Share

3. Kekesalan Lia.

"Ntar pulang kerja, kita karaoke yuk!” Ajak Novi pada beberapa staf yang sedang bersiap menyiapkan makan siang. Mereka memang suka membawa bekal dan makan bersama di kantor saat jam istirahat.

Berbeda dengan Lia, dia harus buru-buru pulang. Ibunya pasti sudah lapar. Dia harus makan di rumah sambil menyuapi ibunya makan siang dan mengganti pempersnya.

Sebenarnya Lia sedikit kewalahan, karena jarak kantor ke rumah lumayan jauh, tapi semua ini harus di lakukan. Lia pernah mencoba memakai jasa perawat, tapi biayanya sangat mahal. Sedangkan dia juga harus rutin membeli obat tiap bulannya belum lagi pempers orang tua harganya tidak murah. Dalam sebulan dia bisa beli 5 kali di tambah obat-obatan. Gajinya sebagai staf admin sangat pas-pasan untuk semua itu, sudah tak ada lebihan sama sekali untuk membayar perawat.

Jadi, satu-satunya cara, Lia harus berusaha menekan pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan ibunya, tak apa lelah sedikit yang penting dia tak kekurangan.

Bagaimana dengan kedua kakak Lia? Lia sudah malas berharap dari mereka. Lia merasa seperti pengemis tiap kali meminta bantuan finansial dari kedua kakaknya. Lama-lama dia malas dan berusaha menyelesaikan semua maslahnya sendiri.

“Loh, Lia, mau keluar?” Novi berceletuk saat melihat Lia bangkit dari duduknya dan mengambil tas kerjanya.

“Iya, aku mau pulang sebentar.”

“Apa nggak capek tiap istirahat pulang?”

Lia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ya, teman kantornya memang tidak ada yang tahu jika Lia harus merawat ibunya yang sakit di rumah. Mereka juga tampak tak ingin tau, jadi Lia enggan bercerita tentang masalah pribadinya.

“Aku pergi dulu ya.”

“Ya hati-hati," jawab Novi basa basi.

Lia berjalan keluar dari ruang admin namun masih dapat mendengar ucapan Novi yang sedikit sinis saat membicarakan dirinya. Lia hanya menghembuskan napas dan melanjutkan langkahnya keluar dari kantornya.

Dengan cepat dia berjalan menuju parkiran motor, dia harus cepat karena perutnya juga sudah keroncongan. Tadi pagi kan dia tak sempat sarapan.

'Tin... Tin!'

Lia terhenti sejenak, saat ada mobil avan*a hitam berhenti tepat di sampingnya.

“Mau makan Li? Mau ikut kita nggak?” Ajak Pak Budi saat kaca jendela mobilnya sudah turun.

Lia menoleh dan dilihatnya Pak Budi di kursi kemudi, sedang Pak Revan duduk di sampingnya. Tatapan mereka beradu membuat Lia sedikit tersipu. Pak Revan memang terlalu tampan.

“Terima kasih pak, saya sudah ada acara sendiri,” tolak Lia dengan sopan.

“Okelah kalau begitu, hati-hati ya. Jangan terlambat masuk kantor loh.” Pak Budi pun melajukan mobilnya meninggalkan Lia yang masih termenung di tempatnya.

Lia menghela napas sambil menatap kepergian Pak Budi dan Pak Revan. Angannya langsung melayang membayangkan jika dia menerima ajakan Pak Budi, dia pasti bisa makan bersama Pak Revan yang ganteng itu ka? Lia terkekeh sendiri.

“Orang seganteng itu mana mungkin tertarik dengan perawan tua macam aku," lirih Lia sambil memukul pelan kepalanya. Kemudian buru-buru menuju motor maticnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Di harus buru-buru pulang, Ibu sudah menunggu.

 *

Setelah selesai menyuapi Ibunya dan melahap beberapa sendok nasi secara terburu-buru ke dalam mulutnya sendiri, Lia bergegas untuk berangkat kembali.

Pempers sudah di ganti, obat pun sudah di minum. Lia dapat bernapas lega dan segera berangkat kembali ke kantornya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 12.45. Kalau dia tidak segera berangkat, bisa-bisa dia terlambat.

“Bu, Lia berangkat…” Teriak Lia sambil berlari menuju teras rumah nya.

Jalanan siang itu sangat ramai dan entah kenapa, Lia selalu mendapati lampu lalu lintas berwarna merah, padahal waktunya sudah tak banyak lagi.

“Ya Tuhan.. bisa-bisa aku terlambat ini.” Gumam Lia.

