. "Belum mau pulang juga?" tanyanya sembari menarik kursi lain dan duduk di atasnya.Ditatapnya Risa yang kini berhenti sejenak untuk menatap matanya. "Kenapa? Lo mau nganterin gue pulang?"Alva mendekatkan wajahnya. "Tentu. Dari tadi juga gue emang sengaja nungguin lo selesai sama kerjaan lo itu."Risa membuang muka dan kembali menekuri pekerjaannya. "Pulang aja dulu kalau gitu, gue masih lama.""Mau sampai jam berapa lo di s
"LO mau makan apa?"Pertanyaan itu tak ia tanggapi. Risa lebih memilih diam dan memandangi langit malam yang begitu gelap. Perutnya terasa mual setiap kali mengingat apa yang telah ia lakukan beberapa saat lalu.Walaupun Alva mengajaknya bicara dan sempat mengalihkan perhatiannya untuk sejenak, tapi bayang-bayang kala ia mengulum milik pria itu dan menelan cairannya membuat Risa tak kuasa menahan gejolak yang berasal dari dalam perutnya.Risa memegangi mulut dengan siku bertumpu pada kaca mobil yang terbuka. Tubuhnya bersender ke pintu, siap membuka paksa pintu itu seumpama dia ingin mengeluarkan semua cairan asam itu dari perutnya.Alva terdiam di sampingnya. Matanya sesekali melirik, mencoba menerka apa yang dialami Risa karena tak kunjung menjawab pertanyaannya. Namun, pada akhirnya dia tak mendapatkan jawaban apa pun.Alva mendesah panjang. Tangannya terulur, menyentuh
HAL pertama yang Risa lakukan adalah mengecek kamar mandi dan memastikan kalau di dalamnya benar-benar ada mesin cuci yang bisa dipakai. Setelahnya, dia pergi mengecek lemari untuk mencari pakaian yang bisa dia pakai malam ini.Namun, tiba-tiba saja ia berhenti. Tubuhnya membatu, tatapannya terpaku pada dua pasang lingerie yang digantung di dalam lemari berjejer rapi dengan jas dan beberapa kemeja yang telah disetrika rapi."Playboy itu pasti udah gila!" geramnya dan langsung membanting pintu lemari dengan kuat, tapi tak lama, karena kemudian dia kembali membuka lemari dua pintu di depannya.Dua pasang lingerie berbahan satin yang begitu halus begitu menyentuh tangannya. Dalaman yang akan sangat nyaman digunakan. Apakah lingerie itu memang sengaja dibeli untuknya? Ataukan teman kencan Alva yang sengaja meninggalkan pakaian dalamnya untuk bisa dia gunakan keesokan harinya?Risa menggeleng p
RISA menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan saat melihat apa yang Alva buat untuknya sejak tadi. Pria itu memang salah, karena tak mengatakan apa pun dan bertanya sesuatu padanya tentang apa yang mau ia makan. Namun, dirinya juga salah, karena diam saja dan tak berkata apa-apa tentang apa yang ingin dia makan malam ini.Risa mematikan kompor, menghidangkan masakan Alva yang aromanya begitu menggugah selera, kemudian dia duduk di atas pantri. Hanya ada nasi putih, tanpa lauk, memang bukan sesuatu yang buruk. Namun, setidaknya jika ada mie instan dia tidak akan merasakan rasa hambar dari nasi ketika berada di dalam mulut.Ria menunduk, mengembuskan napasnya sekali, lalu makan dalam diam. Hanya nasi putih yang akan menemaninya malam ini. Tidak buruk, karena ini bukan kali pertama Risa makan tanpa lauk.Hidup miskin bertahun-tahun tanpa bantuan siapa pun. Tentu saja, siapa yang mau membantunya? B