"Ntar pulang kerja, kita karaoke yuk!” Ajak Novi pada beberapa staf yang sedang bersiap menyiapkan makan siang. Mereka memang suka membawa bekal dan makan bersama di kantor saat jam istirahat.
Berbeda dengan Lia, dia harus buru-buru pulang. Ibunya pasti sudah lapar. Dia harus makan di rumah sambil menyuapi ibunya makan siang dan mengganti pempersnya.
Sebenarnya Lia sedikit kewalahan, karena jarak kantor ke rumah lumayan jauh, tapi semua ini harus di lakukan. Lia pernah mencoba memakai jasa perawat, tapi biayanya sangat mahal. Sedangkan dia juga harus rutin membeli obat tiap bulannya belum lagi pempers orang tua harganya tidak murah. Dalam sebulan dia bisa beli 5 kali di tambah obat-obatan. Gajinya sebagai staf admin sangat pas-pasan untuk semua itu, sudah tak ada lebihan sama sekali untuk membayar perawat.
Jadi, satu-satunya cara, Lia harus berusaha menekan pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan ibunya, tak apa lelah sedikit yang penting dia tak kekurangan.
Bagaimana dengan kedua kakak Lia? Lia sudah malas berharap dari mereka. Lia merasa seperti pengemis tiap kali meminta bantuan finansial dari kedua kakaknya. Lama-lama dia malas dan berusaha menyelesaikan semua maslahnya sendiri.
“Loh, Lia, mau keluar?” Novi berceletuk saat melihat Lia bangkit dari duduknya dan mengambil tas kerjanya.
“Iya, aku mau pulang sebentar.”
“Apa nggak capek tiap istirahat pulang?”
Lia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ya, teman kantornya memang tidak ada yang tahu jika Lia harus merawat ibunya yang sakit di rumah. Mereka juga tampak tak ingin tau, jadi Lia enggan bercerita tentang masalah pribadinya.
“Aku pergi dulu ya.”
“Ya hati-hati," jawab Novi basa basi.
Lia berjalan keluar dari ruang admin namun masih dapat mendengar ucapan Novi yang sedikit sinis saat membicarakan dirinya. Lia hanya menghembuskan napas dan melanjutkan langkahnya keluar dari kantornya.
Dengan cepat dia berjalan menuju parkiran motor, dia harus cepat karena perutnya juga sudah keroncongan. Tadi pagi kan dia tak sempat sarapan.
'Tin... Tin!'
Lia terhenti sejenak, saat ada mobil avan*a hitam berhenti tepat di sampingnya.
“Mau makan Li? Mau ikut kita nggak?” Ajak Pak Budi saat kaca jendela mobilnya sudah turun.
Lia menoleh dan dilihatnya Pak Budi di kursi kemudi, sedang Pak Revan duduk di sampingnya. Tatapan mereka beradu membuat Lia sedikit tersipu. Pak Revan memang terlalu tampan.
“Terima kasih pak, saya sudah ada acara sendiri,” tolak Lia dengan sopan.
“Okelah kalau begitu, hati-hati ya. Jangan terlambat masuk kantor loh.” Pak Budi pun melajukan mobilnya meninggalkan Lia yang masih termenung di tempatnya.
Lia menghela napas sambil menatap kepergian Pak Budi dan Pak Revan. Angannya langsung melayang membayangkan jika dia menerima ajakan Pak Budi, dia pasti bisa makan bersama Pak Revan yang ganteng itu ka? Lia terkekeh sendiri.
“Orang seganteng itu mana mungkin tertarik dengan perawan tua macam aku," lirih Lia sambil memukul pelan kepalanya. Kemudian buru-buru menuju motor maticnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Di harus buru-buru pulang, Ibu sudah menunggu.
*
Setelah selesai menyuapi Ibunya dan melahap beberapa sendok nasi secara terburu-buru ke dalam mulutnya sendiri, Lia bergegas untuk berangkat kembali.
Pempers sudah di ganti, obat pun sudah di minum. Lia dapat bernapas lega dan segera berangkat kembali ke kantornya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 12.45. Kalau dia tidak segera berangkat, bisa-bisa dia terlambat.
“Bu, Lia berangkat…” Teriak Lia sambil berlari menuju teras rumah nya.
Jalanan siang itu sangat ramai dan entah kenapa, Lia selalu mendapati lampu lalu lintas berwarna merah, padahal waktunya sudah tak banyak lagi.
“Ya Tuhan.. bisa-bisa aku terlambat ini.” Gumam Lia.
Setelah memarkirkan motornya, dengan terburu-buru Lia berlari masuk ke dalam ruang kerjanya. Karena fokusnya melihat jam di pergelangan tangannya, Lia tak sadar jika di depannya ada orang yang juga sedang berjalan dan akhirnya mereka bertubrukan.
“Ahhh…" pekik Lia.
“Kamu lagi…” Desis Pak Revan. Matanya memicing memperhatikan Lia.
“Maaf Pak, maaf…”
“Sudah jam 1 lebih lima menit. Kamu terlambat Lia!” Ucap Pak Revan tegas.
“I.. iya, maaf pak. Tadi jalanan macet sekali.” Lia berulangkali menundukkan kepalanya seraya berjalan cepat menuju ruang kerjanya.
Setelah sampai di kubikel nya, barulah Lia bisa bernapas lega dan merasa tenang.
***
“Halo, Mas Sandy.”
“Iya, kenapa Li. Mas lagi sibuk banget ini!”
Lia menghela napas. Setelah sekian lama mereka tidak saling bertukar kabar, baru saja lia menghubungi, kakaknya sudah bilang sibuk. Kesal sekali rasanya.
Kalau tidak terpaksa, Lia juga enggan menelpon duluan.
“Mas, Ibu kayaknya kangen itu. Kapan kalian datang jenguk ibu?”
“Nanti ya, kalau anak-anak libur sekolah. Sudah dulu…”
“Tunggu dulu!” Bentak Lia kesal, dia bahkan belum mengutarakan niatnya menelpon.
“Mas, aku butuh uang. Obat ibu sudah hampir habis. Gajiku bulan ini tinggal tersisa untuk makan saja. Kalau bisa mas Sandy kirim uang buat bantu aku beli obat.”
“Iya, nanti kalau ada aku kirim.” Ucapnya acuh.
“Nanti nya kapan? Obat ibu tinggal buat sehari besok.” Lia makin gencar bertanya.
“Dikira nyari duit gampang apa?” bentak kakaknya dari sebrang telpon.
“Aku nggak minta banyak mas, cuma lima ratus ribu aja!”
“Iya, tunggu aja! Tut… tut…”
“Brengsek!” kesal Lia yang mulai naik pitam.
Dengan kesal lia mulai membuka kontak telpon di ponselnya lalu mulai menghubungi kakak ke duanya, “halo mas Toni.”
“Aku lagi sibuk, ntar sore aja telpon lagi. Tututut.” Dan sambungan pun terputus.
“Argh!!!!!” Lia berteriak dengan kesal. Untunglah dia sedang berada di halaman belakang kantornya.
Terdapat sebuah lapangan badminton di sini yang sudah jarang di pakai sehingga sepi dan tak ada orang, membuat Lia leluasa berteriak sesuka hatinya untuk meluapkan amarahnya.
“Dasar orang-orang brengsek!!!” Teriak Lia, ingin rasanya dia membanting ponselnya, tapi memikirkan kalau dia sudah tak bisa beli lagi, dia urungkan juga niat buruknya itu.
“Aku cuma minta lima ratus ribu aja kayak yang minta lima ratus juta. Dasar anak nggak ada yang berbakti! sama Ibu sendiri aja pelit nya luar biasa!!!” Lia terus menggerutu sambil menatap wajahnya yang terpantul di layar ponselnya yang mati.
Akhirnya dengan menghela napas putus asa, Lia putuskan untuk menjual anting emasnya. Satu-satunya perhiasan yang masih dia miliki.
“Nggak apa-apa Lia. Kalau ada rejeki bisa beli lagi lain hari.” Gumamnya mencoba menghibur dirinya sendiri sambil melepaskan anting yang menempel di kedua telinganya.
