Pukul 03.30 pagi, Khansa mengucek bola mata kantuknya dan berusaha men-charge ponselnya yang mati sejak semalam tadi. Meninggalkan ponselnya yang sudah ia nyalakan, segera Khansa beranjak ke kamar mandi.
Ponsel dengan data seluler yang belum mati terdengar mengeluarkan bunyi notifikasi berkali-kali. Ini aneh, Khansa terbilang jarang mendapat banyak notifikasi atau bahkan chat. Ia selalu menyembunyikan akunnya itu, hanya beberapa orang saja temannya yang tau akun atau kontaknya. Terlampau penasaran, Khansa pun kembali dan mencoba melihat apa isi ponselnya.
Mata Khansa terbeliak kala melihat apa yang ada di ponselnya. Ia pun melempar ponselnya ke atas kasur membiarkan ratusan notifikasi menggetarkan ponselnya. Semu tidak percaya, ia pun menjerit sebentar kemudian menutup mulutnya itu dengan t
Leo selesai berbenah, kemudian bersiap masuk mobil bersama barang-barangnya. Meski sedikit berat hati karena meninggalkan Bibinya, Leo tetap memaksakan untuk pergi. Ada alasan lain kenapa Leo memutuskan untuk tinggal bersama Ayahnya."Sudah siap berangkat?" tanya Fira sambil menghampiri Keponakannya itu.Leo mengangguk. "Terimakasih Bi, karena selama ini sudah mau merawat Leo. Maaf merepotkan Bibi," ujar Leo pada Bibinya yang sudah ia anggap orang tua sendiri."Leo." Fira memegang pundak Leo, "kau mengingatkanku pada Adrian. Lagipula Bibi banyak berhutang budi dengan Kak Arlin, sudah seharusnya Bibi merawatmu," balas Fira."Jangan Khawatir, Leo pasti sering mengunjungi Bibi," lanjut Leo.Fira tersenyum. "Gapapa, lagipula Pamanmu sama Adrian datang bulan ini.""Syukurlah, sampaikan salam Leo pada mereka. Nanti Leo kembali kesini dan mengunjungi mereka."Kem
"Sebenarnya dulu sempat saya ingin berbicara ini padamu. Hanya saja, umurmu belum cukup untuk mengerti. Mungkin sekarang, kau sudah bisa mengerti semuanya," jelas Jaka."Sebenarnya apa yang ingin anda bicarakan?"Jaka terdiam sesaat. Angin sepoi pun datang yang sejuknya meresapi kulit dua insan yang tengah duduk di kursi taman itu. Membuat bulu-bulu pergelangan tangan Leo berdiri. Leo merasakannya, perasaan yang was-was pasti melanda dirinya setelah mendengar pembahasan mengenai pembunuhan keluarganya."Menurutmu, kategori apa kasus yang menimpa keluargamu dulu?" Jaka membuka perbincangan dengan pertanyaan serius.Leo berfikir dan berusaha mengingat kembali ingatannya. "Ini semacam.., pembunuhan yang dilatarbelakangi perampokan," jawab Leo.Mendengar pernyataan Leo, Jaka terlihat menghela nafas panjang. "Berdasarkan penyelidikan yang saya lakukan, perampokan yang terjadi pada keluargamu bu
Khansa hanya menunduk malu sambil duduk di ranjang kamarnya. Mendapati orang yang ada di sampingnya kali ini adalah Leo."Em, makasih lagi. Kata Bi Arin, kamu kemarin nolong aku," ucap Khansa memecah keheningan."Bagaimana keadaanmu?"Khansa menarik-narik selimutnya dan berbuat salah tingkah. "Ya, seperti biasa, baik baik ajah."Leo memicingkan matanya. "Pingsan dengan hidung berdarah, apa menurutmu itu baik-baik saja?""Ih gak percayaan banget deh. Itu tuh cuma mimisan biasa doang," tukas Khansa.Leo menganggukan kepalanya. "Yah, aku mengerti. Kau tidak ingin
"A-ar-lin-da..."Leo membeliakan matanya. Ayahnya mengigaukan mendiang Ibunya? Apakah ini artinya Antonio masih mencintai Arlinda? Lalu kenapa Antonio tega berkhianat sampai selingkuh dengan Riana?Leo memejamkan matanya kuat-kuat. Masalah ini sangatlah berbelit untuk difahami. Leo benar-benar tidak mengerti dengan keadaan yang sebenarnya. Mulai dari mana ia harus memecahkan misterinya itu?Apa mungkin desain kamar yang Leo tempati itu sengaja dibuat mengikuti kesukaan Arlinda supaya Antonio senantiasa mengingat sosok mendiang istrinya itu?Leo mulai melemah, ia pun menyandarkan bahunya pada dinding sambil terus memperhatikan Ayahnya itu. Kondisi Leo kali ini mudah lelah dikarenakan otaknya selalu dipakai berfikir keras akhir-akhir ini.Tak lama kemudian, ponsel Leo berdering. Diraihnya, ternyata masuk sebuah pesan singkat yang sukses membuat Leo kembali terkejut.
