RISA tidak bisa menyembunyikan rona merah yang menghiasi wajah kala melihat Alva dengan telaten mengurusnya. Alva memandikan dan memakaikan baju ke tubuhnya. Pria itu tak bersuara, diam saja layaknya robot yang tak berhenti bekerja.
Setelah Risa memakai kemeja merah maroon milik Alva yang panjangnya sampai paha. Pria itu bersiap kembali untuk menggendong tubuhnya, tapi Risa langsung beringsut menjauh.
Alva menghela napas panjang. "Gue mau bawa lo ke dapur. Beneran, gue nggak ada niat buat macam-macam," katanya pasrah, nadanya sedikit putus asa saat melihat Risa menjauhinya setelah tadi memeluk-meluk tubuhnya mesra.
"Em ... g-gue bisa jalan sendiri," jawab Risa yang kini bergerak turun dari ranjang di sisi lainnya dengan hati-hati.
Tadi dia tidak merasa malu saat Alva menggendong tubuhnya yang kotor dan tak tertutupi sehelai benang pun, karena rasa sakit di antara kakinya yang begitu menyiksa. Namun, sekarang, rasa sakit itu sudah hilang dan dia merasa sangat malu sekali, lantaran Alva ingin menggendongnya lagi.
Walaupun mengenakan kemeja yang cukup tebal dan sampai menutupi paha, tapi dia tak mengenakan apa pun di balik kain yang dikenakannya. Risa hanya takut ... Alva kembali memilikinya, padahal mereka belum sempat makan sesuatu sejak siang.
Alva menyipitkan mata dan menatap wajah memerah Risa dengan tatapan curiga. "Yakin bisa jalan sendiri?"
Risa mengangguk pelan. "Iya."
"Kalau gitu, coba lo jalan ke luar dulu, gue mau lihat dari belakang!" perintahnya sambil menunjuk pintu dengan jari telunjuknya.
Risa menghela napas panjang. Dia pun mulai berjalan keluar dari kamar itu dengan langkah yang sangat pelan dan hati-hati. Beberapa kali Alva berdecak kesal, karena dia begitu tidak sabar melihat Risa meninggalkan kamarnya, tapi pria itu hanya diam dan tidak melakukan apa-apa.
Dengan penampilan Risa menggoda iman seperti itu, hanya butuh satu tarikan cepat dan mereka akan kembali bergumul di atas ranjang untuk menghabiskan malam yang panjang ini dengan sebuah kehangatan. Andaikan Alva tidak lupa, kalau mereka belum makan sejak siang, pasti dia sudah melakukan rencana terliar yang melintas di otaknya itu saat ini.
"Lo udah pesen makanan buat makan malam kita, Va?" tanya Risa yang kini berhenti melangkah dan menoleh ke arah Alva yang masih berjalan teramat pelan di belakangnya.
Risa tidak nyaman ketika dia sadar Alva sedang berjalan di belakangnya. Layaknya sedang diawasi dengan intens dan teramat detail, dia merasa risi luar biasa. Risa ingin pria itu berjalan di sisinya atau di depannya saja daripada berjalan di belakangnya seperti ini, karena Risa tidak selemah itu untuk terus diperhatikan dan dijaga dengan hati-hati.
"Enggak," balas Alva santai. Dia melangkah mendahului Risa, karena dia rasa perempuan itu sudah cukup baik-baik saja walau cara berjalannya masih terlihat aneh. Dia juga sadar, kalau Risa tidak begitu nyaman diperhatikan olehnya. "Gue nggak biasa pesan makanan. Lo duduk aja dengan nyaman, gue bakal masak sesuatu buat makan malam kita."
Risa menghentikan langkah dan menatap Alva yang kini menarik celemek dari atas lemari penyimpanan dan mengenakannya dengan santai.
Pria tampan, mempesona, gagah, dan luar biasa seperti Alva tiba-tiba saja berkutat di dapur dengan santainya. Dia bahkan terlihat biasa saja, walaupun sejak tadi Risa terus memperhatikannya tanpa berkedip sama sekali.
