Home / Romansa / Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven! / 102. Kantor Riven, dan Teman Baru Elena

Share

102. Kantor Riven, dan Teman Baru Elena

last update Last Updated: 2025-12-08 21:33:22

Gedung 20 lantai, yang terlihat cukup tinggi, di antara gedung-gedung lainnya. Nyatanya menyimpan banyak kisah asmara.

Termasuk Riven dan Elena. Beberapa karyawan bertanya-tanya, kenapa mereka terlihat lebih berjarak. Padahal sebelumnya, Riven dan Elena bisa dikira sebagai pasangan.

Tingkah Elena masih centil di kantor, bahkan menggoda beberapa karyawan lain juga. Namun, tidak ada tanda-tanda Riven memanggilnya untuk membuat drama.

Seperti saat ini, Elena yang tbelum memiliki pekerjaan dari Riven, berkeliling kantor untuk menyapa karyawan lainnya.

Semenjak aktif di media sosial, Elena mulai mendapat respon positif dari rekan-rekannya di kantor.

Tatapan menggunjing, bahkan rumor-rumor dirinya dengan Riven, perlahan surut. Para karyawan pun bekerja lebih giat, karena Riven menambah bonus bagi siapa pun yang mencapai target.

Mereka terkesan lebih mementingkan urusan mereka sendiri, dari pada memerhatikan Elena.

"Hai Velin, apa kabar, Cantik?" sapa Elena degan mata dikedipkan sebel
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   129. Rumit

    "Berantakan, Jay! Lagi pula kamar ini akan dijadikan gudang! Bersihkan itu semua, atau Opa yang akan membuangnya?!" bentak Ciara. Saat berkunjung ke kediaman sang anak, untuk bertanya mengenai perceraiannya dengan Diana, ia mampir ke kamar Elena. Ciara nendapat kabar dari Riven, kalau Elena juga memutuskan untuk pergi. Sesampainya di kamar Elena, ia mendapati cucunya sedang sibuk menempelkan sticky note di dinding dan lemari di kamar Elena. Ciara yang melihatnya seketika kesal, karena merasa Elena sudah mencuci otak Jay. Bagaimana pun, semua masalah datang karena kegatalan Elena. Ciara akan selalu menyalahkan Elena, atas apa yang terjadi pada Riven dan Jay. Ia ingin membuang semua tentang Elena, tanpa melihat lagi bagaimana kondisi anak dan cucunya tanpa wanita itu. Seperti saat ini, ia membentak Jay karena kamar Elena akan dijadikan gudang. Riven juga tidak terlalu meresponnya saat ia datang, membuatnya sangat geram. Jay yang sudah mengepalkan tangan kecilnya karena dibenta

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   129. Dunianya

    "Bagaimana? Senang?" tanya Zalen, saat melihat sang anak menghampirinya dengan raut riang. Di tangannya, sudah terdapat banyak uang hasil meliar. Elena tertawa lepas, lalu menunjukkan uangnya. "Tentu, aku sangat senang, Mami! Aaahhh, rasanya aku hidup lagi!" seru Elena. Zalen mengangguk, ia ikut merasa senang dengan pernyataan dari Elena. Akhirnya, ia ikut menari bersama Elena di tengah-tengah kumpulan manusia yang pikirannya sudah melayang. Bahkan, keduanya tidak segan menunjukkan tarian yang sangat sensual, pada para pria dan wanita di sana. Hingga mereka tenggelam dalam musik yang semakin kencang, ketika waktu semakin malam. Zalen dan Elena meliukkan tubuh, sesuai dengan irama musik yang memekakkan telinga. Minuman terangkat dari gelas-gelas para pengunjung, sesekali terdengar dentingan antar gelas dan tawa mereka. Hingga satu jam setelah tengah malam, beberapa pengunjung mulai tumbang. Ditopang, dan dibawa oleh teman-teman atau pasangan mereka sendiri. Entah ke kamar yan