Leo dan ketiga temannya kembali lagi ke Rumah Sakit Senja Biru, tempat yang sama dengan dirawatnya Antonio. Disana mereka sempat betemu dengan Fira yang sedang mencari Yumna disana."Leo? Kenapa tanganmu diperban? Kau terluka? Muka kamu juga kenapa?"Deretan pertanyaan dilontarkan Fira saat Leo datang menghampirinya."Kenapa tangannmu? Sepertinya kelihatan parah, apa yang sebenarnya terjadi?""Gini Bi, jadi si Leo itu uda---awwwhh sakit anjir!" Aditia yang hendak menjawab pertanyaan Fira akhirnya tertunda karena Leo mengijak kakinya sebagai isyarat untuk bungkam.Leo mendelik pada Aditia kemudian kembali menoleh pada Bibinya. "Ini bukan apa-apa Bi, hanya luka karena terjatuh saja tadi.""Kamu yakin? Tapi muka kamu lebam gitu, kamu yakin cuma jatuh? Kamu gak berantem 'kan?" Fira sedikit tidak percaya dengan pernyataan Keponakannya setelah melihat beberapa bekas merah dan biru memenuhi
"Tuan!" seru supir pribadi Riana saat Leo keluar mobil dan hendak masuk ke dalam rumah. Remaja itu hanya menoleh tanpa menyahut seruan itu."Ini handphonenya Juragan, tadi Bu Riana nitip sama saya. Tapi kalo dipikir lagi, mending saya kasih aja sama Tuan," ujar pria berumur empat puluh tahunan itu.Leo menerima ponsel yang diserahkan supir Riana. Tanpa basa-basi, Leo segera masuk menuju kamarnya karena lukanya membuatnya kian terkurai lemas. Maka ia istirahatkan lukanya itu dan terlelap tidur dengan tangan yang masih memegang ponsel milik Ayahnya.Leo memejamkan mata. Meski demikian, pikirannya melayang-layang memikirkan solusi dari masalah yang menimpa ia dan keluarganya. Namun sebelum ia lelap tertidur, ia pun menyadari sesuatu. Ia teringat dengan posel Antonio yang sekarang dipegangnya.Leo segera bangkit, mungkin ada petunjuk dalam ponsel Ayahnya itu. Terlebih lagi ia teringat akan perbincanga
Leo sudah lama tidak mengunjungi danau tempat dirinya termenung dulu. Melepaskan beban, menenangkan pikiran, dan mengistirahatkan tenaga adalah hal yang didapatkan jika diam disana.Ia terus memikirkan perkataan Jaka sebelum diseret ke kantor polisi."Berpikir logika Leo! Saya mencintai Arlinda, mana mungkin saya membunuh orang yang saya cintai?!"Entah kenapa perkataan Pak Jaka selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Kalo menurut akal dan logika, memang mustahil seseorang membunuh orang yang dicintainya.Tetapi bukti bahwa Jaka ada di tempat terbunuhnya Pak Ilham sudah jelas menunjukan ia pelakunya. Pisau yang dipeganginya juga berlumuran darah. Yang lebih menguatkannya lagi, bagaima
Khansa?!Tanpa pikir panjang, maka buru-buru Leo meninggalkan lapangan dan berlari ke jalanan. Ia yakin, pasti ada petunjuk untuk mengetahui siapa yang menculik Khansa.Tak lama setelah ia sampai ke jalanan. Terlihat sebuah mobil sedan melesat tak jauh dari posisinya sekarang. Leo yakin itu adalah pelakunya, maka ia mengejarnya dengan sekuat tenaga.Dengan nafas terenggal-enggal, Leo mulai kehabisan tenaga.Kekuatan laju mesin berbeda jauh dengan kekuatan lari manusia, sehingga mobil itu kian berjarak dengannya. Tak kehabisan akal, Leo mengingat-ngingat plat nomornya saat mobil semakin meninggalkannya.Bukankah plat nomor itu?"Ck! Jadi dia ingin bermain cerdik denganku?" decak Leo sembari memperhatikan laju mobil yang semakin tidak berbekas.****Ding dongSuara bel rumah Reynal sejak ta