Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia.
"Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain.
Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya.
"Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya.
"Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.
Angela segera bangkit dari ranjang. Ia meraih lingerie hitam yang tadi malam ia kenakan, lingerie itu terpulai di lantai karena Darren yang melemparnya ke sembarang arah semalam. Ah, Darren, mau kemana dia? Pikir Angela, langkahnya terayun cepat menuju ruang ganti. Tercium wangi parfum Darren yang menyeruak di ruangan itu. Sepasang netra Angela menemukan Darren yang sedang berdiri di depan cermin riasnya. Pria itu tampak sudah berpakaian rapi seperti akan berangkat ke kantor. Angela segera mendekatinya. "Sayang, apakah kau akan pergi ke kantor sepagi ini?" tanya Angela sembari mendekap tubuh Darren dari belakangnya. Kedua tangan mungilnya melingkar hingga dada bidang kekasihnya itu. Darren hanya tersenyum tipis. "Ya, Angela. Aku harus segera pergi sekarang. Ada meeting penting di kantor, aku tak ingin terlambat." Darren menaruh botol parfum mahal miliknya pada meja rias di depannya. Dia mengamati penampilannya dengan
Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. ~Tere Liye *** Hari mulai gelap, Darren menatap pada arlojinya yang sudah menujukkan pukul tujuh malam. Mereka masih berada di resto dimana Darren mengajak Xavia untuk dinner. Pandangan Darren tertuju pada Xavia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, sedari tadi Darren merasa tak dianggap sama sekali. Dinner yang sangat buruk! Darren mengendurkan ikatan dasinya sembari bersandar pada bangku yang ia duduki. Sepasang netranya menoleh pada meja yang ada di sebelahnya. Tampak sepasang kekasih yang sedang menikmati dinner. Namun sangat berbeda dengannya, pasangan itu tampak sangat mesra sembari saling menyuapi satu sama lain, dan sesekali tertawa kecil pula bersamaan. Sial! Darren benar-benar kesal kali ini. Seumur hidupnya dirinya tak pernah berada pada situasi menyebalkan seperti sekaran
Di antara miliaran manusia, pasti Tuhan memiliki alasan mengapa kau dan aku dipertemukan. ~ Perahu Kertas ~ *** "Lepaskan, Darren!" Xavia berontak berusaha melepaskan dirinya. "Xavia, katakan padaku dulu. Kenapa kau bersikap dingin padaku? Aku yakin, ini bukan karena teman lamamu tadi, kan?" Darren menatap Xavia dengan lembut tanpa mengendurkan dekapannya atas tubuh sintal gadis itu. Xavia terdiam sejenak, dia memalingkan wajahnya dari pria di bawahnya itu. "Xavia, kumohon katakan. Aku paling tak suka dibeginikan oleh seorang gadis," lanjut Darren masih menatap Xavia sembari menikmati aroma wewangian yang ditimbulkan dari tubuh dan rambut panjang gadis itu. Xavia membasahi bibirnya lalu berkata, "Kenapa kau tak katakan padaku, jika kau sudah memiliki seorang kekasih, Darren." Xavia memasang wajah kesalnya. Darren membulatnya matanya lalu menelan salivanya dengan kasar. Tangannya mulai mengendur dari tubuh Xavia. Keduanya pu
Menjalin hubungan bukan berarti tanpa ada pertengkaran. Kita bertengkar, tapi setelah itu kita saling memaafkan dan mencintai satu sama lain, lebih dari sebelumnya.. (Quote) *** Xavia terjaga dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, netranya terasa sangat perih dan sembab, mungkin karena dirinya menangis semalaman sampai akhirnya tertidur. Pupilnya samar-samar menatap pada jam besar yang berdiri di sudut kamarnya. Jarum pendek jam itu menunjuk angka empat, sedang jarum panjangnya hampir menunjuk angka enam, namun belum sempurna. Xavia segera bangkit dan duduk di tengah ranjangnya. Dia menetralkan tubuhnya dan mengingat apa saja yang telah terjadi sebelum akhirnya dia tertidur dengan bantalnya yang dibasahi air mata. Xavia menghela napas panjang, ya, dia mengingat semuanya. Termasuk sikap plin-plan Darren yang membuatnya sangat kesal. Ah, Xavia segera turun dari ranjangnya lantas berjalan menuju kamar m
Aku hanyalah kunang-kunang, dan kau hanyalah senja, dalam gelap kita berbagi, dalam gelap kita abadi. ~ LOVE ~ *** Darren semakin mendekatkan wajahnya dan hampir saja dia mencapai ciumannya. Xavia mulai menejamkan matanya, seolah memberi akses untuk Darren atas keinginannya padanya. Hasrat mulai ambil alih, bergelora di antara mereka berdua. Darren maupun Xavia menginginkan satu sama lain. "Ehem!" terdengar seruan seorang wanita. Xavia segera membuka matanya, dia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata Nyonya Hawk yang sedang berjalan menuju mereka, sedang Jeremy masih berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum manis sembari menjepit batang rokoknya di antara jari tengah dan telunjuknya. Sedangkan tangan kirinya menenteng sebuah tote bag. Darren segera memalingkan wajahnya dari tatapan ibunya. Ah, pasti Nyonya Hawk berpikiran yang bukan-bukan tentang dirinya. Kedua pipinya bersemu
Sore yang cerah, tampak Angela yang sedang duduk sendiri di dalam sebuah cafe. Tangan kanannya memegang secangkir espresso dengan pandangan netranya yang asik memandangi lalu lalang jalan di luar sana dari dinding kaca cafe yang ada di samping mejanya. Rupanya dirinya sedang menunggu Nyonya Hawk. Angela sengaja membuat janji temu dengan ibunya Darren lewat rekannya yang kebetulan bekerja sebagai sekertaris Nyonya Hawk. Tujuan Angela ingin bertemu dengan wanita angkuh berdarah Jerman itu semata-mata untuk menjalankan misinya. Ya, besok malam Darren dan Xavia akan bertunangan, Angela bertekad untuk mengagalkan pesta besar itu. Apakah yang akan Angela lakukan, ralat, rencanakan untuk membuat pesta besar yang telah Nyonya Hawk siapkan di hotel bintang lima di Manhattan gagal total. Tentunya dia sudah menyiapkan rencana khusus dan siap diri dengan segala kemungkinan yang akan dihadapinya nanti. Angela segera meletakkan cangkir kopinya dan b