Air Mata di Hari Persandingan

Air Mata di Hari Persandingan

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-25
Oleh:  Al KahfiOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
33Bab
269Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Menikah dengan atasannya sendiri, awalnya adalah mimpi indah yang terkabulkan bagi seorang Aisyah Anidia. Namun, bagaimana jika ternyata Bramantyo, pria yang menikahi dirinya itu tidaklah tulus menerimanya sebagai seorang istri? Pria itu hanya bersandiwara di depan kedua orang tua mereka. Wanita idaman lain, tekanan mama mertua, dan juga sikap sang suami yang tidak pernah menganggap kehadirannya adalah sebuah penderitaan lahir maupun bathin bagi seorang Aisyah Anidia. Bagaimana dia bertahan dalam menjalani biduk rumah tangga, tanpa cinta dari suaminya, Bramantyo Laksono? Haruskah dia berjuang sendirian? Lalu, bagaimana jika suatu hari kejadian buruk menimpa suaminya ? Akankah Aisyah tetap setia ataukah memilih menyerah lalu pergi? Ikuti kisahnya dengan terus membaca novel ini!

Lihat lebih banyak

Bab 1

Chapter 1. Sah!

"Saya terima nikahnya, Aisyah Anidia binti Umar Al-hamid dengan mas kawin yang tersebut!”

“Sah, alhamdulillah!”

Doa-doa pun dilangitkan menandai babak baru dua insan manusia tersebut.

Setelah akad nikah tak ada pesta meriah atau pun perayaan spesial yang lainnya, itu adalah syarat mutlak yang diajukan mempelai pria jika kedua orangtuanya menginginkan pernikahan antara dirinya dengan gadis pilihan ayahnya itu segera dilaksanakan.

Pernikahan dilaksanakan dikediaman orangtua mempelai wanita. Kedua orangtua mempelai pria sudah pamit pulang beberapa jam setelah akad nikah putranya.

"Mas, mau kubuatkan minuman hangat atau dingin?" Wanita berhijab putih itu beringsut dari duduknya mendekati pria yang kini sudah sah menjadi suami dan imam untuk dirinya.

"Gantilah dulu pakaianmu itu, Aisyah, aku risih melihatnya, kelihatan sekali kalau dirimu itu sangatlah kampungan, kenapa kamu tidak memilih gaun yang sesuai dengan kastamu saja heh?" hardik sang suami dengan tatapan sinisnya terhadap wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu.

"Gaun ini adalah pilihan Mama, Mas, maaf jika kamu tidak menyukainya, seharusnya aku minta pendapat darimu sebelum mengenakan gaun pengantin ini." Aisyah mulai melepasi pernak-pernik pengantin yang beberapa masih menempel di tubuhnya.

"Aku tidak butuh permintaan maaf dari bibir sok sucimu itu. Dan satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah ikut campur apapun urusanku, kita menikah hanya sekedar status saja, kamu tau, aku tidak pernah mencintai dirimu, dan kamu bukan lah tipeku, jadi stop memberi perhatian dengan macam-macam pertanyaanmu itu, aku muak!"

Dada Aisyah bergemuruh hebat, ujung kelopak matanya pun sudah mengembun juga menghangat.

Inikah awal yang sangat dia impikan? Bersanding dengan pria yang katanya sholeh, tampan dan sudah tentu mapan, namun ternyata sanggup membuat airmatanya meleleh di hari pertama pernikahannya?

"Menikah adalah ibadah, Mas, kamu adalah jembatanku untuk sampai ke syurga-Nya, aku mohon rubah ucapanmu, Allah tidak menyukai kalimat seperti itu," pinta Aisyah yang masih belum beranjak dari duduknya.

Sang suami pun menoleh dengan bibir menyungging, lalu berkata,

"Dia malah ceramah, anda salah orang, Ukhty. Saya sudah tau tentang apa yang baru saja kamu bicarakan, jadi jangan coba-coba menggurui saya, paham?”

Aisyah menengadahkan wajahnya coba menahan agar bulir bening itu tak jatuh, air matanya terlalu murah jika harus menangis hanya karena kata-kata kasar suaminya.

"Kamu mau kemana, Mas?" Aisyah berdiri untuk menggapai ujung jas sang suami, namun suaminya itu malah menghempaskan tangannya dengan kasar.

"Jangan sentuh aku, dan jangan ikut campur semua urusanku, aku tidak berkewajiban menjelaskan itu semua kepadamu, jangan membuatku emosi dengan segala macam pertanyaanmu itu!"

"Tapi aku berhak tau, Mas, karena sekarang ada aku istrimu, dan apa yang akan aku katakan jika Ayah dan Ibu menanyakan keberadaanmu, apa?" kata Aisyah dengan suara pelan, dia tidak ingin orang tuanya mendengar tentang perkataan kasar suaminya itu.

"Kenapa ribet banget sih hidupmu ini? Tinggal bilang tidak tau saja, apa susahnya, apa perlu aku beri catatan, tentang kalimat yang harus kamu ucapkan jika ada yang menanyakan keberadaanku, iya?”

