Tlililit.. tlililit...
Amalia meraba-raba kasur busa tipisnya, mencari ponsel yang sejak tadi terus-terusan berbunyi. Saat berhasil menemukannya, dia langsung mematikan alarm yang sengaja dia setel di ponselnya.
Sudah jam 5 pagi, saatnya dia untuk bangun dan mulai beraktivitas. Amalia harus membersihkan rumah, memasak, menyeka ibunya dan menyuapinya sarapan sebelum dia berangkat bekerja.
Buru-buru Amalia bangkit dan mulai berkutat dengan tugas-tugas hariannya di rumah.
Hari ini Amalia akan memasak sup ayam dan perkedel kentang, makanan kesukaan Ibu. Amalia berharap hari ini Ibunya akan makan dengan lahap karena beberapa hari ini beliau tampak tak napsu makan.
Setelah selesai memasak, dengan cekatan Amalia mengambilkan makanan untuk sang Ibu. Dan mulai menyuapinya.
"Bu, Lia sudah buatkan sup ayam dan perkedel kentang kesukaan Ibu," ucap Amalia sambil duduk di sisi ranjang Ibu.
Ibu tersenyum sambil mulai membuka mulutnya untuk menerima suapan makanan dari Lia.
"Maafkan Ibu ya nak, kamu jadi repot karena harus merawat Ibu."
"Ibu ini bicara apa? Lia nggak repot sama sekali kok," Lia memaksakan senyum cerah untuk menghibur sang Ibu.
"Kapan Sandy dan Toni datang menjenguk Ibu? Apa mereka nggak kangen ya sama Ibu?"
"Mas Sandy dan Mas Toni pasti sedang sibuk Bu. Nanti Lia telpon mereka ya supaya mereka datang "
"Nggak usah! Biarkan saja, jangan di paksa."
Ibu tampak berusaha tegar, tapi Lia tahu jika sang Ibu sangat merindukan kedua kakak laki-lakinya.
Kadang Lia jadi merasa kesal kepada mereka berdua! Memangnya kalau sudah menikah dan memiliki anak dan istri, Ibu bisa di lupakan begitu saja?!
Lia bertekad akan menelpon dan memarahi mereka siang nanti.
"Bu, Lia berangkat dulu ya, sudah jam setengah delapan. Nanti siang saat istirahat, Lia pulang lagi. Ibu baik-baik di rumah ya." Ucap Lia sambil membersihkan beberapa nasi yang terjatuh di kasur.
"Iya, hati-hati."
Amalia mengangguk dan langsung berlari menuju dapur, melahap dua buah perkedel secepat kilat lalu langsung menyambar tas kerjanya dan bergegas berangkat bekerja.
Dia tak akan sempat sarapan, bisa-bisa terlambat nanti.
***
Dengan berlari secepat kilat, Lia meninggalkan motor maticnya di parkiran kantor menuju ruang absen.
'Terima kasih.'
"Huft..." Amalia bernapas lega saat melihat jam digital di mesin absensi menunjukkan pukul 07.59.
Super mepet memang tapi lebih baik kan dari pada terlambat.
Saat akan berbalik menuju ruang kerjanya, tiba-tiba 'bug!' Amalia bertubrukan dengan seorang lelaki bertubuh tinggi dan sangat atletis. Rambutnya tersisir rapih ke belakang, mengenakan kemeja lengan panjang warna biru tua, sangat kontras dengan kulitnya yang putih dan bersih.
"Maaf..." Ucap Amalia lirih.
Lelaki itu hanya memandangnya sekilas lalu buru-buru menempelkan ibu jarinya di mesin absensi.
"Siapa dia?" batin Amalia. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria tampan itu. "Sepertinya karyawan baru, tapi berani benar orang baru malah datang terlambat," rutuk Amalia dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya menuju ruang kerjanya.
Baru saja Amalia akan menempelkan bokongnya di kursi, Pak Budi sang manager cabang masuk ke dalam ruang kerjanya dan mengundang seluruh staf administrasi untuk berkumpul di ruang meeting.
"Ada apa ya?" bisik Novi, teman kerja Amalia yang duduk persis di sebelahnya.
Amalia hanya membalas dengan senyum dan mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
Semua karyawan, baik staf administrasi, staf gudang bahkan para salesman dan colector sudah berkumpul di ruang meeting. Termasuk lelaki tampan yang berpapasan dengan Amalia di ruang absensi barusan.
Amalia langsung berpikir, pasti semua karyawan di kumpulkan untuk di kenalkan dengan orang baru itu. Tapi dia di bagian apa? Bukankah tidak ada tempat kosong di perusahaan ini?
"Selamat pagi semuanya," ucap Pak Budi dengan lantang agar semua staf nya dapat mendengar dengan jelas. Maklumlah dia tak memakai mikrofon saat bicara.
"Kita berkumpul pagi ini di sini, selain untuk breaving pagi, saya juga ingin mengenalkan karyawan baru di kantor ini. Namanya Pak Revan Wirabrata, beliau ini akan menggantikan posisi saya sebagai branch manager karena saya akan di pindah tugaskan ke kota lain.
"Yaaahh... Kok mendadak sekali Pak?" Tanya salah seorang salesman.
"Ini keputusan dari pusat ya, saya si nurut aja. Saya harap kalian semua dapat bekerja sama dengan baik, buat para salesman di mohon jangan bikin Pak Revan pusing! Supaya beliau ini betah kerja sama dengan kalian yang susah di atur!" Pak Budi mulai wanti-wanti.
