Home / Romansa / Air Mata Rani / Kehamilan Yang Tidak Diinginkan

Share

Kehamilan Yang Tidak Diinginkan

Author: Nafasal
last update Last Updated: 2021-05-17 15:15:31

Sesampainya di rumah Gion segera mengantar Liana masuk ke dalam kamar.

“Papi ... Mami nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanya Vino sambil berlari menuju pada kedua orang tuanya. Gion hanya menganggukkan kepala ke arah Vino, tanda bahwa nanti saja dilanjutkan bicaranya. Vino yang memang termasuk anak cerdas langsung mengerti isyarat yang diberikan Papinya.

Anak kecil itu mengangguk seraya memutar tubuhnya dan berjalan lesu ke tempat semula. Vino anak lima tahun yang dipaksa untuk mengerti kondisi orang dewasa, anak seusianya yang masih butuh kasih sayang lebih dari kedua orang tuanya. Harus belajar untuk tidak bergantung pada Mami Papinya. Apalagi dia seorang anak laki-laki. Ya, begitulah cara Gion mendidik anak sulungnya, penuh dengan ketegasan dan sangat disiplin

🍁🍁🍁

Liana yang saat ini sudah duduk di sudut tempat tidurnya, tiba-tiba berteriak histeris.

“KENAPA AKU HARUS HAMIL? IMPIAN YANG DARI DULU SUDAH AKU DAMBAKAN HARUS TERGANGGU KARENA ANAK SIALAN INI.” Liana terus memukul perutnya berulang kali, Gion yang masih menuang segelas air putih untuknya, terpaksa menghentikan aktivitasnya dan berlari ke arahnya. Gion segera meraih tangannya dan mencoba menenangkannya.

“Hentikan sayang, kamu akan menyakiti dirimu sendiri dan anak kita,” cegah Gion yang mulai mengerti alasan kenapa Liana tidak senang dengan kehamilannya kali ini.

“Kamu nggak ngerti bagaimana posisi ini sudah kudambakan dari dulu, sekarang aku sudah mendapatkan kesempatan ini. Tapi kenapa aku harus hamil?! AKU SAMA SEKALI TIDAK MENGINGINKAN ANAK INI HADIR DALAM PERUTKU,” ucap Liana dengan emosi yang meluap. Matanya menyorot tajam ke sembarang arah, dadanya naik turun akibat napasnya yang memburu.

“Sayang, ini adalah anugerah. Kita harus bersyukur, bisa jadi ini adalah hadiah dari Tuhan atas posisi yang kamu dapatkan saat ini.” Gion mengelus bahu Liana, ia terus berusaha untuk mencoba menenangkan istrinya.

Andai kamu tahu yang sesungguhnya, apa kamu masih menerima bayi ini, Mas? batin Liana kesal.

“TIDAK! Bayi ini justru akan menghambat pekerjaanku. Kamu tidak dengar kata Dokter tadi?! Karena bayi ini aku diharuskan untuk istirahat total!” kilah Liana penuh emosi. Wanita itu tampak terdiam sesaat dan tidak lama kemudian, air mukanya berubah, Ia seperti mendapat ide.

“Bagaimana kalau aku gugurkan saja kandungan ini?” celetuk Liana menatap Gion dengan penuh keyakinan. Kedua sudut bibirnya mengembang dan matanya berbinar, seolah rencananya ini adalah solusi yang terbaik.

“KAMU SUDAH GILA, SAYANG! Aku tidak mau membunuh darah dagingku sendiri. Aku tidak setuju dengan ide konyolmu itu,” sahut Gion yang tampak meradang dengan ide sang istri.

“Kamu memang nggak pernah mengerti bagaimana perasaanku.” Liana mulai terisak. Ia menunduk sambil menatap nanar perutnya yang masih rata.

“Sayang ... Ini tidak seburuk yang kamu bayangkan, aku akan selalu ada di sisimu untuk membantumu. Jadi, enyahkan semua pikiran negatifmu, ya. Anak ini adalah anugerah,” ucap Gion lirih. Namun, terdengar jelas di telinga Liana.

"TIDAK! Sampai kapanpun aku tak akan pernah menerima bayi ini. Bayi ini membawa sial untukku. Aku tak rela jika tubuhku harus mengandung selama sembilan bulan dan melahirkannya. Itu waktu yang cukup lama dan bagaimana bisa aku bekerja dengan profesional jika ada bayi di tubuhku ini. Cukup Vino dan Kinara saja anakku, kamu ingat itu, Mas!” tandas Liana penuh kesal. 

“Sayang, kumohon tenangkan dirimu. Saat ini kamu hanya terbawa emosi. Kamu istirahat dulu, ya. Aku akan menyuruh Bi Tina membuatkan minuman hangat untukmu.” Gion merebahkan tubuh Liana, wanita berparas cantik itu hanya menurut tanpa berniat membantah ucapan suaminya. Ia merasa lelah sekali.