"Kamu salah, Mas, bukan itu maksudku. Tak bisakah tinggal sejenak di sini, agar aku tak bingung seorang diri, kamu itu suami ku, bukan hanya sekedar atasanku lagi?”

"Halah, nggak usah drama dengan kalimat sok puitismu itu, Aisyah, apa kamu pikir aku akan kasihan?”

Pria bertubuh kekar itu segera menanggalkan jas hitamnya, lalu ia ganti dengan t-shirt hitam polos dan juga celana chargo selutut sebagai bawahannya.

Aisyah tak berniat untuk mencegahnya, awal yang indah namun teramat menyakitkan.

"Lho Nak Bram, mau ke mana?" Seorang pria paruh baya datang dari arah dapur menghampiri Bramantyo yang akan masuk kedalam mobilnya.

"Ayah, maaf, Yah, Bram izin keluar sebentar, karena Aisyah minta dibelikan beberapa lembar khimar pada Bram," kata Bramantyo berusaha meyakinkan ayah mertuanya itu.

Sang mertua tersenyum bahagia, lalu mempercepat langkah kakinya.

"Aisyah mana, kok nggak ikut?" ucap pria paruh baya itu dengan senyum sumringah.

Bramantyo tersenyum palsu, "Katanya capek, Yah, Bram pergi sendiri saja, paling nanti kalau pesanannya nggak sesuai, tinggal ditukar saja," katanya lagi.

"Alhamdulillah, Aisyah beruntung sekali mendapatkan suami seperti Nak Bram ini, maafkan Aisyah, Nak, dia belum banyak mengerti tentang statusnya sebagai seorang istri, selalu bimbing dia ya, tegur jika dia keliru, nasihati jika ucapannya salah," pinta sang mertua yang tentu saja mendapat anggukan penuh kebanggaan dari Bramantyo.

"Itu pasti, Yah, Ayah tidak perlu mengkhawatirkannya, selama bersama saya, Aisyah pasti bahagia."

"Aamiin, Ya Robb, ya sudah berangkatlah!”

Bramantyo masuk kedalam porsche hitam metalik miliknya.

Ia melaju dengan kecepatan kencang menuju ke sebuah perumahan yang belum terlalu ramai penghuninya.

"Sayang, kenapa lama sekali sih, pasti kamu abis mesra-mesraan ya sama istri kontrakmu itu?” Seorang wanita dengan rambut sebahu dan pakaian press body tampak keluar dari dalam rumah tersebut, ia bergelayut manja di lengan Bramantyo, yang mengelus pelan puncak kepalanya.

Beberapa menit kemudian,

"Kamu mau langsung pulang, Bram, nggak nginep di rumahku?” tanya sang wanita manakala kini Bramantyo mulai melirik jam di tangannya.

"Saat ini aku masih tinggal di rumah mertuaku, Soff, jangan sampai sandiwaraku ini terbongkar lebih cepat, bisa kena serangan jantung nanti papaku, aku pamit dulu yah, jika butuh apapun segera hubungi aku, ini credit card untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu, gunakanlah sesukamu!”

"Makasih, Sayang, kamu memang yang terbaik!” cakap Soffia yang masih bergelayut manja di lengan Bramantyo.

Bramantyo berlalu meninggalkan kediaman sofia sekretaris di kantornya, sementara Aisyah sendiri menjabat sebagai staf personalia di perusahaan milik orang tua Bramantyo tersebut.

Bramantyo tak melupakan kebohongannya terhadap sang ayah mertua, ia pun masuk ke dalam toko busana muslimah, lalu memilih beberapa lembar khimar dengan berbagai warna.

"Semuanya satu juta enam ratus ribu rupiah ,Mas"

"Kemas segera, delivery atas nama Aisyah Anidia, dengan alamat yang tercantum di sini!” kata Bramantyo seraya menunjukkan alamat yang dia simpan di layar ponselnya.

Setelah semuanya beres Bramantyo kembali singgah di sebuah Cafe resto.

"Wih, pengantin baru kok udah kelayaban aja lo, Bram, nggak takut kena sawan pengantin apa?"

Bramantyo mencebik mendengar ledekan salah satu temannya yang memang sering nongkrong di tempat ini.

"Zaman udah canggih juga, lo masih percaya mitos kaya itu, Rick, please move on, Bro, lo bukan hidup di zaman batu, woi!” timpal seorang pria dengan topi hitam yang bertengger di kepalanya.

"Ada nggak, omongan yang lebih jijik lagi daripada pembahasan kalian ini hah? Geli gua dengernya." Bram menarik salah satu kursi yang masih kosong lalu menyesap minuman sodanya hingga habis.

"Sabar, Bro, pengantin baru nggak boleh marah-marah, nanti Nyonya Bramantyo pangling!"

Hahahha!

Suara tawa terbahak-bahak pun pecah di tempat itu, Bramantyo hanya tersenyum lalu meraih handphone-nya yang berdering.

"Mas, kamu di mana, ini udah masuk waktu sholat magrib?”

Tut!

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
33 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status