Seketika ruang meeting ramai dengan suara tawa para salesman.
Setelah para salesman berhenti tertawa, barulah si manager baru itu bicara dan mulai memperkenalkan diri.
"Selamat pagi semuanya, Saya Revan Wirabrata sebelumnya Saya bekerja di kantor pusat dan mulai hari ini, Saya akan bekerja di kantor cabang Solo. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."
"Boleh tanya nggak Pak?" tiba-tiba Novi mengangkat tangan kanannya dan berceletuk.
"Silahkan," Revan menganggukkan kepala sambil menatap Novi.
"Pak Revan sudah menikah belum?"
"Huuuu!!" Seluruh karyawan di ruang meeting kompak berseru. Walaupun mungkin beberapa karyawan cewek juga penasaran termasuk Amalia.
Namun Revan sendiri tampak enggan menjawab pertanyaan dari Novi.
"Di lingkungan kerja, harap tanyakan masalah pekerjaan saja ya," jawabnya akhirnya.
"Sudah! Ayo kembali bekerja semuanya!" Pak Budi berusaha menenangkan karyawannya yang mulai riuh.
"Kan penasaran aku tuh..." Celetuk Novi lagi, dia tampak masih sangat penasaran dengan status manager barunya yang sangat tampan.
Maklumlah Novi memang sedang mencari pasangan, dia sudah menjanda selama dua tahun dan harus menghidupi satu anak di usia 27 tahun.
"Andi mau di kemana-in woi!" Seru Jamal, salah seorang salesman.
"Tanya doang masa nggak boleh," ucap Novi lagi sambil tersenyum. Matanya terus menatap wajah tampan Revan dan enggan berpaling.
Revan tampak kurang nyaman dan berusaha memalingkan wajahnya pada Pak Budi dan mengajaknya berbicara.
Setelah selesai breafing, semua karyawan kembali ke aktivitas nya, termasuk Lia. Dia dan teman-temannya berjalan menuju ruang kerjanya dan duduk di kursinya masing-masing.
Berbeda dengan Novi, dia masih saja asyik berdiri di ambang pintu sambil sesekali melongok ke ruang manager. Dia masih ingin menikmati wajah tampan manager barunya.
"Kerja! Kerja! Jangan ngelamunin si manager baru mulu!" Gerutu Jamal sambil memasuki ruang administrasi.
"Rese banget sih! Suka-suka aku dong!" Ketus Novi.
"Kerja dulu! Mana ini tagihan ku! Nanti kalau kerjaan sudah beres baru lanjutin sonoh! Keburu siang tau!" Jamal makin kesal. Hari sudah semakin siang, dia harus buru-buru keliling ke beberapa toko tapi tagihannya belum juga selesai di buat oleh Novi.
"CK! Orang mau cari gebetan aja susah banget! Emangnya kamu mau tanggung jawab kalau aku jadi perawan tua dan nggak laku-laku gara-gara nggak juga dapat gebetan baru!" Novi kesal sambil lalu menghempaskan bokongnya di kursi dan mulai berkutat dengan komputernya untuk membuat tagihan yang akan di bawa Jamal.
Deg! Jantung Lia serasa berhenti berdetak sekejap. Ucapan Novi seperti di tujukan kepada dirinya, tapi dengan segera Lia mencoba menghilangkan perasaan yang mengganggunya itu.
"Perawan tua? Sudah punya anak satu, perawan dari mana?!" Jamal terkekeh.
"Aku itu udah janda 2 tahun! Sudah rapet lagi ini kaya perawan tau!" Novi menjawab sambil terkekeh walaupun matanya masih tetap fokus ke monitor komputernya.
Amalia berusaha lebih berkonsentrasi pada pekerjaannya tanpa memperdulikan ucapan Novi. Mungkin dia yang terlalu sensitive. Amalia memang perawan tua, bahkan dua hari lagi umurnya genap 30 tahun dan dia belum juga menikah. Jangankan menikah, pacar saja belum punya sampai sekarang.
"Lia, tagihan ku sudah jadi?" tiba-tiba Rohman dengan sopan mendekati Lia dan bertanya, dia adalah salah satu salesman yang bertugas membawa tagihan dari Lia.
"Oh, sudah Mas." Lia menyerahkan segepok nota dan tagihan yang akan di bawa Rohman.
"Tolong kalau ketemu Mas Guntur di ruang salles, suruh kemari ya. Tagihannya belum di ambil nih."
"Siap!" Jawabnya sambil berlalu.
Amalia memang termasuk staf admin Inkaso yang gesit. Semua tagihan sales yang di bawakan hari ini pasti sudah dia selesaikan kemarin sore, agar para sales nya nggak keteteran dan bisa langsung berangkat bekerja pagi-pagi. Sangat berbanding terbalik dengan Novi yang sangat santai.
Banyak sales yang memuji betapa cekatan dan rajinnya Lia, dan itu membuat Novi sedikit kesal. Dia menganggap Lia hanya cari muka di hadapan semua orang. Makanya Novi sering menyindir ketidakmampuan Lia dalam mendapatkan pasangan.
Tapi Lia sudah kebal. Umurnya hampir 30 tahun dan dia sudah cukup dewasa untuk bisa menahan emosi pada partner yang sudah bekerja kurang lebih 3 tahun bersama dirinya.
Mungki perasaan Lia sudah mati rasa, mungkin saja.
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li