"Cemburu kamu bilang, Mas?” kata Aisyah dengan raut wajah menatap tajam tak percaya kepada Bramantyo.
Namun, suaminya itu tak menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahu dengan mata yang melebar.
“Tentu saja aku cemburu, di malam pertama kita sebagai suami istri, kamu malah sibuk dengan gundikmu itu, bukannya aku tidak tau, Mas, tapi aku menjaga marwahmu sebagai suamiku di mata Ayah, tapi apa yang kamu lakukan terhadapku? Kamu jahat Mas, jahat!”
"Mulai sekarang kamu harus tau jika suamimu ini brengsek dan jahat!" ucap Bramantyo tanpa melihat kepada Aisyah.
"Akan tetapi, aku tidak peduli, Mas, selama aku masih punya Allah, maka hatimu pun adalah kepunyaan-Nya, jadi, tak ada yang harus kukhawatirkan, jika takdirku adalah bersamamu, maka aku ingin kita bersama hingga ke jannah-Nya.
Sepahit apapun akan aku jalani, karena pelangi tak mungkin muncul tanpa hujan terlebih dulu, tak peduli sehina apa penilaianmu terhadapku, nyatanya di hadapan Allah dan kedua orang tua kita, aku adalah istri sahmu, bukan dia yang hanya sekedar gundikmu."
"Maka akan aku jadikan hubungan kita ini sebagai neraka dunia bagimu, Aisyah Anidia!"
"Aku tetap percaya, syurgaku ada pada suamiku!” kata Aisyah tak tinggal diam.
"Halah, omong kosong semua itu, dosa dan neraka tanggung sendiri-sendiri, gak usah sok peduli kamu!” kata Bramantyo kesal.
"Mas!”
Bramantyo segera mengemasi pakaian kedalam kopernya.
"Kamu mau ke mana, Mas? Kenapa semua pakaiannya dikemasi seperti ini?” tanya Aisyah bingung.
"Jika kamu istriku, maka ikutlah kemanapun suamimu pergi, aku ingin kita pergi dari sini!”
"Tapi tidak secepat ini juga, Mas, tidak bisakah menunggu sampai esok?”
"Kalau aku bilang sekarang, ya sekarang!"
Tidak memiliki pilihan lain, Aisyah pun segera mengemasi beberapa barang-barangnya, dan hanya menyisakan beberapa lembar gamis di dalam lemari pakaiannya itu.
Namun, disela-sela kesibukannya yang terburu-buru itu, Aisyah teringat sesuatu, lalu berucap,
"Kemarin ada kurir delivery, Mas, apa kamu yang membelikan semua ini, untukku?"
"Itu khimar, aku bosan melihatmu memakai hijab dengan style yang selalu sama setiap harinya, istri CEO kayak istri gelandangan saja kamu!” kata Bramantyo yang malah membuat Aisyah kepayahan menahan senyum. Ia gigit bibir bagian bawahnya karena bahagia.
"Terimakasih, Mas, ini sudah lebih dari cukup!” ucap Aisyah yang tak ditanggapi oleh Bramantyo.
Setelah selesai mengemasi barang mereka masing-masing, keduanya lalu ikut duduk di meja makan. Di sana sudah duduk ayah dan ibunya Aisyah.
"Nak Bram sudah rapih, apa akan kekantor hari ini?" tanya ayah mertua Bramantyo.
"Iya, Yah, sekalian Bram izin membawa Aisyah ke apartemen Bram, apa boleh, Yah?" ucap Bramantyo meminta izin.
Usman tersenyum.
"Pertanyaan macam apa itu, Nak? Aisyah sudah menjadi tanggung jawabmu saat ini, jadi kamu berhak atas dirinya juga,” kata Usman yang tentu saja meskipun merasa berat, namun kenyataan itulah yang harus mereka jalani.
Kewajiban seorang istri adalah berada di samping suaminya.
“Ai kamu sudah siap, Nak?” tanya Usman yang kini berganti menatap putrinya tersebut.
"Insya Allah, Aisyah siap lahir batin, Yah, kamanapun suami Aisyah pergi, maka Aisyah wajib mendampinginya."
"Alhamdulillah, jaga kehormatan suamimu , ,Nak, jaga juga fitrahmu sebagai seorang istri."
Aisyah mengangguk pelan, dadanya masih terasa sesak jika mengingat ucapan Bram sebelumnya tadi.
