Beranda / Rumah Tangga / Air Mata di Hari Persandingan / Chapter 2. Tak seindah malam pertama

Share

Chapter 2. Tak seindah malam pertama

Penulis: Al Kahfi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 16:26:40

"Gua  duluan ya, kalian puas-puasinlah nongkrong di sini, tunjukin aja kartu nama gua!”

Setelah berucap demikian, Bram pun keluar dari Cafe tersebut, ia lajukan Toyota Porsche-nya dengan sedikit lamban, sungguh ia malas sekali pulang ke rumah orangtua Aisyah malam ini. 

Bram menepikan kendaraannya di halaman sebuah penginapan sederhana. 

Setelah melakukan reservasi, Bram pun kini sudah berada di kamar penginapannya. 

Drett! 

Ponselnya kembali bergetar, namun ia biarkan saja, ia pun memilih memejamkan matanya. 

Namun, baru beberapa menit dia tertidur, 

Drett! 

Bramantyo terjaga saat handphonenya kembali berdering dan kali ini lebih lama. 

"Siapa sih, malam-malam gini, ganggu orang istirahat aja?" gerutunya dengan mata yang belum terbuka sempurna. 

"Papa?"  ucapnya lirih sebelum mengklik tombol hijau pada layar ponselnya. 

"Iya, Pa, ada apa?"

"Pulang ke rumah sekarang juga!"

"Ru  …rumah siapa, Pa?" ucapnya sedikit terbata. 

"Ya rumah istrimulah, rumah siapa lagi? Jangan berulah jika masih ingin duduk manis di perusahaan Papa!"

"Bram pulang sekarang, Pa!" ucap Bramantyo tidak berani menolak perintah ayahnya itu. 

Bramantyo mendengkus kesal, seraya merapikan tshirt dan rambutnya yang acak-acakan. 

"Dasar pengadu, pasti dia yang bilang ke Papa!” kata Bramantyo mengumpat. 

Bram keluar dari kamar penginapannya, namun baru beberapa langkah ia keluar, terdengar suara gaduh dari salah satu kamar yang paling ujung, Bram tak menghiraukan suara berisik tersebut. 

Namun tiba- tiba saja, seorang pria berlari ke arahnya, lalu, 

Brett! 

Sebuah benda tajam menyabet lengannya, Bram tampak meringis merasakan nyeri pada tangannya, namun si pria sudah tak ada d isana. 

Bramantyo berusaha abai dan tak kepedulikan lukanya itu, namun saat dia berniat mengambil ponsel di saku celananya, 

"Sial, jadi pria tadi pencuri?” kata Bramantyo kesal. 

Sementara itu di kediaman orang tua Aisyah. 

"Ai, suamimu kok belum pulang juga, apa sudah kamu telepon?" Sang ayah menghampiri Aisyah yang tengah melipat mukenah di tempat sujudnya. 

"Barusan mas Bram telepon, Yah, dia bilang saat ini jalanan sangat macet, mungkin dia akan sedikit terlambat sampai di rumah." Dengan helaan nafas yang berat, Aisyah menjawab pertanyaan ayahnya. 

Usman mengangguk, kemudian berlalu dari kamar Aisyah. 

Sesak di dada Aisyah semakin berat saja, karena Bramantyo tak kunjung menjawab panggilan darinya. 

"Ini malam pertama kami, tapi kenapa sedikitpun tak kulihat kebahagiaan di wajahmu, Mas? Apa harus seberat ini perjuanganku untuk menjadi istrimu, sebegitu menjijikkankah diriku di matamu, Mas, apa suaraku juga mengganggu konsentrasimu? 

Dengan siapa dan di mana dirimu saat ini, Mas, oh Allah, kenapa niat baikku harus diterjang badai terlalu dini, tak bolehkah aku merasakan manisnya jadi pengantin baru, syahdunya malam pengantin, merdu suaranya saat berbisik mesra membangunkan tidurku di pelukannya?

Apakah itu semua tak layak untukku, Allah, ataukah dia yang terlalu sempurna, lalu diriku yang terlalu hina?"

Aisyah menyeka airmata yang mengalir deras di pipinya, lalu ia pun segera meraih ponselnya yang tiba-tiba bergetar. 

"Assalamu'alaikum, Ma," ucap Aisyah menyapa mama mertua yang menghubunginya itu. 

"Ai, apa Bram nggak ada di rumah sekarang? Mama hubungin kok nggak direspon?"