“Sampai kapanpun, aku akan membenci anak ini!” pungkasnya seraya mengalihkan pandangannya dari Gion.

Pria yang memiliki nama lengkap Gion Atmaja itu hanya mengembus napas kasar, Ia berharap dengan istirahat pikiran istrinya akan lebih terbuka dan bisa menerima kehamilan anak ketiga mereka.

🍁🍁🍁

Setelah memastikan bahwa istrinya sudah terlelap, Gion memilih untuk meninggalkan kamar dan beralih ke ruang kerjanya. Ia berdiri menghadap kaca besar yang menampilkan pemandangan malam yang gelap gulita.

Pikirannya menerawang mengingat tentang penolakan istrinya akan kabar kehamilan bayi ketiga mereka. Ia masih tidak habis pikir kenapa istrinya bisa sebegitu bencinya, memang benar posisi yang diterima oleh sang istri adalah impian yang sejak lama sudah wanita itu idam-idamkan sejak awal pernikahan mereka. Tetapi, bukankah terlalu berlebihan kemarahannya kali ini.

Bayi dalam kandungannya bahkan tidak bersalah sama sekali. Lalu, kenapa Liana sangat bersikeras untuk menggugurkannya. Semakin Gion berpikir, semakin pusing kepalanya.

“Kenapa dia sangat membenci kehamilannya? Padahal bayi yang Ia kandung adalah darah dagingnya sendiri, kenapa Ia begitu tega mengatakan hal itu. Semoga setelah Ia bangun dari istirahatnya, pikirannya pun bisa terbuka lebar dan menerima kehamilannya,” gumam Gion mengembus napas berat seraya memijit pelipisnya.

Gion mengalihkan perhatiannya, pandangannya langsung tertuju pada bingkai foto yang berada di atas meja kerjanya. Ia mengambil benda tersebut, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi kayu yang penuh dengan ukiran.

Kenangan enam tahun yang lalu mulai membawanya mengingat momen sakral dalam hidupnya. Ya, foto itu merupakan foto pernikahannya dengan Liana. Gadis cantik yang selalu semangat dalam bekerja itu telah membuatnya jatuh hati, proses penjajakan selama satu tahun membuatnya yakin bahwa Liana memang gadis yang tepat untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. 

Sejak saat itu, Ia ingin selalu membahagiakan wanita yang merupakan belahan jiwanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, Ia tidak akan membuat Liana bersedih bahkan menangis. Namun, hari ini. Semua tampak sangat sulit baginya, kabar kehamilan yang membuatnya bahagia. Nyatanya tidak demikian untuk istrinya.

Rasa dilema mulai mendera batinnya, Ia tidak ingin melihat Liana bersedih yang jelas sangat bertentangan dengan janjinya. Namun, di sisi lain. Ia juga tidak mungkin menyetujui keinginan istrinya untuk menggugurkan kandungannya, kedua matanya memanas. Cairan bening yang mulai menggenang, perlahan mulai menetes membasahi pipinya.

Gion menyeka dengan punggung tangannya, lalu salah satu tangannya mengusap foto itu dengan perlahan. Senyuman tulus yang tercipta dari bibir Liana di foto itu, seolah memberi jawaban untuknya.

“Inilah kamu yang sesungguhnya, aku yakin saat ini kamu hanya meluapkan kekesalanmu saja karena kabar yang mengejutkan ini. Liana yang aku kenal adalah Liana yang selalu mencintai orang di sekelilingnya, begitu juga anak yang kamu kandung saat ini. Aku yakin jauh di dalam lubuk hatimu pasti juga bahagia mendengar kabar bahagia ini.” Gion menjeda kalimatnya. Perasaan yang tadi terasa kalut, perlahan mulai terganti dengan perasaan lega.

“Aku sangat mencintaimu, sayang,” imbuh Gion seraya meletakkan kembali bingkai tersebut ke tempat semula.

Setelah perasaannya membaik, Ia kembali ke kamarnya. Saat ini yang ingin Ia lakukan adalah mencurahkan rasa cintanya kepada sang istri, memberikan dukungan penuh terhadap wanita yang sudah Ia nikahi selama enam tahun itu. 

“Kamu adalah istri terbaik di dunia  ini, sayang,” ucap Gion seraya mengusap lembut kepala sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. 

“Aku harap, saat kamu bangun nanti. Kamu bisa menerima kehamilanmu ini dengan bahagia, aku yakin kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lancar karena aku akan selalu di sisimu untuk menjagamu dan anak-anak kita.” 

