Share

BAB 9 : Rujuk

Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya.

            Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.

            Andai saja ibu mertuanya bisa sedikit melunak sifatnya dan tidak selalu memunculkan kemarahan di dalam pernikahan mereka, tentulah saat ini mereka berdua masih bersama menghalau gerombolan pipit yang hendak mencuri bulir padi milik mereka. Bulir padi bernas yang berwarna putih bersih siap dipanen jika sudah waktunya.

            “Diana untuk  kau memandang pria yang sudah mencampakanmu?” tanya ibunya memecah lamunannya sambil menatap jauh ke tengah sawah di ufuk barat sana.

            “Aku tidak memandangnya,Bu,” bantahnya mengalihkan tatapannya.

            Ibunya tersenyum,”Kau seperti tak tahu kalau ibu pernah muda seperti dirimu.Jadi jangan bohongi Ibu.”

            “Aku memang tidak dapat belum dapat melupakannya, Bu.”

            “Tapi dia telah mengusirmu dari rumahnya,”

            “Tadi itu semua bukan kemauannya, Bu.”

            “Walaupun. Sebagai suami yang baik, dia tidak seharusnya begitu saja mencampakkanmu,”

            “Dia ditekan oleh ibunya. Tentu saja pilihan yang sulit baginya, Bu.  Seorang yang menyayangi ibumu pasti akan memilih ibunya daripada istrinya, apalagi jika dia belum begitu mapan.”

            “Tetap saja , dia lelaki yang kurang bijaksana.” Kata ibunya masih menyalahkan Herman yang kurang mandiri dalam menghadapi permasalahan rumah tangganya.

            Diana tak meladeni omongan ibunya, dia pergi menjauh mencari kesibukan agar tak diajak ibunya lagi bersitegang menyalahkan Herman yang menurut ibunya sebagai suami yang kurang bertanggungjawab pada istrinya.

            Sepeninggal anaknya, sang ibu pun pergi kembali bekerja menyiangi  rumput liar yang  berada ditepian pelang sawah miliknya, membantu suaminya menyiangi sawah mereka agar tidak menjadi sarang tikus dan hama lainnya yang senang mendiami rumput liar yang menutupi setiap pelang sawah.

            Sesekali dijenggalnya keberadaan Herman, apakah masih berada di tengah sawah atau sudah beristirahat di pondok. Pondok yang penuh kenangan baginya sebab dia sering mengantar makanan dan menyiapkan makanan dan minum untuk sang suami sambil bercengkrama mesra. Ah... indahnya masa itu, pikir Diana dalam hati ingin kembali mengulang kisah bahagia yang telah lama hilang.

            Begitu pulang ke kampung, tak dsangkanya, di tengah jalan mereka tak sengaja bertemu dari arah berseberangan hendak menuju arah jalan yang sama. Desir halus  bulu kuduk serasa merinding, dada berdegup kencang dan mata tertatap bersamaan. Ternyata masih tersimpan perasaan yang sama, yaitu sebuah rindu yang menggelora di hati masing-masing.

            “Sendiri saja, Dik. Kenapa tidak bersama Ibumu?” tanya Herman malu-malu menatap Diana penuh kerinduan.

            “Ibu masih di belakang, Kak. Sebentar lagi katanya!” jawab Diana lirih, tak meninggikan pandangannya  karena gugup.

            “Bagaimana kabarmu, Dik?” tanya Herman kemudian berusaha tersenyum ramah.

            “Baik, Kak!”

            “Kamu sudah tidak bekerja lagi di kecamatan?”

            “Tidak!”

            “Aku dengar kamu difitnah oleh Kirana. Keterlaluan dia sampai membuatmu diberhentikan kerja.” Herman berusaha empati kepada Diana dan menyalahkan Kirana karena telah memfitnahnya dan membuatnya kehilangan pekerjaan.

            “Sudahlah, Kak! Semuanya sudah bagian dari takdir hidupku,” kata Diana berusa tegar dan tidak menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.

            “Maafkan Kirana, semua yang dia lakukan sepenuhnya juga karena kesalahan Ibunya,” ucap Herman meminta maafkan kesalahan Kirana  yang disebabkan terpengaruhi oleh hasutan ibunya.

            “Tak apa, Kak! Semua sudah terjadi, biarlah menjadi catatan sejarah hidup saja,” kata Diana tak merasa dendam sedikitpun kepada Kirana atas apa yang sudah dilakukannya.

            “Inilah sifat yang dari dulu sangat aku suka darimu, Dik!” puji Herman atas sifat pemaaf dan toleransi yang ditunjukkan Diana selama ini walaupun selalu disakit oleh orang yang tidak suka kepadanya.

            “Terima kasih atas pujiannya, Kak,” kata Diana malu.

            “Kakak boleh kalau mau main ke rumahmu?”

            Diana terkejut mendengar pertanyaan Herman, untuk apa dia minta izin ingin main ke rumahnya. Bukannya status Herman saat ini masih sah sebagai suaminya, karena secara administrasi Herman belum memberikan secarik kertas yang menceraikannya.

            “Kenapa kakak bertanya seperti itu. Kakak kan masih suamiku, walau kita sedang tidak bersama saat ini,” ungkap Diana membuka kesempatan yang terbuka bagi Herman untuk bermain ke rumahnya.

            “Baiklah, besok atau lusa saya akan main ke rumahmu menemui orangtuamu,” kata Herman berjanji untuk menemui orangtua Diana.

            “Terserah kakaklah,” ucap Diana memberi lampu hijau kehadiran Herman di rumahnya.

            Tak terasa perjalanan mereka sudah mendekati pemandian di ujung dusun, sehingga Diana merasa malu kalau harus kena fitnah lagi, makanya dia berkata,”Sebaiknya Kakak duluan yang berjalan pulang melewati pemandian umum, supaya tidak timbul fitnah lainnya lagi.”

            “Baik, Dik. Kakak duluan ya,” pamitnya kepada Diana meninggalkannya sendiri di ujung jalan menuju pemandian dusun.

            **********************************

            “Ibu aku ingin baikan dengan Diana. Kami kan tidak bercerai,Bu. Hanya pisah ranjang,” uap Herman sesampainya di rumah saat bertemu Ibunya di ruang tamu rumah.

            Ibunya belum menjawab, perempuan baya tersebut masih sibuk dengan rajutannya. Tangannya dengan licahnya menyatukan bahan rajut berwarna-warni yang akan dibuatnya tas kecil. Kerajinan tangan rajut yang masih digandrungi oleh ibu-ibu di kampung sebagai teman waktu luang daripada bermenung diri memikirkan dunia tak bertiang.

            “Ibu, dengarkan aku bicara,” kata Herman mengulanginya lagi  lebih dekat ke arah ibunya.

            “Ya, bicaralah,” jawab ibunya masih sibuk dengan rajutannya.

            “Aku ingin rujuk dengan Diana, Bu!” pintanya memohon kepada ibunya.

            “Untuk apa lagi kau ingat perempuan pembawa sial itu, Herman!” bentak ibunya menjadi marah dan melepaskan rajutnya seketika mendengar permintaan anaknya.

             “Stop Ibu selalu menyalah Diana. Bukannya Ibu sendiri yang jahat selama ini,” kata Herman menyela ucapan ibunya yang merasa tidak senang, Ibunya selalu menyalahkan orang yang disayanginya.

            “Pokoknya  Ibu tidak setuju. Sekali tidak, ya tidak!” teriak Ibunya menentang keinginan anaknya untuk rujuk kembali dengan perempuan yang sangat dibencinya.

            “Kalau begitu, saya akan tinggalkan Ibu!” ancam Herman merasa marah dengan sikap ibunya.

            “Kamu tega tinggalkan Ibu demi wanita murahan itu?” tanya Ibunya mendelik tajam menatap Herman.

            “Ya, kalau Ibu tidak mau menerima Diana lagi di rumah ini,” kata Herman tegas.

            Ibunya terlihat berpikir, bagaimanapun dia belum siap kehilangan anak semata wayangnya. Dia tak bisa membayangkan hari-harinya tanpa Herman,putra satu-satunya, setelah suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu dia merasa sangat kehilangan sehingga dia tidak sanggup jika harus kehilangan Herman pula.

            “Maafkn Ibu, Nak. Selama ini Ibu masih terbawa dendam atas kematian ayahmu, sehingga Ibu selalu menganggap wanita yang berada di dekat Ibu sebagai wanita pembawa sial,” sesal ibunya yang masih terbawa dendam lamanya.

            “Jadi Ibu setuju Diana aku bawa kembali ke rumah ini?” tanya Herman pelan meminta persetujuan Ibunya.

            Sang Ibu hanya mengangguk pelan, seraya menyeka air matanya. DIa menyetujui keinginan anaknya untuk bersama kembali demi kebahagiaannya, walau dirinya masih terasa belum bisa menerima kehadiran Diana kembali di rumahnya. Tapi demi kebahagiaan anaknya dan mencegah kepergiannya, maka dia harus menyetujuinya.

            Jauh di dalam lubuk hatinya, Herman mengucapkan syukur atas disetujuinya keinginannya rujuk kembali. Berarti esok waktunya dia akan menemui Diana dan memintanya kembali untuk menjadi istrinya, dan bersama-sama merenda hari-hari penuh cerita ke depannya.

            Begitu tiba di rumah Diana, langsung diutarakannya keinginan untuk membawa istrinya pulang sekaligus meminta maaf karena telah salah paham membiarkan istrinya pulang ke rumah orangtuanya.

            “Jadikan ini sebagai pembelajaran, Herman,” kata Pak Lindi menasehati Herman,”Sebagai suami jangan mudah terpancing fitnah termasuk ibumu sendiri. Kau harus bisa menjaga dan melindungi istrimu dari niat jahat Ibumu.”

            “Ya, Pak. Saya berjanji akan menjaga dan melindungi Diana dan tidak akan mudah terfitnah lagi oleh hasutan Ibu saya. Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” ucap Herman mengakui kesalahannya dan berjanji akan menjaga istrinya kedepannya.

            “Ibu titip Diana, Nak. Tolong Kau jaga baik-baik istrimu!” pinta Ibunya Diana kepada Herman dengan tulus.

            “Insya Allah, Bu. Saya juga mohon doa-nya semoga rumah tangga kami selanjutnya aman dan tentram,” pinta Herman akan doa mertuanya agar kehidupan pernikahannya berjalan baik.

            “Jika Ibumu masih saja menyakiti Diana, ada baiknya kalian memikirkan untuk menyewa rumah saja,” ucap Ibunya kembali mengingatkan Herman untuk mandiri dengan menyewa rumah jika Ibunya masih saja ribut menantunya.

            “Ya, Bu. Saya janji jika Ibu tidak bisa berdamai dengan Diana. Saya akan menyewa rumah untuk kami tinggali bersama,” janji Herman kepada mertuanya sambil pamit membawa istrinya kepada pulang ke rumah Ibunya.

            Diana memeluk erat Ibunya, masih tersisa tangis yang mengelayut di pipinya. Terasa berat baginya meninggalkan orangtuanya, tapi sebagai seorang istri jika suami memintanya pulang maka dia harus ikut pulang. Diana sekaligus memohon doa restu kepada kedua orangtuanya agar sekembalinya dia bersama Herman untuk kedua kalinya akan memdatangkan suatu berkah menuju kebahagiaan.

=== BERSAMBUNG BAB 10 ====

           

             

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status