Share

DURI DI PAGI HARI

Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan.

Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.

“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.

“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran.

“Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangannya? Palingan ... aku cuma akan membuat mereka tidur sepanjang malam di teras, kok.” Aku membalas Kak Amara penuh kemenangan.

Sebuah jitakan mendarat di kepalaku diiringi derai tawa mereka, tak terkecuali Kak Raihan yang semenjak kepergian Saskia terlihat banyak pikiran.

Menjelang sore, Nadin dan Vino dibawa ayahnya ke bagian administrasi. Sudah waktunya kami pulang. Aku membereskan perlengkapan bayi dan membawanya lebih dulu ke parkiran. Ibu mengantar Kak Amara ke poli anak untuk pemeriksaan terakhir.

Setengah hari berada di rumah sakit bersama keluarga dan si kecil membuatku menyingkirkan sejenak pemikiran ekstrem yang mampir tiba-tiba. Namun ketika sendirian seperti ini, aku merasa Kak Raihan memang tengah memikirkan tawaran Saskia.

Gila saja jika itu benar terjadi. Jika jalannya memang harus begitu, kenapa tidak sejak awal saja mereka menikah? Jangan jadikan balas budi menjadi batu sandungan hubungan cinta mereka. Toh, aku sendiri sama sekali tak menuntut pernikahan terpaksa ini.

Tiba di basement rumah sakit, kakiku enggan melangkah keluar dari lift. Ingin rasanya kembali ke atas menemui Ibu, Kak Amara, atau Kak Dodi. Berdua saja dengan Kak Raihan sepertinya bukan ide bagus.

“Sa, kamu apa di situ?” tanya Kak Raihan yang tiba-tiba sudah berada di hadapanku menahan pintu lift yang hampir tertutup.

“Ah, eh, enggak ngapa-apa, Kak. Aku mau balik lagi ke atas. Baju si kecil ada yang ketinggalan.” Aku mengangguk mantap saat dengan gagapnya aku membuat alasan.

“Kan bisa ditelepon saja, jadi kamu nggak susah bolak-balik begitu.”

Dasar Nissa bodoh! Kalau mau cari alasan harusnya yang masuk akal. Ini sih namanya mempermalukan diri sendiri.

"Kamu percaya sama aku, kan?" Wajah Kak Rai terlihat sangat serius saat kami sudah berjalan menuju mobil.

“Apanya?” tanyaku sok polos. Dalam hati aku ingin berteriak kalau aku tidak percaya.

“Permintaan Saskia jangan pernah kamu anggap serius, ya.”

"Tentu saja. Hanya saja ... aku tak percaya pada perempuan itu." Aku memalingkan wajah tepat setelah mengatakan isi hatiku yang sejak pagi mengganggu sekali.

Tak ada jawaban ataupun bantahan. Ada apa ini? Kenapa bisa Kak Raihan tak bereaksi dengan sikap cemburuku yang sangat jelas terlihat? Bahkan, aku sendiri jengah dengan sikapku sekarang.

Sambil menelan ludah aku menoleh ke arah Kak Raihan yang masih saja terdiam. Aku diam-diam memperhatikan kerutan di dahinya yang menandakan ia tengah berpikir keras. Dalam hitungan menit, ekspresi seriusnya berubah seperti semula, lembut.

Aku berusaha tersenyum meyakinkan diriku bahwa yang terjadi hanya godaan semata. Lucu sebenarnya jika teringat pernikahan kami bahkan baru berusia satu hari. 

***

Setelah mengantar Kak Amara dan Kak Dodi ke rumah mereka, kami berniat langsung pulang ke Jakarta. Sayangnya, Ibu tak mau diajak pulang. Beliau bilang, belum puas rasanya jika harus berpisah dengan cucu barunya itu.

Bukan aku tak ingin berlama-lama di sini, tapi dua hari lagi aku harus bersiap kembali ke kampus. Lusa juga Kak Raihan sudah mulai masuk kerja.

“Kamu pulang duluan saja sama Raihan. Lagian, kalian ini kan pengantin baru. Harusnya kalian senang dibiarkan berdua saja di rumah seperti ini.”

Ucapan Ibu sama sekali tak membuatku tersenyum. Hanya Kak Raihan yang menanggapi selorohan Ibu dengan tawa kecil dan sedikit bantahan. Tentu saja ia membantah. Bagi kami, hubungan layaknya suami istri itu hanya di atas kertas, bukan ranjang.

“Ya sudah. Lagipula memang sudah seharusnya Ibu menemani Kak Amara setelah persalinan biar bisa adaptasi mengurus dua bocil dan satu malaikat kecilnya.”

Kak Raihan memberi Ibu pelukan sebelum memasuki mobil, sedangkan aku rasanya ingin menangis tersedu. Aku ingin mengadu jika aku tengah dilema dan merasa hanya objek balas budi semata. Harusnya tak seperti ini, bukan?

