"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Aku menghamili Liana, Bu."Apa? Tidak salah dengarkah aku?Dengan gemetar, diam-diam aku terus mendengarkan percakapan Mas Dewa-suamiku dengan ibunya dari balik pintu kamar ini. Bukan maksud ingin menguping. Namun Aku tak tau kalau ada Mas Dewa di dalam saat aku hendak mengambil pakaian kotor ibu di dalam kamarnya."Tega sekali kamu mengkhianati istrimu, Dewa!. Zahra wanita yang baik. Dia tidak hanya mengurusmu, tapi dia juga mengurus ibu yang sedang sakit ini." Jelas terdengar suara Ibu bergetar menahan sesak.Sama sepertiku. Sangat sesak. Bahkan saat ini aku sangat sulit bernapas.Liana adalah sekretaris Mas Dewa di kantor. Wanita itu memang sangat cantik dan menarik. Kebersamaan mereka hingga sering keluar kota, membuat mereka lupa diri. Ya, sebenarnya aku telah lama menduga ada hubungan khusus diantara mereka. Namun karena kesibukanku yang terlalu banyak di rumah, membuatku tak sempat untuk memikirkan hal itu."A
"Zahra, kamar tamu sudah kamu bersihkan?" Tiba-tiba Mas Dewa menghampiriku yang sedang membuat sarapan."Untuk apa, Mas?""Mulai hari ini Liana akan tinggal di sini.""Tapi kalian belum menikah, Mas. Kalau nanti di gerebek warga gimana?""Halah, jangan ngadi-ngadi kamu! Bilang aja kamu cemburu. Nanti kalau ada yang tanya, tinggal jawab aja kalau Liana itu calon istriku," sahutnya seenaknya.Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Terserah dia saja. Semoga aja beneran di gerebek. Sukur-sukur sekalian ada yang viralin. Ya ampun, sakit hati yang kurasakan ini memang bisa merubahku menjadi jahat."Hei, kok malah bengong! Sana bersihin, kasih pewangi ruangan yang banyak!" Aku terlonjak mendengar bentakannya. Belum juga Liana ada di rumah ini, Mas Dewa sudah bentak-bentak aku. Bagaimana jika nanti kami semua seatap.Aku mendengkus kesal. Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis Aku adalah Zahra, wanita kuat. Aku bis
"Ayo masuk Liana, inilah rumahku."Dari ruang tengah ini aku melihat Mas Dewa masuk bersama Liana. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengannya ketika Ibu sedang dirawat di rumah sakit dulu. Saat itu Liana beberapa kali datang menjenguk ibu dengan teman-teman kantor mas Dewa. Wanita itu selalu menjadi pusat perhatian diantara teman-teman kantornya karena penampilannya yang mencolok. Sekretaris Mas Dewa itu selalu berpenampilan seksi dengan riasan wajah yang tebal.Mataku tertuju pada perutnya yang masih rata. Mas Dewa tidak mengatakan berapa bulan Liana hamil. Wanita dengan rambut berwarna kuning keemasan itu memang suka memakai pakaian terbuka. Seperti saat ini. Dress tanpa lengan dengan panjang di atas lutut jelas menampakkan kulit putih mulus serta lekuk tubuh yang menonjol. Sepertinya dia memang sengaja memancing hasrat setiap pria yang memandangnya.Sebelum masuk, Liana memandang sekeliling rumah ini dengan tatapan seakan merendahkan.
Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan.Astaga! ternyata mereka ....Jantungku seolah ingin lepas dari tempatnya. Mas Dewa semakin menjadi-jadi. Dianggap apa aku di sini? Sungguh keterlaluan mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar tetesan bening ini tak jadi turun. Karena mereka memang tak pantas ditangisi.Rambut Liana dan Mas Dewa sangat berantakan. Keringat tampak menetes pada wajah mereka, padahal malam ini cukup dingin. Beberapa kancing daster Liana terpasang tidak sempurna. Sementara Mas Dewa memakai kaos terbalik. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan. Entah kemana akal sehat dua manusia di hadapanku ini."Astaghfirullah, Pak Dewa? Ternyata apa yang dikhawatirkan warga benar-benar terjadi."Wajah Pak Rt tampak gusar. Wajahnya memerah. Mungkin saat ini Pak Rt juga sedang menahan amarah.Sontak ketiga tamu pria paruh baya itu berdiri dan
Aku beranjak dari kamar Ibu, dan mengerjakan aktivitas rutin seperti biasanya. Keadaan rumah sepi. Mas Dewa dan selingkuhannya itu tidak ada. Di kamar tamu juga kosong. Kemanakah mereka? Setelah ke kamar Ibu semalam, aku tak lagi keluar kamar hingga tidak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya pada Mas Dewa.Aku beranjak melangkah ke dapur, mengambil beberapa bahan makanan untuk Ibu, segera kuracik dan memasaknya Ya, mulai hari ini aku hanya memasak untuk Ibu. Biar saja Mas Dewa dan Liana memikirkan perut mereka sendiri. Sedangkan aku nanti bisa makan di luar atau pesan online.Setelah makanan khusus untuk Ibu telah siap, aku kembali ke kamar beliau."Ibu mandi dulu, yuk!"Wanita itu mengangguk. Mata ibu agak bengkak. Wajahnya sedikit sembab. Pasti semalaman ibu menangis.Selama aku membantu ibu mandi hingga berpakaian, wanita itu tidak bicara apa-apa. Padahal aku sudah mengajaknya bicara hal lain. Namun Ibu tak menanggapi.
Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu.Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang."Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama."Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. M