Beranda / Rumah Tangga / Air Mata di Hari Persandingan / Chapter 5. Peringatan untuk Bramantyo

Share

Chapter 5. Peringatan untuk Bramantyo

Penulis: Al Kahfi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-12 13:33:12

Melihat wanita itu hanya diam meskipun dengan wajah merah padam menahan amarah, Aisyah pun kembali berucap,

“Anda tau tempat yang paling disukai sayton? Yaitu kamar mandi dan segala macam teman-temanya, dan di tempat itulah kalian membicarakan tentang asmara terlarang kalian ini, sungguh sangat rendah sekali tempat kalian di muka bumi, apalagi di akhirat nanti, innalillahi,” ucap Aisyah lagi. 

"Jaga bicaramu wanita perebut kekasih orang!”

"Dan jaga attitude-mu wanita penggoda suami orang!”

Wanita itu tidak peduli, lalu mendorong tubuh Aisyah hingga wanita berhijab itu hampir saja jatuh. 

"Bram, Bram, keluarlah, ini aku Soffi datang, bukankah kamu sudah berjanji untuk bertemu denganku siang ini? Bram!” Soffi terus saja memanggil nama Bramantyo dengan berteriak. 

Aisyah tersenyum tipis, dia melihat tak ada pergerakan dari dalam kamar sang suami. 

"Apa perlu saya panggilkan pihak keamanan apartemen ini untuk membantu Anda keluar, Nona?” 

"Bram!" teriak Soffi dengan langkah setengah berlari, namun langkah kakinya terhenti saat melihat Bramantyo keluar hanya dengan mengenakan boxer dengan panjang di atas lutut bahkan tanpa atasan yang sukses menampilkan otot otot sixpack milik pria itu. 

"Kamu sedang bicara sama siapa sih, Ai? Kenapa berisik sekali, aku capek mau istirahat!" ucapnya dengan mata yang belum terbuka sempurna. Jalannya pun masih sedikit sempoyongan. 

Aisyah tersenyum simpul mendengar ucapan sang suami yang diyakini nyawanya belum terkumpul seratus persen, hingga kalimatnya sedikit ngelantur itu. 

"Kamu dengar sendiri,kan? Aku tidak sedang berbohong, suamiku capek, mau tidur,jadi silakan anda keluar, masih gak percaya juga? Apa butuh bukti tanda perhelatan akbar yang kami gelar semalam di atas ranjang, iya?” ucap Aisyah yang kini sudah kembali berdiri. 

"Dasar wanita sialan, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan hari ini!” kata Soffi masih tak terima, jika Bramantyo ternyata tak menghiraukannya karena Aisyah. 

"Seharusnya Anda sadar, bahwa ini adalah buah dari benih yang Anda semai, tidak usah membenarkan kesalahan Anda dengan hasil yang tidak sesuai dengan rencana kalian, karena percuma, kamu hanya akan merasakan lelah tanpa adanya hadiah, apalagi pengakuan."

Soffi berlalu tanpa mengucapkan kalimat apapun lagi kepada Aisyah, sementara Aisyah bergegas masuk ke dalam kamar, di sana kini Bram sudah kembali terlelap.

"Sepertinya Mas Bram benar-benar kelelahan, biar aku telepon Papa agar Mas Bram bisa istirahat saja hari ini,” ucap Aisyah, kemudian wanita dengan ukuran tubuh setinggi dada Bramantyo itu pun maraih benda pipih miliknya yang tergeletak di atas nakas. 

"Assalamu'alaikum, Pa, ini Aisyah.”

"Iya Ai, ada apa menghubungi, Papa? Bram-nya mana, apa dia pulang ke rumah tadi malam?"

Aisyah terdiam,"Rupanya Papa yang memerintahkan Mas Bram pulang ke rumah malam tadi, pantas saja, tapi luka di lengannya itu, siapa yang sudah melakukannya?" kata Aisyah biingung di dalam hati. 

"Ai, apa kamu masih di situ, kenapa nggak jawab pertanyaan Papa, apa Bram nggak pulang semalam?" 

"Mas Bram pulang kok, Pa, dan sekarang kami sedang ada di apartemennya-nya Mas Bram."

"Apartemen? Kenapa nggak pulang ke rumah Papa saja? Mana Bram? Anak itu memang selalu saja gegabah, apa tidak bisa bicara dulu sama orang tua sebelum bertindak?” kata ayah mertua Aisyah kesal. 

"Mas Bram sedang tidur, Pa, sepertinya Mas Bram  kelelahan, Pa."

"Kelelahan apa maksudmu Ai?”

Aisyah terdiam, rupanya ucapan yang dia lontarkan kepada Soffi tadi masih terngiang-ngiang hingga saat ini dan berakhir keceplosan ketika ia sedang berbicara dengan mertuanya. 

"Bukan seperti itu, Pa, maksud Aisyah, Mas Bram pulang ke rumah dengan tangan terluka, Pa." Aisyah coba untuk mengalihkan pertanyaan papa mertuanya itu. 

"Ya sudah, pulang dari kantor Papa sama Mama akan ke tempat kalian!"

"Terima kasih, Pa!"

Aisyah sedikit tenang kini, setidaknya ada papa mertua yang mulutnya tak setajam sembilu, bagaikan ibu mertua dan suaminya itu. 