"Assalamualaikum, Ayah, Ibu, Bram sama Aisyah pamit, kita akan sering berkunjung ke sini,” ucap Bramantyo berpamitan.
Bramantyo menggamit satu tangan Aisyah, gerakan yang membuat Aisyah reflek menoleh dengan tatapan herannya.
"Jangan ge'er kamu, itu sebagian sandiwara yang harus kita perankan di hadapan kedua orang tua kita nantinya." Bramantyo berkata seolah tanpa rasa bersalah sama dalam menanggapi raut wajah Aisyah.
"Aku tau, dan akan aku jalani lakonku sebagai istri sahmu, Mas."
"Bagus, ternyata menikah denganmu membawa sebuah keuntungan juga buatku, Ai."
Aisyah menoleh meminta penjelasan atas kalimat ambigu yang diucapkan oleh Bramantyo.
"Terimakasih, karena dengan menikahimu aku bisa lebih bebas bertemu dengan Sofi, tanpa harus takut ketahuan Papa ataupun Mama, ingat jangan jadi istri pengadu, itu akan membuatku semakin ilfeel saja sama kamu!”
"Silakan kamu bermain api dengan pernikahan ini, Mas, tapi ingat jangan pernah kamu membawa pulang gundikmu itu ke rumah kita, dan akan kutunjukan kepada kalian betapa banyak hak-hak yang tak mungkin didapatkan oleh wanita yang hanya menjadi simpananmu saja.
bahkan untuk sekedar mengenalkannya di hadapan orang tuamu pun kamu tak memiliki keberanian, dan bersembunyi di balik tameng pernikahan kita ini, dan yang harus kamu tau, Mas, aku tidak pernah mengadukan apapun tentangmu kepada Mama dan Papa.
Dan jika suatu hari nanti mereka mengetahui tentang kebejatanmu ini, maka itu adalah takdir Allah yang bekerja untukmu, mudah-mudahan sebelum itu terjadi, hidayah sudah datang menghampirimu, Mas, aamiin,” ucap Aisyah dengan suara lirih dan ujung kelopak yang sudah tebal dan menghangat.
Namun, hal itu tidak juga digubris oleh Bramantyo.
Aisyah memalingkan wajahnya melihat jalanan yang ramai di pagi hari.
Keduanya sudah sampai di depan pintu apartemen milik Bramantyo.
Tit, tit, tit!
Bramantyo tampak menekan tombol hingga pintu pun terbuka.
Sebuah apartemen dengan mini bar dan satu kamar tidur, Aisyah merebahkan tubuh lelahnya pada sofa panjang di ruangan tamu apartemen milik Bram.
Sementara Bram masuk ke dalam kamarnya.
“Sebaiknya untuk saat ini, semua hal yang berkaitan dengan Sofi harus kusimpan!” kata Bramantyo yang mulai mengemasi satu persatu fhoto Sofi yang terpajang pada dinding kamarnya.
Aisyah bangun saat mendengar pintu apartemennya berbunyi, ia melangkah demi untuk melihat siapakah gerangan yang bertamu di pagi hari begini?
"Siapa, ya?” kata Aisyah, wanita berbadan mungil itu pun mengintai dari balik gorden di samping pintu. Sesaat kemudian, dia pun membukanya.
"Maaf saya mencari kekasih saya, bisa beri saya jalan?" Wanita dengan pakaian seksi itu berusaha menerobos masuk, namun Aisyah tak tinggal diam.
"Suami saya sedang tidur, karena kelelahan sejak semalam kami tidak tidur barang semenit saja, silakan menunggu di luar, ini area privasi suami istri, bukan area sejoli memadu kasih!” ucap Aisyah yang membuat si wanita menatap kesal terhadap dirinya.
"Cih, nikah dijodohin aja bangga kamu ya, sudah pinter bicara sekarang rupanya?” katanya tak ingin kalah dari ucapan Aisyah.
"Tentu saya bangga, status saya jelas, tubuh saya halal untuk disentuh oleh suami saya, sedangkan Anda? Hanya sekedar untuk menerima panggilan dari Anda saja, suami saya harus pura-pura sakit perut, lalu pamit ke kamar kecil. Apakah hal itu yang Anda bangga-banggakan?”
Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram
Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian
Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah
Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be
"Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj
Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .