"MAAF, aku malah membuat pertunjukan mengerikan seperti itu di depanmu tadi." Alva mengatakannya tanpa melirik ke arah Risa, begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang menyala dan mulai meninggalkan rumah orang tuanya.
Walaupun dia dengan tulus meminta maaf, tapi Alva tak sepenuhnya menyesali perbuatannya. Karena nyatanya, Alva memang ingin Risa mengetahui semua hal termasuk aib tentang dirinya, juga tentang semua kebusukan anggota keluarganya. Dia hanya merasa bersalah jika Risa sampai terkena serangan mental atau serangan jantung setelah melihat peperangannya dengan Jared secara langsung.
Ibunya saja tak pernah sanggup melihatnya bertengkar dengan sang ayah, apalagi Risa yang notabenenya masih orang baru dalam lingkup dunianya. Perempuan itu pasti sangat terkejut tadi, Alva bisa memahaminya. Mungkin juga Risa ingin menyerah begitu saja, tapi Alva tak ingin membiarkan Risa melepaskan dirinya.
Apa pun
"KENAPA kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Risa terkejut setelah mendengar soal terakhir yang Alva berikan padanya. Dia bahkan sampai melepas paksa pelukan di antara mereka.Alva tersenyum miring. "Aku hanya ingin memastikannya. Kamu mau, kan, menjadi istriku, Sa?""Bukannya, aku sudah pernah menjawab pertanyaanmu ini sebelumnya?" Risa balik bertanya dengan kepala berpaling ke arah lain, rona merah sudah menghiasi pipi dan membuat seluruh wajahnya terasa panas bukan main.Alva menggeleng pelan, tangannya terulur menyentuh rambut Risa dan membelainya dengan perlahan. "Saat itu kamu memang menjawabnya, tapi bukan jawaban seperti itu yang mau aku dengar. Ayo, Sa, jangan terus menerus menghindar. Apa kamu tidak mau memberiku sebuah kepastian tentang pernikahan kita?"Alva masih ingat dengan baik jawaban Risa sebelumnya— yang jujur saja terdengar sangat mengkhawatirkan untuknya. Walaup
MALAM itu, Alva sudah terlelap saat ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Risa meliriknya berulang kali. Berpikir, apakah dia harus membangunkan Alva ataukah langsung saja mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel pria itu?Risa terdiam cukup lama hingga nada dering panggilan itu selesai. Namun, sekali lagi ponsel itu berbunyi dan ia tak bisa menahan dirinya lagi.Dia menggoyangkan tubuh Alva secara perlahan sambil memanggil-manggil namanya. "Va! Alva!""Hm?" sahut pria itu terdengar malas-malasan.Dia malah menarik bantal dan menyembunyikan kepalanya ke balik bantal itu. Terlihat jelas jika dia tidak mau diganggu, dia ingin beristirahat penuh malam ini setelah bercinta panas dengan Risa sejak sejak yang lalu."Ponsel kamu bunyi mulu dari tadi. Nggak mau kamu angkat dulu?" Risa mengingatkan Alva pada ponselnya yang masih berbunyi.Alva pasti juga mendengar suara ponselnya walau hanya sayup-sayup suaranya saja. Itu alasan kenapa dia mengam
ALVA mengernyitkan dahi begitu membuka mata dan tak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Pria itu langsung duduk tegak dengan sempurna, walau efeknya rasa pusing langsung menyergap kepalanya."Risa?"Tanpa memperhatikan penampilannya yang belum berbusana. Dia bergerak menuju kamar mandi, mencari keberadaan Risa tapi tak ada sosok perempuan itu di sana.Alva menggeram pelan. Dia mengambil dalaman, kaus, celana panjang dari koper miliknya. Tanpa repot-repot pergi ke kamar mandi, Alba langsung mengenakan pakaiannya. Setelah selesai, dia menuju tempat kunci mobilnya berada, sambil mengacak rambut hitam yang mulai memanjang.Namun, kunci itu tidak ada di tempatnya.Alva melirik ponselnya, lalu dengan cepat dia mengambilnya dan lekas memanggil nomor Risa. Sekali, dua kali, dia mengulangi panggilan itu, tapi tak ada jawaban apa pun."Di mana dia?" geramnya lalu menutup panggilan.Dia mengambil laptop yang ada di kopernya untuk ia keluar
Beberapa bulan sebelumnya ...."Kantor kita, katanya dapat personel baru.""Ah, yang katanya mutasi dari kantor pusat itu?"Beberapa mendengkus pelan. "Apes, apes, dari kantor pusat malah dilempar ke sini, pasti ada yang nggak beres sama kerjaan mereka di sana.""Sialnya, salah satunya bakal masuk divisi kita!""Sial! Nambah beban mulu, jadi pengin resign aja bawaannya!"Ralf menyimak gerutuan rekan-rekan kerjanya dengan ekspresi datar. "Ribut banget, cuma ketambahan satu orang aja kayak ketambahan seratus orang. Dasar manusia julid!""Emang lo bukan salah satunya?" Alva tertawa pelan.Ralf mendelik ke arahnya. "Gue nyinyir ke orang yang tepat aja. Nah, mereka? Lihat manusianya aja belum, udah nyinyir aja kayak nenek lampir." Tiba-tiba pria itu
"TOLONG pelan-pelan sedikit!" Risa memejamkan mata. Bibirnya terus mengerang saat pria itu berusaha untuk menyatukan tubuh mereka dengan cara menggesekkan dua benda pribadi keduanya dengan gerakan pelan dan hati-hati.Alva melengkungkan tubuhnya di atas tubuh Risa. Wajahnya mendekati telinga Risa dan mulai berbisik, "Lo serius sama semua ini, Sa?"Risa membuka mata dan menatap pria yang kini berada di atasnya dengan wajah sebal. "Bukannya lo yang nawarin gue, kenapa lo malah jadi ragu begini?"Karena gue nggak nyangka lo masih perawan, sialan! batin Alva sembari menghela napas panjang."Kalau lo emang nggak bisa, kita berhenti aja."Risa mendorong dada Alva, membuat pria itu bangun dan Risa turut bangun dari
RISA sudah tidak bisa menghitung berapa kali Alva menyemburkan benih itu ke dalam tubuhnya. Dia merasa sangat lemas, tenaganya hilang tak bersisa, bahkan bibir yang semula bisa mengerang nikmat kini hanya bisa bungkam dan menerima cumbuan panas tanpa bisa membalas.Jika ditanya, apakah Risa menyesali apa yang telah dilakukannya?Jawabannya, iya, dia menyesali semua kebodohannya.Termakan amarah dan terbuai rayuan setan, dia menyerahkan dirinya pada pria playboy bernama Reagan Alvaro. Salah satu temannya yang diam-diam mengincar tubuh Risa sejak pertama kali mereka berjumpa.Risa mengetahui hal itu sejak lama, tapi dia hanya diam saja, karena Alva tidak pernah memperlakukannya secara kurang ajar.Tatapan matanya memang melecehkan, bahkan kalimatnya kadang sangat keterlaluan, tapi hanya sekadar itu
RISA tidak bisa menyembunyikan rona merah yang menghiasi wajah kala melihat Alva dengan telaten mengurusnya. Alva memandikan dan memakaikan baju ke tubuhnya. Pria itu tak bersuara, diam saja layaknya robot yang tak berhenti bekerja.Setelah Risa memakai kemeja merah maroon milik Alva yang panjangnya sampai paha. Pria itu bersiap kembali untuk menggendong tubuhnya, tapi Risa langsung beringsut menjauh.Alva menghela napas panjang. "Gue mau bawa lo ke dapur. Beneran, gue nggak ada niat buat macam-macam," katanya pasrah, nadanya sedikit putus asa saat melihat Risa menjauhinya setelah tadi memeluk-meluk tubuhnya mesra."Em ... g-gue bisa jalan sendiri," jawab Risa yang kini bergerak turun dari ranjang di sisi lainnya dengan hati-hati.Tadi dia tidak merasa malu saat Alva m
RISA ingin pulang setelah dia selesai menyantap makan malam. Dia pun kembali ke kamar untuk mencari-cari pakaian yang ia kenakan saat datang ke sana. Begitu dia menemukan apa yang sedang ia cari, Risa langsung memunguti pakaiannya satu per satu dan membawa pakaiannya ke kamar mandi. Namun, sebelum kakinya sempat masuk ke dalam kamar mandi. Risa merasakan sebuah cengkeraman kuat di lengan atasnya yang memaksanya untuk berhenti dan berbalik. Dahinya mengernyit. "Ada apa lagi, Va?" tanyanya saat menatap Alva yang kini tersenyum miring padanya. "Gue udah bilang sebelumnya, kalau lo masih punya hutang penjelasan sama gue, kan?" kata Alva ringan. Mata perempuan itu langsung melotot tajam. Dia mencoba melepaskan pegangan tangan Alva di lengan atasnya, tapi semuanya percuma.