“Yang bener urus suaminya, ya, Sa. Raihan sekarang bukan kakakmu lagi, tapi suamimu.”

Aku hanya mengangguk dalam diam. Bibirku kelu. Kebahagiaan pernikahan kami hanya berlangsung beberapa jam sebelum Saskia datang merusak pagiku. Kalau boleh jujur, bukan Saskia yang membuatku seperti ini, melainkan keterdiaman Kak Raihan yang seolah tengah berpikir keras menerima tawaran Saskia yang gila.

Bisa saja Kak Rai mendiskusikan padaku jika memang tengah memikirkan cara menolak Saskia tanpa merusak kariernya. Namun, hal ini sangat tidak bisa dinalar.

“Kamu kenapa?” tanya Kak Raihan saat mobil sudah membelah jalanan Bandung di malam hari.

“Nggak pa-pa, Kak. Emangnya aku kenapa?” tanyaku balik. Aku mencoba seceria mungkin.

“Ada yang beda setelah kedatangan Saskia kemarin. Kamu masih mikirin kata-kata dia, ya?”

Aku diam. Bukankah dirinya yang masih menimbang tawaran Saskia? Kenapa malah menunjukkan jari kepadaku? Aneh.

“Sa, Saskia itu bukan tipe yang bisa dilawan secara kasar dan frontal. Ada tahap yang perlu dipikirkan sebelum menolak segala keinginannya. Kekuasaannya sendiri bahkan bisa membuat setengah dari Kota Bandung ini bertekuk lutut di kakinya.”

Aku masih terdiam. Tak ada alasan untukku menjawab. Biar saja Kak Raihan yang berpikir sesuka hatinya. Toh, cepat atau lambat, Saskia memang akan menjadi istrinya.

Jalanan yang terlihat kelam menjadi saksi atas kebisuanku. Tak ada kehangatan yang kemarin kurasakan. Entah bagaimana Kak Raihan seolah berubah dingin dan tak ingin terjamah. Andai semua ini memang benar karena wasiat Ayah, tentu aku akan membuat Kak Raihan menceraikanku saat ini juga. Tapi, bagaimanapun aku hanya seorang mahasiswi tingkat akhir yang bahkan belum mengerti dunia orang dewasa.

Ting! Sebuah pesan masuk dari Dina mengalihkan perhatianku. Ada dua pesan masuk di grup dan satu pesan dari nomor tak dikenal.

Dina mengabarkan jika hari Selasa besok, dosen pembimbing skripsi mewajibkan kami untuk kumpul. Sementara nomor tak dikenal itu berisikan kalimat tanya singkat yang kuhapal betul milik siapa.

[Kamu apa kabar?]

Dalam hitungan detik aku memblokir nomor dan menghapus pesan darinya. Satu-satunya lelaki yang bisa memberiku senyum dalam hitungan detik. Dulu. Saat ini, aku tak ingin menjadi pihak yang disalahkan. Biar saja Kak Raihan yang menjadi antagonisnya.

“Siapa?” tanya Kak Raihan yang mungkin penasaran melihatku sibuk dengan chat.

“Dina. Dia ngabarin kalau Selasa nanti kami harus ketemu dosen pembimbing.”

“Ooooh! Kalau begitu, sebentar lagi kamu sidang, ya? Kalau sudah ada jadwalnya, kamu bilang padaku, ya.”

Lagi-lagi hening melanda. Untuk mengusir kantuk dan kebosanan, aku melihat-lihat sosial media di handphone. Begitu masuk akun, aku melihat Saskia yang tengah streaming dan sudah dipenuhi oleh ratusan komentar dan ribuan like.

Namun, komentar-komentar itu seolah menyudutkan orang lain. Wanita pengganggu hubungan orang, gadis tak laku, perebut pacar orang, bahkan perempuan sial. Penasaran dengan topik yang dibahas Saskia, aku membesarkan volumenya.

Betapa terkejutnya aku mendengar cacian langsung dari mulut Saskia untuk wanita berinisial “R”. Tak perlu orang ahli untung menjadi penerjemah bahasa kasar Saskia dan pengikutnya. Mereka membicarakanku. Bukan lagi di belakang, tapi di depan orangnya langsung.

“Sial!” Aku mengumpat pelan supaya tak terdengar Kak Raihan.

Lihat saja, besok aku akan maju lebih dulu. Jika Kak Raihan tidak ada inisiatif untuk menolak, maka aku yang akan melabraknya. Persetan dengan kekuasaan ayahnya. Kami sama-sama makan nasi, menghirup udara yang sama juga. Hanya uang yang menjadi nilai tambah di hidupnya. Terlahir sebagai keluarga kaya raya tentu membuatnya tak tahu diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status