Malam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh.
Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang sualam semakin sunyi dan bersiap untuk mengganti hari. Suara kokok ayam selalu saja lebih dulu menyapa kemudian disusul dengan merdunya suara adzan seiring tabuh yang juga terdengar bersahut-sahutan memecah kesenyian waktu subuh.
Wanita berhijab itu sudah selesai melaksanakan sholat subuh, kemudian ia pun berniat membangunkan sang suami yang masih erat memeluk guling dan selimut tebalnya.
"Mas!” ucapnya begitu pelan tepat di sisi kanan pipi suaminya. Belum juga ada reaksi dari suaminya tersebut, wanita itu pun mengulang kembali usahanya untuk membangunkan sang suami.
“Mas, sholat subuh dulu ya." Wanita itu menepuk pelan lengan suaminya tersebut, namun ia lupa jika terdapat luka di sana.
"Akkhhh!" rintih pria itu seraya memegangi lengannya.
"Maaf , Mas, maaf aku lupa," ucap wanita itu pelan.
"Kamu tuh nggak bisa apa ya, semenit saja nggak ganggu waktu istirahatku? Aku di luar kamu sibuk nelponin, aku di rumah apalagi, nggak ada kerjaan lain apa, heh?!” kata pria bertubuh kekar itu dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna dan raut wajah kesal.
"Maaf, Mas!”
"Maaf, maaf, maaf. Sudah berapa kali kamu bilang maaf pagi ini saja, hah?”
Pria itu pun beranjak dari ranjangnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi, ia pun menyambar handuk yang tersampir di belakang pintu dengan paksa hingga terdengar bunyi,
Brett!
Wanita berhijab itu pun memalingkan wajahnya menahan tawa melihat wajah kesal sang suami yang kini menatap tajam padanya.
"Kamu ini sepertinya punya kebiasaan buruk ya, Aisyah?”
Aisyah kembali mengulum senyumnya, kali pertama sang suami menyebut namanya dengan awalan ‘ya. Meskipun terdengar dan terlihat kesal, namun Aisyah merasa bahagia.
"Jangan katakan maaf lagi!" Bram segera menyela saat Aisyah hendak bersuara.
"Kebiasaan yang mana, Mas, Aisyah nggak paham?"
"Kebiasaan suka senyum-senyum sendiri kalau aku sedang bicara, kenapa, ada yang lucu dengan kata-kataku, iya?" Aisyah menggeleng pelan lalu menunduk menanggapi pertanyaan Bramantyo.
“Dasar aneh!” ucap Bramantyo tanpa berkata-kata lagi.
Brak!
“Astaghfirullah!”
Aisyah terkinja saat Bramantyo menutup pintu kamar mandi dengan kasar.
Beberapa menit kemudian dia tampak menyembulkan sedikit kepalanya pada pintu kamar mandi tersebut.
"Aisyah, ambilkan aku handuk, handukmu sobek ternyata, ya?” keluh Bramantyo lalu memanggil Aisyah dengan suara kuat, namun Aisyah tak juga menampakan batang hidungnya.
"Aisyah!" Kali ini dia berteriak llebih kencang, namun karena kamar Aisyah yang kedap udara maka suara sekencang apapun tidak akan terdengar hingga ke luar ruangan itu.
Bram pun akhirnya terpaksa keluar dengan mengenakan handuk Aisyah yang robek di bagian ujungnya.
"Akkhh, merepotkan saja, aku harus segera pergi dari tempat terkutuk ini!” cakap Bramantyo terus saja menggerutu.
Dia pun melemparkan handuknya asal.
"Aww, sakit!” Terdengar suara rintihan seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
"Makanya kalau masuk itu permisi, jangan asal nyelonong macam kucing mau nyolong ikan asin saja kamu!” kata Bramantyo saat menyadari siapa pemilik suara rintihan itu.
"Ikan asin itu enak dan bergizi lho, Mas dan kucing adalah hewan kesayangan Nabi, perumpamaanmu terlalu mulia untuk disamakan dengan diriku," tolak Aisyah sopan.
"Halah, kamu selalu saja membenarkan ucapanmu dengan berbagai macam dalil-dalilmu itu, aku nggak peduli." Bram mulai mengenakan satu persatu pakaiannya dengan membelakangi Aisyah.
"Mas, kamu menodai mataku," keluh Aisyah seraya memalingkan wajahnya demi tak melihat sang suami yang tengah mengenakan pakaian dalamnya.
Bram tersenyum lalu mendekati Aisyah yang menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Jangan memfitnahku, Aisyah, melihat bagian tubuhmu yang masih kau tutupi saja aku belum pernah, lalu bagaimana mungkin aku bisa menodaimu, hemm?" ucapnya dengan suara berat tepat di sisi kanan wajah sang istri.
Aisyah membalikan tubuhnya dan hampir saja wajah keduanya saling bersentuhan jika Aisyah tidak buru-buru menjauhkan tubuhnya.
"Ma …maksudmu apa, Mas?" tanya Aisyah terbata, sungguh kalimat Bramantyo tadi mampu membuat bulu romanya merinding bersamaan saat ini.
Bram menarik ujung bibirnya, lalu tersenyum mengejek.
"Sepertinya asyik juga kalau aku sedikit memberikan shock terapi untuk wanita ini, pasti nggak bisa tidur dia malam ini, ide bagus, Bram, mari kita buktikan!" ucap Bramantyo di dalam hati.
Bramantyo meraih satu tangan Aisyah yang terasa dingin dan berkeringat dari arah belakangnya.
"Kamu gugup ya?" Bramantyo meletakkan dagunya di pundak sang istri.
Aisyah hanya menggeleng tanpa suara, sungguh Bram telah memporak-porandakan rasa yang lain dari sisi kewanitaannya.
"Apa kamu mau melayaniku saat ini juga, Ai?"
Aisyah semakin membuncah kini, “ Apa katanya tadi? Melayaniku, maksudnya apa, melayani apa?” Berbagai tanya silih berganti singgah di benak Aisyah.
Aisyah spontan mengangguk.
"Kalau begitu, tolong kamu bilang sama Ayah, jika hari ini aku nggak pulang, kantor sedang ada proyek besar yang mengharuskan diriku untuk lembur dan tidur di kantor, apa kamu bisa melakukannya untuk suamimu ini, hem?” ucap Bramantyo bahkan tanpa rasa bersalah sama sekali di wajahnya.
Aisyah memandang lekat wajah suaminya itu, “Pertanyaan macam apa itu? Lalu di mana perasaannya saat mengatakan hal itu kepadaku? Inikah penjelasan atas kalimat melayaniku yang diucapkannya tadi?” Aisyah terus saja bertanya di dalam hati dengan sakit yang kian terus menjalar.
Tek!
Bramantyo menyentil kening Aisyah dengan jarinya.
"Aww, sakit, Mas!" kata Aisyah seraya mengusap keningnya pelan.
"Itu artinya kamu masih normal, masih merasakan sakit, kan? Pasti khayalanmu sudah tingkat dewa kini, kasian, pengantin baru rasa istri simpanan, hahaha!”
Bram tertawa lepas melihat wajah Aisyah yang sudah merah padam.
Namun tawanya seketika berhenti saat melihat Aisyah tampak menyeka air matanya.
"Kamu nangis, Ai? Kamu nggak terima aku bilang kayak gitu, tersinggung, ya?" ucap Bramantyo dengan bahu yang masih bergetar akibat gelak tawanya tadi.
"Menurutmu? Bercandamu nggak lucu, Mas, kalimatmu bukan main-main, kamu sudah dengan sengaja mengolok-olok istrimu sendiri!”
"Kalimat yang mana?" ucap Bramantyo tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Semuanya!”
"Berarti kamu belum paham seperti apa suamimu ini? Bukankah, bukan sebulan dua bulan kamu bekerja di perusahaan Papa, apa iya kamu tidak pernah memperhatikanku selama ini, hmm?"
"Itu bukan termasuk dari pekerjaanku sebagai staff personalia di kantormu, Mas, tapi aku tidak tau jika salah satu tugas sekretaris seksimu itu adalah memperhatikan calon suamiku waktu itu."
"Oh, jadi diam-diam kamu memperhatikan aku dan Sofi ya di kantorkantor? Kerja bagus, Ai, jadi aku tidak perlu repot-repot menjelaskan kepadamu tentang hubungan kami ini seperti apa, dan iya kamu cemburu, kan? Ah, aku suka dicemburui, Ai, teruskan!"
Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram
Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian
Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah
Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be
"Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj
Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .