Berita pulangnya Laura ke rumah orangtuanya sampai juga ke telinga Bunda. Entah kata-kata apa yang Abraham rangkai untuk menghipnotis ibunya hingga Bunda datang ke rumah Mama sepagi ini. Belek di mata Laura masih menumpuk sementara Bunda sudah berpakaian rapi dan wangi saat meremas punggung tangannya lembut.
“Bunda sudah dengar semuanya dari Abe. Kalau dia berbuat keterlaluan tolong dimaafkan ya, Sayang. Abe itu terkadang nggak peka dan itu memang kelemahannya.” Bunda memonopoli pembicaraan. “Nggak apa-apa kalau kamu mau di sini untuk sementara waktu, tapi kesehatan tetap nomor satu ya, La. Kasihan Si Kembar.” Laura mengangguk sembari tersenyum. “Nanti bila perlu biar Bunda yang akan menggantikanmu marah ke Abe. Pokoknya masalahmu nggak boleh sampai mempengaruhi suasana hatimu,” tambah Bunda lagi.
“Bunda mau mengerti saja Laura sudah senang kok,” timpal Laura. “Bunda ke sini sama siapa? Naik taksi?”
Bun
Perutnya tiba-tiba terasa lapar. Laura ingin sekali makan sesuatu yang manis dan hangat yang meleleh di mulutnya dalam satu kali gigitan. Baru membayangkannya saja air liur Laura sudah keluar ke mana-mana.Apa ini yang namanya ngidam? Batin Laura.Buru-buru ponsel diraihnya, menekan tombol aplikasi delivery food serta berselancar mencari resto atau depot makanan yang menjual makanan yang ia inginkan. Pintu kamar Laura diketuk seseorang dari luar. Tiba-tiba saja separuh badan Mama muncul dari balik pintu.“Di luar ada Danesh,” kata Mama. “Kayaknya dia bawa sesuatu buat kamu. Temui dulu gih.”Laura beranjak dari atas ranjangnya sembari menyambar sweater sebelum keluar kamar. Tak dipungkiri lagi bahwa kedatangan Danesha pastinya karena suruhan Abraham yang seharian ini memang tidak menghubunginya sama sekali. Laki-laki itu terkadang suka kelewatan kalau sudah sibuk dengan pekerjaannya. Tidak hanya lupa waktu, tapi juga lupa k
Seiring berjalannya waktu perut rata Laura semakin menunjukkan perubahan. Perut ratanya telah berubah lebih membuncit tidak seperti kehamilan pada umumnya. Dokter Jarvis bilang hal itu sangatlah wajar mengingat ada dua orang nyawa manusia di sana. Padahal kandungan Laura baru berjalan lima bulan, tapi dirinya sudah merasa kesusahan membawa badan. Nafsu makannya menjadi berkali-kali lipat serta mengubah badan sintalnya menjadi lebih chubby di beberapa bagian. Perubahan bentuk tubuh yang sedrastis itu terkadang membuat insekuritas dalam diri Laura memuncak. Selama tiga puluh tahun semasa hidupnya Laura tumbuh dengan bentuk tubuh ideal dan sejak ia dinyatakan hamil tiba-tiba saja tubuhnya membengkak secara drastis dan itu membuatnya agak frustasi. Laura sering kali berpikiran tidak pada tempatnya saat melihat perempuan cantik berbadan aduhai lewat disebelahnya.“Kamu mikirin apa sih? Kamu cantik, Laura. Dan kamu sedang mengandung anak-anakku, jadi kecantikanmu selalu berli
Rangkulan Laura di lengan Abraham mengetat. Persiapan yang mereka berdua lakukan sudah matang. Terlalu matang malahan. Bahkan atas saran dari Laura pula, Abraham bahkan telah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk. Namun tidak ada yang sanggup memprediksi bagaimana isi hati manusia. Ketika semua rangkaian tes telah dilakukan selesai dan hasil yang paling ditunggu-tunggu akhirnya diumumkan dalam bentuk lembaran kertas, Abraham tidak bisa menahan lagi bendungan emosinya.“It’s bullshit!!” sergah Abraham penuh emosi. Spontan saja ia menarik kerah snelli laki-laki di depannya dengan tatapan mengintimidasi. “Anda dibayar berapa sama Alana, hah!”“Apa maksud Anda?!” kata dokter itu tidak terima atas tuduhan Abraham. “Saya bisa berbalik melaporkan Anda karena pencemaran nama baik, Dokter Wibisana.”Abraham berdecak lalu melepaskan cengkramannya. Abraham sungguh tidak bisa menerima apa yang tertulis dalam lembaran
Laura menyaksikan dengan kedua matanya pertemuan antara ayah dan anak di rumahnya. Ia hanya menatap ke satu titik betapa bahagianya Oliver saat Abraham mengusap pelan kepala anak itu. Dada Laura berdenyut, terasa ngilu sekali. Perasaannya bercampur aduk jadi satu. Ia juga ikut senang sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Genggaman erat Arabella menyapa punggung tangannya. Adik perempuan Abraham itu seakan memberikan kekuatan untuknya, dan Laura sangat berterima kasih akan hal itu.Percakapan antara keluarga kecil itu terjadi. Abraham mulai terlihat rileks walaupun sesekali matanya yang tajam itu melirik ke arah Laura. Laki-laki itu mengkhawatirkannya. Amat sangat mengkhawatirkannya. Sementara Laura bisa apa? Ia tidak mungkin bisa memberikan senyum setulus yang biasa ia berikan. Laura takut jika hal itu sampai ia lakukan maka pertahanannya sejak tadi akan terbuang sia-sia. Laura tidak ingin menangis. Ia tidak ingin seorang pun melihat airmatanya menetes. Ah … tapi lagi