"Mas Bram keluar sebentar, Ma."

"Ini sudah hampir tengah malam lho Ai, ngapain dia keluar malam-malam begini kok belum pulang, udah kamu telpon?"

"Sudah, Ma, maaf tadi Aisyah yang minta Mas Bram untuk membelikan sesuatu." Sekuat hati Aisyah menahan suaranya agar tak terisak, sungguh payahnya malam pengantinnya ini. 

"Kenapa ceroboh sekali kamu Ai, belum juga ganti hari, anak saya sudah kamu suruh-suruh aja, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk atas Bram gimana, Ai? Dasar menantu udik!"

Aisyah menjauhkan ponsel dari telinganya, menghindari suara sang mama mertua yang sebenarnya jauh lebih sakit jika dimasukkan kedalam hati dan pikirannya, namun ia tak sempat menjawab ocehan sang mertua, karena sambungan telepon telah berakhir. 

Pandangan mata Aisyah teralih, 

wanita berhijab itu melihat pada sebuah kotak dengan plastik putih sebagai pembungkusnya. 

"Khimar, sebanyak sepuluh lembar, ini atas namaku, tapi dari siapa?" kata Aisyah bingung, lalu ia cermati setiap sisi dari kotak tersebut tanpa berniat membukanya. 

Aisyah tak dapat memejamkan matanya barang sedetikpun, pikirannya berkelana memikirkan keberadaan suaminya itu. 

Kriek! 

Aisyah membalikkan tubuh, ketika pintu kamarnya terbuka perlahan. 

"Mas Bram?" Aisyah membantu Bram yang berjalan sedikit sempoyongan dengan baju yang menguarkan bau anyir di bagian lengannya. 

"Kenapa ini Mas, siapa yang melakukan ini semua terhadapmu?" tanya Aisyah terlihat begitu khawatir dengan keadaan suaminya itu. 

Aisyah segera membersihkan luka yang sedikit menganga di lengan kiri Bram. 

"Kamu kecelakaan atau bagaimana,  Mas?" kata Aisyah bingung, dia yang baru pertama kali berada sedekat ini dengan sang suami. 

"Selesaikan saja tugasmu, nggak usah bawel!"

Aisyah tersenyum simpul mendengar kalimat yang diucapkan oleh Bramantyo, walaupun masih bernada ketus,tapi setidaknya sudah tidak sekasar tadi. 

"Malah senyum-senyum nggak jelas, linglung kamu ya, karena malam pertamamu tak semanis madu?"

"Malam ini belum berakhir, Mas, masih menyisakan beberapa jam lagi" ucap Aisyah dengan menundukkan wajahnya.

Dia hanya tidak ingin membuat suasana yang sudah sedikit lebih membaik ini akan berubah lebih buruk karena dia yang  salah berucap. 

Bramantyo tersenyum smirk melihat tingkah laku Aisyah yang sedikit berbeda malam ini. 

"Apa yang menjadi alasanmu, sehingga rela menjadi bukan dirimu malam ini?" 

Aisyah melihat dengan ujung matanya, ia tak berani menunjukkan merah pipinya di hadapan sang suami, bisa habis dia malam ini, remuk redam tak bersisa, bahkan akan terus di ungkit dan ungkit lagi oleh pak CEO di kantornya ini. 

"Semua karena baktiku kepadamu, Mas" jawab Aisyah dengan suara lirih. 

"Sudahlah, aku ngantuk, mau tidur!” Bramantyo membenahi posisinya menelungkup ke samping membelakangi Aisyah yang masih menatap punggung kekarnya. 

"Mungkin bukan malam ini, tapi aku yakin  malam itu akan kita lewati dengan teramat syahdu, lebih hangat dari malam menjelang pagi ini," bathin Aisyah yang beringsut menuruni ranjangnya. 

“Hamba tahu ini berat, Robb, tapi, Engkau juga Maha Tahu, jika hamba pasti mampu.”

Aisyah mendongak dengan tangan menengadah, mengadukan semua kesedihan dan juga kegundahan hatinya kepada Sang Maha Cinta, pemilik hidup dan matinya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 33. Kekejaman Adrian 1

    Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 32. Selebar Daun Kelor

    Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 31. Memulai hidup yang baru

    Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 30. Membawamu pergi

    Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be

  • Air Mata di Hari Persandingan   29. Prahara

    "Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 28. Di mana mereka?

    Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status