Pria itu sedang menggoreng sesuatu saat kepalanya menoleh ke arah Risa. "Terpesona karena ngelihat gue kayak gini, hm? Ke mana aja lo selama ini, sampai lo baru sadar kalau gue emang ganteng luar biasa?"
Risa mendengkus keras. "Dari mana lo dapat rasa percaya diri sebesar itu, hm?"
"Kenapa gue nggak bisa percaya diri, kalau semua orang mikir hal yang sama seperti apa yang barusan gue bilang soal gue?" Alva tidak menatap Risa, dia kembali fokus menatap masakannya.
Risa menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangan. Dia berjalan menuju kursi yang ada di depan meja bar dan duduk di sana. "Gue nggak terpesona, naksir, atau apa pun itu. Gue cuma heran, cowok kayak lo ternyata bisa masak juga."
"Kayak gue gimana maksudnya?" Alva mendengkus sebal sambil melirik Risa yang lebih memilih memandangi tembok daripada melihat ke arahnya.
"Iya ... kayak lo gitu."
Risa berdeham keras, tampak tidak nyaman saat ingin mengatakan bahwa Alva itu playboy, bajingan, yang sangat suka mempermainkan perasaan perempuan. Tentu saja dia tidak nyaman mengatakan hal itu, ketika beberapa saat lalu dia juga baru saja mempermainkan Alva dengan cara memaksa pria itu untuk mengambil mahkota miliknya.
"Kayak gimana maksudnya?" Alva menyajikan masakannya ke atas piring, lalu dia mendekati Risa. Dia meletakkan dua piring nasi goreng itu di atas meja, lalu dia duduk di samping perempuan yang beberapa saat lalu bercinta dengannya. "Jujur aja, deh, kalau gue kelihatan makin seksi waktu masak kayak gini, kan?"
Risa menerima uluran sendok dari Alva sambil menganggukkan kepala. "Iya, menurut gue cowok yang bisa masak buat ceweknya emang seksi banget."
Alva mengerling ke arah Risa yang tidak terlihat heran atau terkagum-kagum. Padahal dari kata-katanya tadi, Risa menunjukkan bahwa Alva memang terlihat seksi dan memesona saat memasak di matanya.
"Lo pernah dimasakin sama Alan?"
Risa yang berniat menyuap nasi goreng buatan Alva dibuat urung. Dia menatap Alva, lalu memamerkan senyuman miring. "Pernah sekali dan gue bersumpah, nggak akan biarin dia sok-sokan masak lagi."
"Pfft!"
Alva tahu sepupunya itu tidak bisa memasak dan melihat Alan modus dengan cara membuatkan sesuatu untuk kekasihnya entah mengapa membuatnya ingin tertawa keras.
"Kalau mau ketawa, ketawa aja. Jangan ditahan, kentut tahu rasa!"
Risa memejamkan mata dan mulai menyantap masakan buatan Alva. Jangan ditanya bagaimana rasanya, karena menurut Risa ... rasanya biasa saja. Tidak enak, tapi juga tidak buruk, lumayan untuk dimakan, daripada dia makin kelaparan.
Tidak ada manusia sempurna yang bisa semuanya sekaligus. Alva mungkin pada awalnya juga tidak bisa memasak, tapi dia memaksakan diri untuk bisa memasak dan terus melatihnya setiap hari. Tidak pernah lelah, terus mengasah kemampuannya sampai seperti ini.
Sosok hebat yang benar-benar hebat, karena dia mau terus berusaha keras, walaupun dirinya tahu hal itu bukanlah keahliannya.
Risa menandaskan nasi goreng buatan Alva tanpa banyak bicara. Makan dengan lahap adalah cara menghargai masakan seseorang yang telah diberikan padanya.
"Lo kayaknya suka banget sama masakan gue. Mau lagi?"
Alva menyodorkan sendok berisi nasi gorengnya yang belum habis pada Risa. Dia berpikir perempuan itu mau nambah lagi, karena dia melihat Risa begitu lahap menelan masakannya.
Padahal, dia tahu kalau rasanya biasa saja. Tidak bisa dibilang sangat enak ... karena ya, itu hanya nasi goreng biasa, tidak ada yang spesial pakai telur atau topping lainnya.
Risa menatap Alva dengan wajah bosan. "Apa gue kelihatan kayak orang yang rakus banget?"
"Mirip, lumayan." Alva kembali memakan nasi goreng buatannya dengan mata melirik Risa yang kini lebih tertarik memperhatikan tembok daripada melihat ke arahnya. "Sa, gue mau kita bicara setelah ini!"
Risa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Soal apa?"
"Soal lo ...." Alva menghela napas kasar. "Lo berhutang banyak penjelasan ke gue, kan?"
"Gue nggak ngerasa berhutang apa-apa sama lo," sangkal Risa tidak terima. "Kalau soal hutang karena makan malam kali ini, oke, gue bakal nraktir lo di kantor besok, gue nggak mau berhutang sama lo lebih banyak lagi."
Alva hanya mengerling pada Risa yang diam-diam melirik ke arahnya. "Lo tahu apa maksud gue, kan?" Alva menghela napasnya panjang. "Gue butuh penjelasan, kenapa lo yang selama ini begitu angkuh, tiba-tiba saja memohon untuk tidur sama gue. Gue ngerasa ada sesuatu ... lo sengaja memanfaatkan tawaran gue di masa lalu, kan?"
Risa terdiam cukup lama, sebelum dia membalas kata-kata itu, "Nggak masalah, kan? Gue udah ngasih apa yang paling lo mau selama ini. Bahkan gue rasa, gue udah ngasih lo sesuatu yang nggak akan pernah lo lupain seumur hidup. Jadi, nggak masalah, bukan?" tanyanya dengan nada santai.
Risa berdiri, dia melangkah pergi dari sana, meninggalkan Alva yang menatap kepergiannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Apakah memanfaatkannya semudah itu?
Perempuan itu tidak sadar ... dia telah salah memilih orang untuk diajak bermain bersamanya.
_____Beberapa bulan sebelumnya ...."Kantor kita, katanya dapat personel baru.""Ah, yang katanya mutasi dari kantor pusat itu?"Beberapa mendengkus pelan. "Apes, apes, dari kantor pusat malah dilempar ke sini, pasti ada yang nggak beres sama kerjaan mereka di sana.""Sialnya, salah satunya bakal masuk divisi kita!""Sial! Nambah beban mulu, jadi pengin resign aja bawaannya!"Ralf menyimak gerutuan rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi datar. "Ribut banget, cuma ketambahan satu orang aja kayak ketambahan seratus orang. Dasar manusia julid!""Emang lo bukan salah satunya?" Alva tertawa pelan.Ralf mendelik ke arahnya. "Gue nyinyir ke orang yang tepat aja. Nah, mereka? Lihat manusianya aja belum, udah nyinyir aja kayak nenek lampir." Tiba-tiba pria itu
ALVA mengernyitkan dahi begitu membuka mata dan tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Pria itu langsung duduk tegak dengan sempurna, walau efeknya rasa pusing langsung menyergap kepalanya."Risa?"Tanpa memperhatikan penampilannya yang belum berbusana. Dia bergerak menuju kamar mandi, mencari keberadaan Risa tapi tak ada sosok perempuan itu di sana.Alva menggeram pelan. Dia mengambil dalaman, kaus, celana panjang dari koper miliknya. Tanpa repot-repot pergi ke kamar mandi, Alba langsung mengenakan pakaiannya. Setelah selesai, dia menuju tempat kunci mobilnya berada, sambil mengacak rambut hitam yang mulai memanjang.Namun, kunci itu tidak ada di tempatnya.Alva melirik ponselnya, lalu dengan cepat dia mengambilnya dan lekas memanggil nomor Risa. Sekali, dua kali, dia mengulangi panggilan itu, tapi tak ada jawaban apa pun."Di mana dia?" geramnya lalu menutup panggilan.Dia mengambil laptop yang ada di kopernya untuk ia keluar
MALAM itu, Alva sudah terlelap saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Risa meliriknya berulang kali. Berpikir, apakah dia harus membangunkan Alva ataukah langsung saja mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel pria itu?Risa terdiam cukup lama hingga nada dering panggilan itu selesai. Namun, sekali lagi ponsel itu berbunyi dan ia tak bisa menahan dirinya lagi.Dia menggoyangkan tubuh Alva secara perlahan sambil memanggil-manggil namanya. "Va! Alva!""Hm?" sahut pria itu terdengar malas-malasan.Dia malah menarik bantal dan menyembunyikan kepalanya ke balik bantal itu. Terlihat jelas jika dia tidak mau diganggu, dia ingin beristirahat penuh malam ini setelah bercinta panas dengan Risa sejak sejak yang lalu."Ponsel kamu bunyi mulu dari tadi. Nggak mau kamu angkat dulu?" Risa mengingatkan Alva pada ponselnya yang masih berbunyi.Alva pasti juga mendengar suara ponselnya walau hanya sayup-sayup suaranya saja. Itu alasan kenapa dia mengam
"KENAPA kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Risa terkejut setelah mendengar soal terakhir yang Alva berikan padanya. Dia bahkan sampai melepas paksa pelukan di antara mereka.Alva tersenyum miring. "Aku hanya ingin memastikannya. Kamu mau, kan, menjadi istriku, Sa?""Bukannya, aku sudah pernah menjawab pertanyaanmu ini sebelumnya?" Risa balik bertanya dengan kepala berpaling ke arah lain, rona merah sudah menghiasi pipi dan membuat seluruh wajahnya terasa panas bukan main.Alva menggeleng pelan, tangannya terulur menyentuh rambut Risa dan membelainya dengan perlahan. "Saat itu kamu memang menjawabnya, tapi bukan jawaban seperti itu yang mau aku dengar. Ayo, Sa, jangan terus menerus menghindar. Apa kamu tidak mau memberiku sebuah kepastian tentang pernikahan kita?"Alva masih ingat dengan baik jawaban Risa sebelumnya— yang jujur saja terdengar sangat mengkhawatirkan untuknya. Walaup
"MAAF, aku malah membuat pertunjukan mengerikan seperti itu di depanmu tadi." Alva mengatakannya tanpa melirik ke arah Risa, begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang menyala dan mulai meninggalkan rumah orang tuanya.Walaupun dia dengan tulus meminta maaf, tapi Alva tak sepenuhnya menyesali perbuatannya. Karena nyatanya, Alva memang ingin Risa mengetahui semua hal termasuk aib tentang dirinya, juga tentang semua kebusukan anggota keluarganya. Dia hanya merasa bersalah jika Risa sampai terkena serangan mental atau serangan jantung setelah melihat peperangannya dengan Jared secara langsung.Ibunya saja tak pernah sanggup melihatnya bertengkar dengan sang ayah, apalagi Risa yang notabenenya masih orang baru dalam lingkup dunianya. Perempuan itu pasti sangat terkejut tadi, Alva bisa memahaminya. Mungkin juga Risa ingin menyerah begitu saja, tapi Alva tak ingin membiarkan Risa melepaskan dirinya.Apa pun