Setelah memarkirkan motornya, dengan terburu-buru Lia berlari masuk ke dalam ruang kerjanya. Karena fokusnya melihat jam di pergelangan tangannya, Lia tak sadar jika di depannya ada orang yang juga sedang berjalan dan akhirnya mereka bertubrukan.

“Ahhh…" pekik Lia.

“Kamu lagi…” Desis Pak Revan. Matanya memicing memperhatikan Lia.

“Maaf Pak, maaf…”

“Sudah jam 1 lebih lima menit. Kamu terlambat Lia!” Ucap Pak Revan tegas.

“I.. iya, maaf pak. Tadi jalanan macet sekali.” Lia berulangkali menundukkan kepalanya seraya berjalan cepat menuju ruang kerjanya.

Setelah sampai di kubikel nya, barulah Lia bisa bernapas lega dan merasa tenang.

***

“Halo, Mas Sandy.”

“Iya, kenapa Li. Mas lagi sibuk banget ini!”

Lia menghela napas. Setelah sekian lama mereka tidak saling bertukar kabar, baru saja lia menghubungi, kakaknya sudah bilang sibuk. Kesal sekali rasanya.

Kalau tidak terpaksa, Lia juga enggan menelpon duluan.

“Mas, Ibu kayaknya kangen itu. Kapan kalian datang jenguk ibu?”

“Nanti ya, kalau anak-anak libur sekolah. Sudah dulu…”

“Tunggu dulu!” Bentak Lia kesal, dia bahkan belum mengutarakan niatnya menelpon.

“Mas, aku butuh uang. Obat ibu sudah hampir habis. Gajiku bulan ini tinggal tersisa untuk makan saja. Kalau bisa mas Sandy kirim uang buat bantu aku beli obat.”

“Iya, nanti kalau ada aku kirim.” Ucapnya acuh.

“Nanti nya kapan? Obat ibu tinggal buat sehari besok.” Lia makin gencar bertanya.

“Dikira nyari duit gampang apa?” bentak kakaknya dari sebrang telpon.

“Aku nggak minta banyak mas, cuma lima ratus ribu aja!”

“Iya, tunggu aja! Tut… tut…”

“Brengsek!” kesal Lia yang mulai naik pitam.

Dengan kesal lia mulai membuka kontak telpon di ponselnya lalu mulai menghubungi kakak ke duanya, “halo mas Toni.”

“Aku lagi sibuk, ntar sore aja telpon lagi. Tututut.” Dan sambungan pun terputus.

“Argh!!!!!” Lia berteriak dengan kesal. Untunglah dia sedang berada di halaman belakang kantornya.

Terdapat sebuah lapangan badminton di sini yang sudah jarang di pakai sehingga sepi dan tak ada orang, membuat Lia leluasa berteriak sesuka hatinya untuk meluapkan amarahnya.

“Dasar orang-orang brengsek!!!” Teriak Lia, ingin rasanya dia membanting ponselnya, tapi memikirkan kalau dia sudah tak bisa beli lagi, dia urungkan juga niat buruknya itu.

“Aku cuma minta lima ratus ribu aja kayak yang minta lima ratus juta. Dasar anak nggak ada yang berbakti! sama Ibu sendiri aja pelit nya luar biasa!!!” Lia terus menggerutu sambil menatap wajahnya yang terpantul di layar ponselnya yang mati.

Akhirnya dengan menghela napas putus asa, Lia putuskan untuk menjual anting emasnya. Satu-satunya perhiasan yang masih dia miliki.

“Nggak apa-apa Lia. Kalau ada rejeki bisa beli lagi lain hari.” Gumamnya mencoba menghibur dirinya sendiri sambil melepaskan anting yang menempel di kedua telinganya.

Sore nanti sepulang kerja dia akan jual anting ini sehingga besok bisa dia gunakan untuk membeli obat. Lia tak mungkin mengharapkan keajaiban bakal di bantu oleh dua kakanya yang egois. Sudah habis kesabaran Lia. Dia tak peduli lagi pada mereka berdua.

“Lihat saja nanti, suatu hari nanti, aku benar-benar nggak akan peduli pada kalian berdua! Dasar brengsek!!” geram Lia sambil terus mengumpat pelan dan berjalan masuk menuju ruang kerjanya.

Tanpa Lia sadari, tak jauh dari tempatnya duduk, Pak Revan terus memperhatikannya sambil menggelengkan kepala heran dengan tingkah karyawannya.

"Ku pikir dia pendiam, ternyata bisa ngomong kasar juga..."

Dia melempar puntung rokoknya yang tinggal separoh dan menginjaknya, lalu berjalan masuk menuju ruang kerja nya. Pekerjaannya masih sangat banyak

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status