Hari menjelang sore ketika Marwa tiba di rumah. Wanita yang tengah dirundung kesedihan dan kekecewaan mendalam itu langsung naik ke lantai atas menuju ke kamarnya. Menghidupkan laptop yang teronggok di atas nakas, lalu menyalin rekaman video mesum suaminya ke dalam flashdisk. Hanya jaga-jaga saja, jika tiba-tiba ada kerusakan pada ponselnya.
Tubuh dengan hati lelah itu luruh di atas ranjang. Mata mulai memejam. Namun, adegan demi adegan menjijikkan yang tadi ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, terus menari-nari dalam ingatan. Membuatnya mual dan ingin muntah. Wajah wanita yang tak asing lagi baginya itu terus terbayang. Alena, wanita bekas asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya. Wanita muda, yang diangkat derajatnya oleh Marwa, dari seorang babu menjadi staff marketing eksekutif di perusahaan tempat suaminya bekerja. 'Lalu, ini balasan wanita brengsek itu padaku, setelah apa yang telah aku korbankan untuknya? Dasar wanita tak tahu diri! Apa otaknya sudah geser, hingga lupa darimana dia berasal? Hatiku sakit, Alena!' Marwa menghela napas panjang. Berusaha menahan butiran bening di ujung mata yang siap tumpah kapan saja. 'Tidak! Aku tidak boleh menangis. Air mataku terlalu berharga untuk orang-orang keji seperti mereka. Lihat saja! Aku benar-benar akan menghancurkan kalian. Sepantasnya kalian yang harus meneteskan air mata di hadapanku!' *** Pukul 10 malam Ammar baru tiba di rumah. Menghabiskan waktu seharian bersama sang kekasih membuatnya sangat lelah dan ingin segera merebahkan tubuh di atas ranjang. Pintu kamar ia buka dan mendapati Marwa tengah terbaring memunggunginya. Setelah berganti pakaian, lelaki tampan berkumis tipis itu mendekat dan mengecup lembut kening wanita, yang telah dinikahinya sepuluh tahun lalu. "Sudah pulang, Mas?" Marwa yang memang belum tidur berbalik badan dan mulai memainkan sandiwaranya. Harus main cantik, meski sesungguhnya ia sangat jijik disentuh lagi oleh suaminya. Bibir yang tadi digunakan untuk mengecup keningnya, sudah bekas bercumbu dengan wanita lain. "Iya, Dek. Capek banget ini. Banyak kerjaan tadi di kantor." Ammar memijit pelipisnya. Marwa tersenyum getir. 'Terus saja kau bohongi aku, Mas!' "Gimana toko hari ini?" Pertanyaan yang selalu Ammar lontarkan ketika mereka sudah berkumpul di rumah. Aktifitas pillow talk ini sudah rutin mereka lakukan sejak awal menikah dulu. Akan tetapi, kini semua terasa hambar. Seakan hanya pencitraan yang diciptakan Ammar untuk menutupi kebobrokan moral. "Alhamdulillah, ramai. Sampai-sampai aku nggak sempat mampir ke rumah Mama. Padahal aku ingin sekali ke sana," jelas Marwa. Sengaja, hanya ingin tahu bagaimana reaksi suaminya. "Hah? M-mau ke rumah Mama? Untuk apa, sih, Sayang? Mas, kan, sudah berkali-kali bilang. Nggak usah repot-repot ke sana. Lagipula beberapa hari lalu Mas sudah suruh orang, kok, untuk membersihkannya. Nggak perlulah kamu ke sana. Yang penting, tuh, ini ...." Ammar mengelus-elus perut Marwa. "Paham, kan? Jadi kamu nggak boleh terlalu capek. Titik pokoknya!" Lagi-lagi Marwa hanya bisa tersenyum getir. Menelan manisnya ucapan Ammar yang ternyata hanya kedok untuk menutupi belang. Sekilas terlihat seperti sebuah bentuk perhatian yang tulus. Namun, ternyata hanya akal bulus. Di dalam hati ia terus merutuki dirinya yang terlalu naif. Ternyata suaminya punya alasan lain untuk melarangnya mengunjungi rumah Ibu Mertua. Menyesal kenapa baru menyadari. Ah, geram sekali rasanya! 