Gion kembali menitikkan air mata, entah kenapa hari ini perasaannya begitu melow. Rentetan kejadian hari ini membuatnya sadar, bahwa Tuhan sangat baik kepadanya dan keluarganya. Sejenak Ia menundukkan kepala dan mulai merapalkan kalimat pujian syukur atas karunia yang Ia dapat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Air Mata Rani   Bernasib Sama

    “Baik karena pelajaran telah usai, untuk pertemuan minggu depan kalian siapkan artikel tentang 'Mengenal Pola-Pola Hereditas'. Minggu depan kita diskusi tentang Hereditas,” ucap Bu Yani seraya bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas.“Baik,Bu!” seru teman sekelas Rani sembari membereskan buku dan memasukkannya dalam tas.Semua murid di kelas Rani tampak riuh karena senang telah terbebas dari guru killer yang baru saja mengajar di kelas mereka. Satu per satu siswa mulai meninggalkan kelas, hingga sekarang hanya tersisa Rani dan Mita.Saat kedua gadis itu sedang bercengkerama tiba-tiba datang seorang pemuda berwajah tampan menghampiri mereka berdua.“Rani ... Gue baru dapat kabar dari anak-anak, kalau hari pertama kita bimbingan intensif bertempat di rumah Pak Dani. Gimana kalau gue jemput elo? Karena rencananya kita berangkat bareng-bareng, gitu Ran!” terang Andra seraya menggeser kursi dan d

  • Air Mata Rani   Perasaan Lega

    Seperti rutinitas Rani di malam sebelum-sebelumnya, setelah selesai makan malam Rani selalu membantu Bi Tina untuk membereskan sisa makan malam. Rani yang masih fokus membilas piring yang sudah penuh dengan sabun itu langsung mendongak saat suara maminya memanggil namanya.“Rani! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap mami Liana dengan menatapnya tajam.“Baik, Mi!” Rani mengalihkan perhatiannya menatap bi Tina yang sedang mengelap piring basah.Wanita paruh baya itu seolah mengerti arti tatapan matanya. “Biar bibi saja yang melanjutkan, Non!”“Terima kasih, Bi.”Rani mengangguk setelah itu berjalan mengekor di belakang Liana, melangkah masuk ke dalam ruang kerja maminya yang sangat asing baginya karena selama ini Liana tak pernah membiarkannya bebas keluar masuk ruangan yang terlihat begitu rapi dan bersih itu.Kedua mata Rani tampak mencuri pandang pada bing

  • Air Mata Rani   Makan Siang

    Senyum terlukis jelas di wajah cantik gadis yang saat ini tengah memandang serius layar ponselnya, ia membaca pesan yang dikirim papinya.“Ran, hari ini Papi yang jemput kamu. Kebetulan Papi baru saja selesai bertemu klien di sekitar sekolahmu.”“Baik, Pi!”Rani dengan cepat mengetik balasan pesan untuk papinya, ia begitu semangat saat orang tua laki-lakinya yang akan menjemputnya kali ini.“Kita pulang yuk!” ajak Mita seraya duduk di bangku kosong tepat di depan Rani.“Ayuk!” Rani membereskan bukunya, lalu berdiri sambil menenteng tas punggungnya.Mita melingkarkan tangan di lengannya, mereka berdua berjalan melewati lima kelas sebelum akhirnya

  • Air Mata Rani   Tidak Diberi Izin

    Sudah pukul sebelas malam, tapi Rani belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengingat pada kalimat yang diucap tante Aksan.“Maaf ya, Ran. Tante nggak bermaksud membuatmu terkejut, tapi itu semua sebenarnya adalah do'a tante selama ini. Agar Baska mendapatkan gadis seperti kamu dan tante akan sangat bahagia sekali, jika kalian berjodoh.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, Ia menggeleng untuk mengusir suara tante Aksan yang melekat dalam ingatannya. Namun, tetap saja Ia tak bisa. Gadis tujuh belas tahun itu memilih berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman agar pikirannya bisa lebih tenang.Baru beberapa langkah Ia keluar dari kamarnya, Ia mendengar samar suara seseorang yang sedang mengobrol. Gadis berparas cantik itu menoleh ke arah meja makan yang berada tak jauh dari dapur. Ia melihat

  • Air Mata Rani   Semoga Berjodoh

    Nyonya Aksan mengajaknya masuk ke dalam toko baju branded internasional, wanita yang memiliki satu putra itu bahkan memperlakukannya seperti putrinya sendiri.“Tante senang sekali ditemani belanja sama kamu, Ran,” Nyonya Aksan membuka percakapan dengan senyum terulas.“Rani juga senang bisa temani, Tante,” balasnya dengan ikut tersenyum.Mereka berdua berjalan mendekati deretan display gaun yang sudah dipastikan harganya tidak murah. Toko yang di desain dengan gaya modern itu memang menyasar konsumen menengah ke atas, tak heran jika produk yang dipajang terlihat berkelas dan elegan.“Selama ini, tante ingin sekali memiliki putri. Biar bisa diajak shopping bareng. Seperti kita sekarang ini!” Nyonya Aksan melanjutkan kalimatnya.Jujur, Ia bingung bagaimana h

  • Air Mata Rani   Kado Ulang Tahun

    Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status