Sore nanti sepulang kerja dia akan jual anting ini sehingga besok bisa dia gunakan untuk membeli obat. Lia tak mungkin mengharapkan keajaiban bakal di bantu oleh dua kakanya yang egois. Sudah habis kesabaran Lia. Dia tak peduli lagi pada mereka berdua.
“Lihat saja nanti, suatu hari nanti, aku benar-benar nggak akan peduli pada kalian berdua! Dasar brengsek!!” geram Lia sambil terus mengumpat pelan dan berjalan masuk menuju ruang kerjanya.
Tanpa Lia sadari, tak jauh dari tempatnya duduk, Pak Revan terus memperhatikannya sambil menggelengkan kepala heran dengan tingkah karyawannya.
"Ku pikir dia pendiam, ternyata bisa ngomong kasar juga..."
Dia melempar puntung rokoknya yang tinggal separoh dan menginjaknya, lalu berjalan masuk menuju ruang kerja nya. Pekerjaannya masih sangat banyak
‘Terima kasih.’07.57.“Huft…” Lia menghela napas lega. Lagi-lagi dia baru sampai di kantor pas sudah mepet waktu masuk.“Nggak apa lah, yang penting nggak terlambat,” ucapnya lirih.“Masuk jam segini namanya terlambat Lia!”Amalia melonjak kaget saat mendengar suara baritone yang begitu dekat di telinganya. Secara reflek dia membalikkan badan dan wajahnya menubruk dada bidang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.“Ma.. maaf Pak Revan…”Revan mendengus kesal, “kamu itu harusnya sudah standby minimal pukul 07.45. Lima belas menit sebelum jam kerja!”“I.. iya Pak. Maaf…” Amalia membungkuk berulang kali sambil berjalan pelan menjauhi Revan menuju ruang kerja nya.‘Terima kasih.’Amalia langsung berbali
"Jadi saya menempati rumah ini?” Tanya Revan pada salah satu staf keuangan yang tadi memanggilnya. “Iya Pak, jadi semua Branch Manager yang bertugas, di sewakan rumah oleh perusahaan. Semua akomodasi di biayai oleh perusahaan termasuk mobil inventaris.” “Saya sudah ada mobil sendiri.” “Kalau ada mobil sendiri, berarti nanti perhitungannya perusahaan akan membayar sewa tiap bulannya untuk mobil yang Pak Revan kendarai.” “Oh begitu, oke terimakasih. Nanti malam saya akan mulai pindah ke rumah ini.” “Baik Pak, ini kunci rumah beserta alamat rumah Pak Revan.” Revan menerima kunci rumah barunya. Memang Revan berniat mencari rumah untuk di sewa karena dia masih baru di kota ini dan tak punya tempat tinggal. Selama hampir seminggu dia menginap di hotel yang dekat dengan kantor. “Kamu itu sebenernya butuh uang terus buat apa sih? Be
"Hallo Jamal? Ada apaan?" Revan yang tengah sibuk berbenah di rumah sewaan inventaris kantornya, sedikit kesal sebenarnya mendapatkan telpon dari anak buahnya di luar jam kerja. "Pak Revan di mana? Kita lagi bikin pesta penyambutan buat Pak Revan," ucap Jamal dari seberang. "Pesta?" "Iya, semua sales dan staff admin sudah kumpul semua Pak, Pak Revan bisa datang kan?" "Di mana?" Revan menatap isi rumahnya yang tak terlalu berantakan, ya dia kan hanya membawa satu koper berisi pakaian saja karena semua perabot sudah tersedia dengan lengkap. Revan berpikir sejenak, apakah dia akan datang ke acara itu atau tidak. Sebenarnya dia tak suka keramaian, dia selalu menjauhi pesta-pesta atau ke klub saat di ajak Asti dulu. Mungkin bagi Asti, Revan adalah suami yang membosankan, makanya dia mencari hiburan dengan lelaki lain. "Sial!" Umpat Revan, kesal
Amalia menatap ponselnya yang sudah mati sambil tersenyum.Dia senang karena Pak Revan menelpon dan menyuruhnya datang walaupun ya, dia tak akan mungkin datang.Dia tak pernah datang ke acara kantor yang dilaksanakan setelah jam kerja karena dia tak bisa meninggalkan Ibu lebih lama. Dia tak mau Ibu merasa kesepian, karena orang yang sedang sakit ditambah merasa kesepian itu pasti merasa sangat sedih.Dan jika Ibu nya merasa sedih, akan sulit bagi Amalia untuk menghiburnya nanti.Tak bisa di pungkiri, dalam hati Lia, dia ingin sekali datang ke acara itu. Dia ingin bertemu dengan Pak Revan yang ganteng, walaupun mungkin Pak Revan nggak akan melirik dirinya, si perawan tua.Amalia tersenyum sendiri.
"Rita, pulang kerja nanti temani aku ke mall yuk," Novi mendekati temannya, Rita, admin penjualan yang bertugas mencetak nota penjualan tiap harinya.Rita yang masih tampak sibuk, enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Printer yang ada di sampingnya terus berbunyi dan mengeluarkan nota-nota yang berhasil dia buat."Rita!!" Novi kesal karena dicuekin, dia pun memukul meja kerja Rita."Iyalah cerewet! Aku lagi sibuk ini!" Balas Rita tanpa memandangi temannya."Ngapain sih ke mall?! Pulang kerja bukannya pulang ke rumah ketemu anak, malah mau jalan-jalan!"Rita dan Novi memang berteman sangat dekat, hingga Novi tak pernah marah saat Rita bicara ketus padanya."Anakku juga butuh ayah baru kan? Ini Ibunya lagi usaha…" Novi tersenyum riang sambil kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan meja kerja Rita.Rita hanya menggelengkan kepala
"Nggak boleh! Ada orang minta tolong, aku harus bantu!" Dengan membulatkan tekad, Lia melaju menerobos gang gelap itu. Lampu motornya dia tunjukkan ke arah suara minta tolong, dan benar saja ada dua orang lelaki yang tampak mabuk sedang mengganggu seorang wanita. Dan Lia mengenal wanita itu, itu teman kantornya. Walaupun beda divisi tapi Lia tahu dia. Dengan mengumpulkan keberanian, Lia menjalankan motornya dengan kencang dan menyerempet salah seorang pemabuk hingga jatuh, "ayo cepat naik!" Teriaknya. Si wanita yang minta tolong tadi, dengan tergesa-gesa menaiki motor Lia, lalu setelah itu Lia memacu motornya dengan cepat dan meninggalkan gang gelap itu. "Makasih banget ya…" si wanita yang ditolong Lia terus
“Permisi...” Anita masuk ke ruang admin di jam istirahat di hari berikutnya. “Hari ini kamu juga pulang Lia?” tanyanya saat melihat Lia masih sibuk di meja kerjanya. “Iya Nit, jam berapa ini? Kok kamu udah mau istirahat aja.” Lia masih sibuk mengetik tanpa memperhatikan jam. Hari ini Novi berangkat meeting ke Semarang bersama Pak Revan, dan tagihannya belum beres sama sekali. Padahal Pak Revan sudah wanti-wanti agar dia menyelesaikan pekerjaannya, tapi Novi memang nggak bisa bekerja dengan cepat, orangnya terlalu santai. Akhirnya semua beban kerja nya diambil alih oleh Lia selama dua hari ini. “Aku kan meeting juga demi gantiin kamu, jadi pekerjaan ini juga kamu harus bantuin kan. Itu baru adil namanya,” uca
“Kamu sudah cetak email yang dikirim kantor pusat kemarin? Hari ini isi email itu akan dibahas dalam meeting,” tanya Revan, tatapannya tetap fokus ke arah depan, memperhatikan jalan.“Sudah Pak, sudah saya siapkan semuanya di dalam tas,” jawab Novi ketus. Dia masih kesal atas kejadian barusan. Maksudnya apa sih Pak Revan itu? Novi pikir Pak Revan mengajaknya ke Hotel untuk beristirahat sejenak dan bersenang-senang. Ternyata malah dia meninggalkannya di sana seorang diri.Tentu saja Novi langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke Hotel besar tadi. Buat apa dia kesana kalau hanya seorang diri!Ternyata Pak Revan lebih sulit dari yang dibayangkan oleh Novi. Novi pikir Pak Revan akan sama dengan pria-pria yang dikenalnya, yang dengan mudah di dapatkan hatinya h