'Lalu apa gunanya uang puluhan juta yang sudah dihabiskan untuk mengikuti program hamil ini, jika akhirnya kau akan menduakan aku, Mas?' *** Pagi ini seperti biasa. Sarapan telah terhidang di meja makan. Meski hati tengah terluka, Marwa berusaha untuk tetap menyiapkan makanan untuk suaminya. Selama ini, sesibuk apa pun ia dengan bisnisnya, ia tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri. Meski Ammar sudah mewanti-wanti dan memperingatkannya agar jangan terlalu capek, wanita berusia 32 tahun itu tetap ngeyel. Bahkan Ammar pernah berencana untuk mencarikannya seorang asisten rumah tangga. Namun, Marwa menolak. "Selagi aku sehat dan mampu melakukannya sendiri, why not? Lagipula aku nggak mau nantinya kamu nyaman dengan bantuan dan perhatian orang lain, Mas," ucapnya waktu itu. Ammar hanya bisa menggeleng pasrah sambil mendengkus. Dan sampai saat ini ia tak pernah lagi membahas soal itu pada istrinya. Namun, siapa yang menyangka, kini ia malah selingkuh dengan mantan ART di rumah ibunya sendiri. Akhirnya hal yang ditakutkan Marwa terjadi juga. Entah sejak kapan hubungan terlarang itu bermula. Ammar turun dari lantai atas menuju meja makan. Meski dada terasa sesak, Marwa berusaha mengulas senyum di depan suaminya. Sabar, belum waktunya! "Gimana kabar Alena, Mas?" Tiba-tiba Marwa bertanya. "Uhuk!" Ammar tersedak. Seketika makanan yang tengah dikunyahnya tersembur mengotori meja. "Loh, kenapa, Mas?" Marwa pura-pura panik. Dalam hati ingin tertawa. Rasain! Ia meraih tisu dan mengelap sisa-sisa makanan di pinggir bibir suaminya. "Pelan-pelan, dong, Mas! Memangnya ada apa? Kok, langsung kaget gitu pas aku nanyain si Alena." "E-enggak kenapa-napa, Dek. Lagian tumben aja kamu nanyain tentang dia." Ammar mulai kelihatan kikuk. "Soalnya udah lama banget aku nggak ketemu sama dia. Nomor hp-nya juga udah ganti kayaknya. Nggak bisa dihubungi. Siapa, ya, pacarnya sekarang? Aku mau jodohin dia sama teman aku." Marwa mulai mengarang bebas. "Hah? Eh ... ya, mana Mas tau, Dek," sahut Ammar sambil melanjutkan sarapannya. "Lah, kamu, kan, sekantor sama dia, Mas. Masa iya kamu nggak tau?" "Emangnya kalau sekantor, Mas harus tau segala hal tentang dia? Itu, kan, privasi, Dek. Lagian bukan urusan Mas juga lah!" Ammar buru-buru bangkit setelah menyelesaikan suapan terakhirnya. Lama-lama di sini nanti makin banyak pertanyaan, pikirnya. "Ya, sudah, Mas berangkat dulu!" Kecupan lembut mendarat di kening Marwa. Tak ada yang berubah. Ia masih seperti Ammar yang dulu. Hangat, romantis, penuh kasih sayang. Namun, kini semua itu terasa hambar bagi Marwa. Tak hanya hambar, juga jijik! "Nanti jam istirahat tolong antar aku ke rumah Alena, ya, Mas!" seru Marwa saat Ammar sedang memanaskan mesin mobil di garasi. "Hah? Ng-ngapain ke