TAK ada satu pun yang berubah dari rumah ini. Alva masih bisa merasakan hal yang sama setiap kali dia masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dia juga tidak begitu mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Dia juga tidak tahu apa alasannya hingga dia menjadi seperti ini setiap kali ia kembali. Namun, memang sejak dulu dia tidak pernah merasa betah, ketika ia sedang berada di rumah.Jika Alva bisa pergi, maka dia akan pergi meninggalkan rumah. Entah itu untuk pergi bermain, pergi ke rumah Alan, ke rumah teman-temannya yang lain, juga pergi ke kelab malam. Dia hanya akan pulang ketika dia butuh tempat tidur untuk semalam, itu pun setelah dewasa dia kadang lebih memilih menyewa hotel untuk ia tiduri daripada pulang ke rumah.Namun, semuanya menjadi semakin menjadi semenjak Alva kuliah. Dia yang akhirnya bisa hidup sendiri dan bisa mencari uang sendiri dari jalan kecil yang ditemukannya pun merasakan sebuah kenyamanan yang membua
"APA Alan bakal balik lagi ke Bandung, ya?"Alva yang semula mau memejamkan mata dan terlelap ke alam mimpinya, langsung membuka matanya lebar-lebar. Kepala menoleh dengan cepat ke arah Risa yang berbaring di sebelahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bahas soal dia?""Memangnya nggak boleh? Kamu nggak suka aku bahas soal dia?" Risa mengedipkan kedua matanya sembari menatap Alva yang wajahnya terlihat tidak sedap dipandang. Apa dia marah? batinnya, heran sekaligus penuh pertanyaan. Kenapa Alva bisa terlihat semarah itu hanya karena Risa membahas Alan?"Boleh aja, sih, tapi kalau bisa jangan bahas dia sekarang." Alva memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang. Harus berapa lama dia merasakan perasaan tak nyaman ini setiap kali Risa membahas soal sepupunya?"Kenapa?" Risa mengernyitkan dahi. Kali ini dia benar-benar tak mengerti alasan yang membuat Alva hingga tak menyukai bahasan soal Alan, yang notabenenya masih saudara pria itu sendiri."Sa, kamu b
ALAN langsung mendatangi rumah kedua orang tuanya untuk mengabarkan jika dia batal menikahi Risa. Mamanya langsung memarahinya habis-habisan, bertanya apa alasannya hingga dia melakukannya dan terus menanyakan hal yang sama berulang kali. Bahkan papanya langsung mengambil senapan dan siap menembaknya di tempat saat itu juga.Alan tersenyum tipis sembari menyesap kopi yang dibuatkan mamanya sebelum kemarahan di antara mereka berkobar. Dia meletakkan cangkir itu kembali di piring, sebelum menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata dipenuhi kepedihan."Aku yang salah, Pa, Ma. Aku tidak bisa mempertahankannya dengan baik, aku juga pernah bermain di belakangnya. Aku yang salah, hingga dia berpaling ke pelukan pria lain dan merasa nyaman di sana. Kami sudah mengambil langkah masing-masing, jalan di antara kami tak lagi sama. Dia telah memilih jalannya dan menemukan kebahagiaannya sendiri, sedang aku masih harus larut pada penyesalan karena telah menyia-nyiakannya sebelum i
"JADI, Alan udah balik ke Jakarta?" tanya Risa begitu Ralf pergi dari sana, meninggalkan mereka hanya berdua saja di ruangan itu. Menurut penjelasan Ralf sebelum ini, Risa harus menginap di rumah sakit untuk sementara waktu, sampai keadaannya benar-benar membaik. Esok harinya, dia akan melakukan USG untuk mengecek keadaan kandungannya setelah dia pingsan sebelumnya. Risa pun disarankan untuk pergi ke dokter kandungan secepat mungkin untuk kebaikan dirinya serta bayinya. Walaupun sekarang Risa merasa tubuhnya sudah lebih baik setelah menelan makanan yang dipesan Alva, dia ingin pulang, tapi dia tak bisa melakukannya. Lantaran, sejak tadi Alba terus menatapnya tajam. Sebuah tatapan yang menyiratkan ancaman, jika Risa tidak mau menurut padanya, maka dia akan melakukan sesuatu yang tak perempuan itu suka. Risa mengembuskan napas kasar begitu mengingat peristiwa beberapa saat lalu. "Tentu saja dia harus pulang dan memberi tahu semua keluarga besarnya. Sala