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   128. Bangkit Perlahan

    Dengan kacamata anti radiasinya, Elena duduk tegak di atas kursi kebesaran milik sang ibu. Matanya menyorot tajam, pada lima layar monitor di hadapannya, yang sama-sama menunjukkan bukti atas kejahatan Orion dan Diana. Semenjak kecelakaan, Orion juga mulai jarang menerornya. Mungkin, karena tau Elena berada di rumah Zalen. "Jadi, Orion menerorku, dengan memanfaatkan teknologi di Zevellus?" gumam Elena. Ia memijat perlahan keningnya, lalu melirik ke arah ponsel yang sudah retak karena efek kecelakaan saat itu. Wanita itu kemudian meraihnya, lalu mencocokkan informasi yang ia dapatkan, dengan yang diberikan oleh Zalen. Tiba-tiba, terbesit rasa rindu di hatinya pada Jay. Sejujurnya, Elena berpikir kalau Jay bisa saja membencinya nanti. Jay masih anak-anak, yang tidak mampu mencerna dengan baik perkataan orang dewasa, bahkan kondisi yang terjadi di depan matanya. "Kalau nanti kamu sudah paham, apa kamu masih mau memanggilku dengan sebutan Bunda, Jay?" gumamnya lirih. Pikirannya m

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   127. Bertengkar Hebat

    "Tidak bisa, Tuan! Tolong mengerti! Aku bukan bonekamu, dan aku bukan lagi pelayanmu!" jerit Elena. Wajahnya merah, matanya juga berkaca-kaca. Nada suaranya bergetar, sesekali tersentak oleh isakannya sendiri.Riven menghela napas pelan. "Tapi Jay masih membutuhkanmu, Elena," ujarnya berusaha tenang dan tetap lembut. Elena menggeleng, lalu tersenyum miris. "Aku sudah bilang, aku. Bukan. Pelayanmu lagi, Riven Ashborn!" sahutnya penuh penekanan. Ia meraih lagi dua koper miliknya, lalu beranjak pergi. Riven yang berdiri di depannya, ia senggol dengan kasar. Elena sudah keluar dari rumah sakit, dirinya dibawa lebih dulu ke kediaman Riven sekaligus untuk mengambil sisa barangnya di sana. Namun, saat ia ingin pergi, Riven selalu menahannya. Mantan majikannya itu berkata, untuk tetap di sana seraya mengurus Jay. Elena sudah bilang, ia berhenti menjadi pelayan Riven untuk fokus pada hidupnya sendiri. Riven selalu membawa nama Jay untuk menahannya, membuat Elena muak dan risih. Bukan k

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   126. Tetap Harus Pergi

    Elena mengusap tengkuk Riven, yang masih sibuk menangis. "Sudah, Tuan, aku tidak apa-apa," bisiknya. Karena malu dan lelah, Riven kembali duduk di kursinya. Namun, kepalanya masih tertunduk dalam. Ia enggan menatap sang wanita, yang kini terlihat sangat lemah. Biasanya, Elena akan menjadi wanita yang paling ceria, dan orang yang selalu membuat hatinya hangat. Kini, Elena hanya bisa tersenyum lemas padanya. Riven tidak sanggup, rasanya, ia memang tidak pantas menjadi seorang pria untuk wanitanya. Elena dibantu minum oleh Gez, kondisinya sudah jauh lebih baik. Namun, pikirannya masih kacau dengan ingatan malam itu. Saat melihat Jay di gendongan Alan, ia mengode pada pria itu untuk memberikan Jay padanya. Anak itu benar-benar seperti ayahnya. Jay masih menunduk, memainkan jari-jari kecilnya di pangkuan Elena. Elena yang mampu merasakan perasaan sang anak, mengangkat dagu Jay dengan lembut. "Hei, ini Bunda. Jay tidak rindu pada Bunda?" bisiknya bertanya. Jay langsung memecahkan t

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   125. Bunda ....

    Sebelumnya, suasana kamar Elena sangat hening, sampai Jay datang bersama Jelia dan Deo. Dengan plester penurun panas di keningnya, Jay digendong oleh Deo. Bibirnya mencebik, wajahnya merah karena menahan tangisan. Tangannya lalu terangkat ke udara, meremasnya seolah ingin menggapai Elena yang madih terbaring tidak sadarkan diri. "Bunda?" gumam Jay, matanya mulai berkaca-kaca, dengan hidung yang kembang-kempis. Punggungnya ditepuk, saat ia akan memecahkan tangisannya. "Jangan menangis, Tuan Muda," bisik Deo. Jay menahannya lagi, bahkan saat berada di pangkuan Riven. Ia enggan mengeluarkan tangisannya, karena melihat sang ayah yang juga sangat lemas. Riven seperti kehilangan semangat hidupnya. Sorot matanya kosong, dengan kantung mata yang menghitam. Wajahnya sangat lusuh, bahunya juga turun dan pakaiannya berantakan. Ia tidak memikirkan lagi penampilannya, bahkan perusahaan. Anak-anak buah Herez, dan bahkan Herez sendiri yang memimpin perusahaan. Menggantikan Riven yang belum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status