sana, Dek? Mas nggak izinin pokoknya. Mending kamu nongkrong di toko aja. Nggak usah ke mana-mana. Ntar kamu kecapean, Sayang," cegah Ammar. Marwa memutar bola mata. "Apaan, sih, Mas? Memangnya aku nanti di sana ngapain sampai capek segala? Nyangkul?" "Y-ya, enggak, hahaha ... kamu ini ada-ada aja, Sayang. Pokoknya kalau Mas bilang nggak usah, ya, jangan! Nggak mau, kan, jadi istri durhaka?" Ammar mencubit kecil hidung lancip istrinya. "Ya, sudah, Mas berangkat, ya! Semoga pulang-pulang Mas dapat kabar baik." "Kabar baik apa?" Dahi Marwa mengernyit. "Ini ...." Ammar mengelus-elus perut Marwa. "Mudah-mudahan nanti ketika Mas pulang, tiba-tiba sudah ada si jabang bayi di dalam sini." Marwa tersenyum datar. Bingung. Sepuluh tahun penantian memang bukanlah waktu yang sebentar. Ia pun sangat menyadari kekurangannya. Namun, haruskah mendua? Lalu untuk apa mengusahakan semua ini, kalau akhirnya harus diduakan? Lambaian tangan menyertai kepergian Ammar. Marwa bergegas masuk ke rumah. Tanpa pikir panjang ia mengganti pakaiannya, lalu pergi menuju garasi dan menyalakan mesin mobil. Tak lama ia pun meluncur menuju ke suatu tempat. Tangannya sudah gatal ingin memberi sedikit pelajaran berharga pada seseorang.'Kenapa ramai sekali? Ada apa ini dan siapa mereka?' batin Marwa terus meracau.Demi menuntaskan rasa penasaran, ia pun turun dari mobil. Jantungnya kian berdebar. Ia terus mengayun langkah menuju pintu masuk yang terbuka lebar, dan mengintip dari balik dinding ruang tamu. Dan apa yang ia lihat begitu mengejutkannya.Ibu mertua sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam koper, sedangkan Kania, sang adik ipar asik bercengkerama dengan beberapa orang sahabatnya. Sementara di sudut sana, tampak suaminya tengah asik berduaan dengan seorang wanita.Dia ... Alena. Betapa mesranya mereka. Ibu mertua dan adik iparnya seolah menutup mata dengan kemesraan mereka.'Ya, Tuhan! Ada apa dengan mereka? Kenapa merahasiakan kepulangan ini dariku? Dan kunci ini ....' Marwa membuka telapak tangan, dimana terdapat kunci yang beberapa waktu lalu dititipkan ibu mertua padanya.'Kata Ibu kunci rumah ini hanya ada satu, dan Ibu memercayakan rumah ini padaku. Lalu kenapa mereka bisa masuk? Waktu itu j
"A-apa? Cuti? S-sejak kapan, Mey?" Marwa terkejut setengah mati mendengar pengakuan Meysie, yang merupakan sekretaris suaminya itu.Siang ini wanita itu sudah berada di kantor Ammar. Maksud hati ingin memberi kejutan untuk sang suami, tetapi malah dia yang mendapat kejutan.Sebenarnya, kedatangannya ke sini ingin memergoki suami dan selingkuhannya itu. Mungkin saja mereka juga mencuri-curi kesempatan untuk berbuat mesum di kantor ini. Jika sudah dimabuk asmara, biasanya apa saja bisa dilakukan tanpa memedulikan situasi dan kondisi."Sudah sejak lima hari yang lalu, Bu," sahut wanita berkaca mata tebal itu dengan dahi mengkerut. "Loh, memangnya Bu Marwa nggak tau soal Pak Ammar yang sedang mengambil cuti tahunan?""Hah?" Marwa terperangah dengan mulut menganga. Benar-benar tak siap menerima kejutan yang baru saja ia dapatkan. Namun, detik berikutnya ia seakan tersadar dan segera berakting agar tak terlihat ganjil."O-oh, hahaha ... aduh, kok saya bisa lupa, ya, kalau suami saya sekara