“Hipertensi?!”Laura diam mematung. Untuk orang normal saja tekanan darah tinggi cukup membahayakan karena bisa mengakibatkan stroke dan penyakit komplikasi lainnya. Sekarang bagaimana bisa seorang perempuan yang tengah hamil terkena penyakit itu? Laura bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti seperti apa bahayanya untuk perempuan hamil. Apa yang salah dengan dirinya? Makanan apa yang terakhir ia makan? Dan kenapa sampai bisa seperti ini? Berbagai pertanyaan berkecambuk dalam pikiran Laura. Tentu saja ia menyalahkan diri. Karena semua tidak mungkin terjadi kalau bukan kelalaiannya.“Kenapa bisa jadi seperti ini?” tanya Abraham.Dokter Jarvis menggeleng. “Belum ada yang menemukan apa penyebabnya, Ab. Kemungkinan karena asupan makanan yang tanpa kita sadari terlalu banyak mengandung garam. Hipertensi untuk ibu hamil memang berbahaya, tapi untung cepat diketahui.”Kembali Laura tidak menyahut. Ia hanya meremas tangan Frey
“Kamu berani menamparku?!”“Perempuan jalang sepertimu memang pantas menerimanya.”Tatapan nyalang penuh amarah sekaligus kebencian terpancar di wajah Alana. Alana tampak tidak terima ditampar dihadapan banyak orang yang notabene dikenalnya dengan amat baik. Perempuan itu mengibas rambut panjangnya dengan angkuh. Ia mendekati Laura dan hendak membalas tamparan yang membuatnya malu setengah mati. Aksi Alana itu tentu dihentikan oleh Abraham yang langsung memasang badannya sendiri—tamparan itu tepat mengenai pipi kirinya.“Minggir, Ab! Urusanku dengannya belum selesai,” kata Alana penuh murka.“Jangan halangi aku, Mas. Akan kurobek mulut berbisanya itu agar perempuan ini sadar dan tahu di mana posisinya. Supaya dia nggak halu sepanjang jalan.”Laura menatap wajah Abraham yang tengah mendekapnya. Sungguh tidak pernah terpikirkan dalam hidup Laura jika tragedi hidupnya akan penuh drama seperti sinet
Tingkepan alias acara tujuh bulanan merupakan prosesi adat masyarakat Jawa yang ditujukan bagi perempuan dengan kehamilan mencapai usia tujuh bulan. Upacara tingkepan sebetulnya mengandung artian ucapan terima kasih, doa serta harapan kepada Tuhan agar segala proses menuju dan sesudah kelahiran berjalan dengan lancar. Namun pada pelaksanaannya, prosesi tingkepan sangat beragam meskipun tujuannya sama. Mulai dari acara siraman sampai acara jualan dawet atau rujak, semua memiliki arti tersendiri. Seharusnya acara tujuh bulanan akan dilakukan di rumah Mama dan tentu saja semua perlengkapan sudah tersedia di sana. Namun tiba-tiba saja Laura menolaknya. Laura bersikeras membujuk Sang Mama untuk membatalkan acara tingkepan itu. Tidak ada alasan yang jelas. Laura sedang tidak ingin bertemu siapapun. Khususnya Abraham. Dua minggu sejak Abraham mengantarnya ke rumah Mama malam itu, tidak sekalipun Laura mau bertemu dengannya. Hampir setiap hari Abraham datang ke rumah Mama, tapi suami Laura
Pasca pengantaran Laura ke rumah Mama malam itu terasa bagaikan di neraka yang Abraham rasakan. Jangankan buat bertemu, mengangkat telepon saja Laura enggan. Satu atau dua hari mungkin masih bisa dibilang wajar, tapi ini? Hampir setiap hari bahkan setiap waktu Abraham selalu menyempatkan diri datang langsung ke rumah Mama dan Laura selalu menolak segala bentuk komunikasi dengannya. Sejenak pikiran Abraham berlari pada percakapan singkatnya dengan Mama mertuanya itu.“Kalian punya masalah apa sampai Laura kembali pulang kemari, Ab. Mama dan Papa bukan mau ikut campur, tapi misalkan ada yang bisa kami berdua lakukan nggak ada salahnya, kan?”Abraham menatap Mama mertuanya itu dalam diam. Biar bagaimanapun masalah yang saat ini tengah ia hadapi dengan Laura biarlah menjadi masalah mereka berdua saja. Setidaknya untuk saat ini sampai Abraham memiliki waktu yang pas untuk menceritakan semuanya.“Mama jujur menaruh curiga, Ab. Masalahnya Laura bahkan