Setelah membalas pesan Devan dengan mengatakan bahwa aku akan ke kantor lebih dulu, bergegas aku memasuki lift yang sudah terbuka. Namun mataku membulat saat membalikkan badan. Devan telah berada di hadapanku dengan salah satu jarinya menekan tombol untuk menutup pintu lift kembali. Devan menatapku lekat. "Kenapa ninggalin aku?" lirihnya. Tatapan matanya begitu tajam dan lekat hingga menghunus manik mataku. "Aku .... untuk menjaga perasaan Kim tentunya," jawabku jujur. Devan bersandar pada dinding lift dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celananya. Tatapannya masih tertuju padaku. "Kamu cemburu?" senyum tipis terbit pada sudut bibirnya yang tipis. "Apaa? ah.. eh ... nggak, nggak kok!" Aku menggeleng cepat. Namun sialnya justru terlihat gugup. Devan kembali mengulum senyum menggodaku. Devan perlahan mendekat. "Mau apa kamu, Dev?" tanyaku seraya melangkah mundur hingga punggungku telah menempel pada dinding lift. Mataku melirik angka pada sisi kiri pintu lift dan b
POV Dewa. Aku tak menyangkan kelakuan Liana seperti ini. Bagai disambar petir di siang bolong, saat mendengar bahwa istri keduaku itu memasukkan sejenis obat penenang ke dalam minuman teh Ibuku. Bagaimana mungkin hal ini bisa aku maafkan. Kesalahan Liana sudah sangat fatal. Ditambah dia memperlakukan ibu dengan kasar. Ini sungguj membuatku kecewa. Ternyata Liana mempunyai sifat asli yang sangat buruk. Andai saja aku tahu kelakuannya seperti ini sejak dulu, aku tidak akan mendekatinya. Aku memang bodoh, mudah sekali tergoda oleh kecantikan dan tubuh seksinya. Padahal jika dilihat-lihat, Zahra jauh lebih cantik. Hanya Zahra tidak pandai merayu atau memancing hasratku. Tapi kenapa sekarang dadaku selalu berdegub kencang setiap bertemu istri pertamaku itu. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya terhadap Zahra. Andai saja ibu tak mencegahku, sudah kuusir Liana dari rumah ini. Sayangnya dia sedang hamil anakku. Tidak mungkin aku mengusir apalagi menceraikannya. Ternyata ibu s
Pov DewaDevan memiliki wajah tampan bak artis eropa, serta hidup yang jauh lebih mapan dariku. Namun tetap saja aku selangkah lebih maju darinya. Zahra sudah menjadi istriku. Dan sampai kapanpun dia akan tetap menjadi istriku. Aku tidak akan pernah menceraikannya. Aku tersenyum lebar. Bagaimanapun juga aku menang dari Devan. Yang harus aku lakukan sekarang adalah mengambil lagi hati Zahra yang sempat aku abaikan. Aku tidak boleh membuatnya justru membenciku. Tunggu Zahra, kamu akan kembali jatuh cinta padaku. Mobilku baru saja terparkir sempurna di area parkir kantor ini Tepat di sebelahku adalah tempat parkir CEO. Aku menyipitkan mata melihat mobil yang mesinnya masih menyala itu terparkir di sana. Mataku melebar ketika tak lama kemudian laki-laki yang tadi aku pikirkan keluar dari mobil sport berwarna biru gelap. Laki-laki itu memutar mobilnya dan membukakan pintu satunya lagi. Mataku lebih melebar lagi melihat istriku keluar dari mobil mewah itu. Ya, hatiku bagai tercabik
Devan, pria yang belakangan ini memporak-porandakan hatiku. Pria yang menghilangkan akal sehatku. Namun pria itu juga yang membuat hari-hariku lebih berwarna. Setiap sikap manisnya selalu membuatku lupa bahwa aku ini adalah seorang wanita yang masih memiliki suami. Kadang aku berpikir mungkin memang seperti itulah sikapnya pada setiap wanita. Dengan segala kerendahan hati aku berusaha menganggap sikap Devan ini adalah hal yang sudah biasa dia lakukan pada teman-teman wanitanya, dan aku harus membuang jauh-jauh rasa manis yang mulai menguasai hatiku. Bagaimanapun juga aku tetap melihat sikap pria tampan dan mapan itu adalah sesuatu yang sangat istimewa. Karena aku belum pernah merasakan rasa manis itu dari suamiku sebelumnya, laki-laki yang seharusnya bisa membuatku bahagia. Laki-laki yang seharusnya membuat hari-hariku menjadi indah. Namun suamiku itu justru menciptakan luka yang menganga dan menghasilkan rasa sakit. Ya, sakit tak berdarah. Sejak ibu mulai berbaik hati memaafkan
Astaga! Sesaat aku melihat sekeliling dan baru tersadar. Devan ternyata memberhentikan mobilnya di tepi jalan tol. Pantas saja petugas itu menghampiri kami. Huh! Untung saja kaca mobil ini gelap. "Maaf, Pak. Tadi istri saya pusing. Maklum sedang hamil," sahut Devan dengan seringainya. Aku melotot pada nya. Eh, dia malah mengedipkan sebelah matanya padaku. "Di depan ada rest area, Pak. Silakan jika ingin beristirahat di sana!" jelas petugas itu sebelum berpamitan meninggalkan kami. Devan kembali menutup kaca dan menyalakan mesin mobil. Spontan kami tertawa mengingat kekonyolan kami barusan. "Kamu sembarangan bilang aku hamil! Awas ucapan itu doa, loh!" aku pura-pura memarahinya. "Kalau begitu, semoga Tuhan mengabulkan doaku." "Eehh . .." jeritku seraya melotot. "Tapi hamilnya sama aku ya!" bisiknya sambil mendekat ke telingaku. "Devaaaaan!" Devan kembali terkekeh mendengar jeritanku dan pasraah ketika lengan atasnya aku pukuli bertubi-tubi. Mobil kembali melaju membelah
"Devaaan ...!" Aku terpekik melihat seseorang memukul Devan dari belakang hingga laki-laki itu meringis kesakitan. "Ivaaaan ...! Jangan ...! Lepasin!" Aku berusaha menarik tubuh Ivan yang terus menghajar Devan dengan membabi buta. Namun tubuh sebesar itu tak akan mungkin sanggup aku menahannya untuk tidak terus memukuli Devan. "Aku dah ingatkan kamu berkali-kali, Dev! Zahra itu punya suami. Tega banget kamu mempermainkan dia!" teriak Ivan berapi-api. Devan tidak melawan. Pria itu hanya berusaha menghindar. Padahal jika mau, aku yakin Devan pasti bisa melawan. Tapi Devan tampak hanya mengalah. Aku tak tega melihatnya terus dipukuli oleh Ivan. Selintas nampak ada cairan berwarna merah di sudut bibirnya. Untunglah ruangan ini tertutup. Hingga suara keributan ini tidak terdengar sampai keluar. "Vaaan, please ... udaah!" Sekuat tenaga aku menarik tubuh Ivan agar menjauh dari Devan.. "Vaaan, Devan nggak sepenuhnya salah. Aku juga meresponnya selama ini. Jadi kamu bisa marahin ak
"Kamu mau bicara apa sih sebenarnya, Mas?" sinisku dengan jantung yang mulai berdetak cepat. Mas Dewa memandang tajam padaku hingga menghunus iris mataku. "Jawab yang jujur! Sudah berapa kali kamu tidur dengan Devan?" "Apaaa?" Sontak aku berdiri. Plaak!! Reflek tanganku menampar wajah tampan menyebalkan yang saat ini berada tepat di hadapanku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang semakin memuncak. Sungguh aku tak terima suamiku sendiri menuduhku serendah itu. Napasku memburu karena detak jantungku yang semakin cepat . Aliran darahku seakan naik hingga ke ubun-ubun. "Kurang ajar!' Mas Dewa sontak berdiri seraya memegang pipinya yang memerah. Sepertinya dia tidak terima karena aku baru saja menamparnya cukup keras. "Mas Dewa keterlaluan. Jangan samakan aku dengam istri barumu itu, Mas!Berbagi ranjang seenaknya sebelum ada ikatan pernikahan!" geramku dengan dada kembang kempis menahan amarah yang meluap-luap. Pria di hadapanku ini menyeringai. "Aku tidak habis pikir dengan Deva
Pintu lift perlahan tertutup. Ingin rasanya menoleh. Tapi aku harus menahan diri. Aku harus menjaga hati dan sikap. Apalagi saat ini kami hanya berdua saja di dalam lift ini. Tarik napas, Zahra! "Kenapa tadi nggak ikut meeting?" Aku terlonjak kala mendengar suara bariton itu. Suara yang membuat jiwaku bergetar di setiap kata yang diucapkannya. Suara yang tanpa kusadari selalu membuatku rindu akan pemiliknya. "Zahra ..." panggilnya lagi karena aku masih bergeming. Tak mungkin aku menjawab pertanyaan atasanku ini dengan cara memunggunginya seperti ini. Yaa, kan? Akhirnya aku putuskan membalikkan badan dan berhadapan dengannya. Tubuhku menegang saat memutar badan, ternyata Devan sedang memandangku dari belakang. Dadaku bergedup kencang. Lagi-lagi debaran tak biasa itu berpacu di dalam jantungku. "Zahra ..." "Iy-iyaaa ...." Aku langsung menunduk. Tak sanggup bertemu mata dengannya. "Kenapa tadi tidak ikut meeting?" Devan mengulang pertanyaannya. Pelan, namun penuh penekanan. "M