"Rumah ini dikontrakkan." Marwa membaca tulisan pada selembar kertas yang menempel di pintu salah satu rumah. "Hah? Serius ini? Lalu pindah ke mana si wanita brengsek itu?"Rumah berdempet tiga itu, salah satunya adalah rumah yang pernah ditinggali Alena. Bahkan dulu Marwa yang membayar rumah kontrakan itu untuknya. Sejak wanita itu berhenti jadi ART di rumah mertuanya dan diterima bekerja di perusahaan tempat Ammar bekerja, ia tidak punya tempat tinggal lagi.Orang tuanya berada di kampung. Ia merantau ke kota untuk mengadu nasib. Karena kasihan, Marwa akhirnya memberinya tempat tinggal di sini. Uang kontrakan sepenuhnya Marwa yang tanggung. Dan itu sudah berjalan 2 tahun. Yang ia herankan, kenapa wanita itu pergi menghilang begitu saja tanpa memberitahunya?"Eh, Mbak, maaf, numpang tanya," sapa Marwa pada salah satu penghuni kontrakan yang kebetulan sedang membuka pintu, dan mengayun-ayunkan sapu di tangannya untuk membersihkan debu di lantai."Iya, Teh. Ada apa, ya?" tanya wanita m
Hari menjelang sore ketika Marwa tiba di rumah. Wanita yang tengah dirundung kesedihan dan kekecewaan mendalam itu langsung naik ke lantai atas menuju ke kamarnya. Menghidupkan laptop yang teronggok di atas nakas, lalu menyalin rekaman video mesum suaminya ke dalam flashdisk. Hanya jaga-jaga saja, jika tiba-tiba ada kerusakan pada ponselnya.Tubuh dengan hati lelah itu luruh di atas ranjang. Mata mulai memejam. Namun, adegan demi adegan menjijikkan yang tadi ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, terus menari-nari dalam ingatan. Membuatnya mual dan ingin muntah.Wajah wanita yang tak asing lagi baginya itu terus terbayang. Alena, wanita bekas asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya. Wanita muda, yang diangkat derajatnya oleh Marwa, dari seorang babu menjadi staff marketing eksekutif di perusahaan tempat suaminya bekerja.'Lalu, ini balasan wanita brengsek itu padaku, setelah apa yang telah aku korbankan untuknya? Dasar wanita tak tahu diri! Apa otaknya sudah geser, hingga lupa
"Astaga! Suara apa itu?" Langkah Marwa terhenti sesaat setelah ia memasuki rumah mertuanya. Ia merasa seperti mendengar suara desahan dari dalam salah satu kamar. Tak ada mobil dan kendaraan apa pun terparkir di halaman. Begitu juga sandal atau sepatu. Tak ada tanda-tanda ada orang di dalam rumah, yang kosong sejak seminggu lalu itu. Ibu mertua dan adik iparnya sedang pergi berlibur ke luar negeri.Entah siapa yang tengah berada di dalam sana, dan suara-suara menjijikkan itu ... sebenarnya sedang apa mereka?"Ah, kamu nakal, Mas!" Suara itu mendayu, menggoda.Lalu suara desahan kian terdengar nyaring. Bagaimana tidak? Rumah sedang tak berpenghuni. Suara apapun akan terdengar jelas. Lagipula, aktifitas mereka tampak tak wajar, seperti yang biasa dilakukan suami istri, Marwa paham betul dan yakin sekali, bahwa ada sepasang manusia berlawanan jenis di dalam sana yang tengah melakukan perbuatan terlarang."Kamu selalu bikin aku candu dan ingin terus melakukannya." Kali ini suara seorang