Aisyah membereskan semua pakaiannya dan juga pakaian Bramantyo untuk ia masukan kedalam walk in closet yang ada di apartemen Bramantyo ini. 

"Kamu masak apa Ai? Aku lapar nih."

Aisyah bergegas mendekati sang suami yang sudah segar setelah mandi siang ini. 

"Adanya ini, Mas." Aisyah menunjukan layar ponsel yang menampakan telur dan sosis dalam lemari pendinginnya. 

"Ya sudah, kita makan di luar saja, cepatlah ganti pakaian dan hijabmu itu, jangan terlalu lama, aku bukan pengangguran dengan segudang waktu."

Aisyah segera bergegas, namun sedetik kemudian dia berhenti lalu menoleh kepada sang suami. 

"Apa lagi?" Bram tampak semakin kesal. 

“Bukannya ganti baju, malah diam kayak patung pancoran saja. Apa?” kata Bramantyo lagi. 

"Aku lupa bilang sama kamu, Mas."

"Kalau ngomong itu langsung ke intinya saja nggak usah pake mukadimah juga kal,i Ai, kayak mau minta surat cerai saja kamu!”

"Astaghfirullah, perumpamaan mu kenapa horror banget sih Mas, nggak ada kalimat yang lain apa?" ucap Aisyah dengan wajah terkinja tak percaya. 

"Ya udah buruan ganti, tunggu apalagi?” 

"Papa sama Mama akan ke sini sepulang dari kantor Mas."

Bram segera menutup laptopnya. 

"Pasti kamu ngomong macem-macem sama Papa, kan? Sudah aku duga, mana buktinya kamu bilang tidak akan mengadukan apapun tentang rumah tangga kita ini? Tong kosong nyaring bunyinya, nyatanya kamu nggak tahan, kan?"

"Aku bilang sama Papa, jika kamu pulang dengan tangan terluka, hanya itu, Mas, tidak ada lainnya lagi, apalagi tentang si ulat bulu sekretarismu itu, aku sama sekali tidak menyinggung nya barang secuilpun!”

"Ulat bulu, maksud mu Soffi, kapan dia menemuimu, kenapa tidak memberitahuku?"

"Sebegitu antusiasnya dirimu, Mas, bahkan saat aku belum menyebut namanya pun kamu sudah langsung menebak bahwa itu adalah dia, girangnya seperti kucing melihat ikan asin bakar!" 

Aisyah kesal melihat ekspresi Bram yang langsung bersemangat manakala mendengar ia menyinggung tentang wanita selingkuhannya itu. 

"Heh, aku bukan kucing ya, dan dia bukan ikan asin!” kata Bramantyo menolak ucapan Aisyah. 

"Belain terus, kamu rela meninggalkan yang halal, demi yang haram, Mas, teruskanlah! 

Iya, dia ke sini tadi pagi, tapi kamunya tidur, tentu aku tidak mengizinkannya untuk masuk ke kamar kita, apalagi mengganggu istirahatmu!"

Tit, tit, tit! 

Bram segera menarik Aisyah agar tidur di pangkuannya kini. 

"Akan aku bayar mahal jika kamu berhasil memerankan sandiwara kita kali ini dengan sempurna, Ai, sekarang pejamkan matamu, pura-pura tidur saja!” kata Bramantyo memberi perintah kepada Aisyah. 

"Aku tidak mau dibayar dengan uang ya, jangan ingkar janji!”

"Laki-laki yang dipegang adalah janjinya!” cakap Bramantyo berusaha meyakinkan Aisyah. 

"Bram, Aisyah, di mana kalian?" Suara seorang perempuan terdengar  semakin  dekat. 

"Mama, Papa, maaf Aisyah ketiduran di sini. Mas kenapa kamu nggak bangunin aku?” Aisyah bangun, lalu membenahi hijabnya yang sedikit berantakan dan hal itu pun diikuti pula oleh Bramantyo. 

"Mas tau kamu baru saja terlelap, mana tega membangunkanmu, Ai?” Mereka kini menjadi perhatian kedua mama dan papa Bramantyo. 

"Handphonemu mana, Bram, kenapa Papa hubungi nggak ada respon dari semalam?" ucap sang ayah. 

"Handphone Bram hilang, Pa," jawab Bramantyo bicara jujur.

"Di mana, kapan?" 

"Tadi malam di Cafe, Pa, maaf!" kata Bramantyo dengan kepala tertunduk. Sesekali ia melihat kepada Aisyah yang ternyata juga tengah menoleh kepada dirinya. 

"Kamu dugem, Bram? Terus Aisyah kamu tinggal di rumah di malam pertama kalian? Benar itu, Ai?" ucap sang ayah menatap bergantian kedua anak dan menantunya itu. 

"Kenapa harus sedini ini peran sandiwaraku dimainkan? Lalu aku harus jawab apa? Sedangkan Mas Bram sendiri sudah mengakui awal perbuatannya itu terhadap papa," bathin Aisyah dalam diamnya. 

"Ai, Papa tanya, dan kamu jangan coba-coba melindungi sontoloyo ini ya," ucap l sang papa dengan pandangan mata jengah kepada Bramantyo. 

"Pa?" Kini giliran sang mama yang protes atas ucapan suaminya tersebut. 

"Mama juga, stop membela Bram, dia harus bisa bertanggung jawab, sekarang dia adalah kepala keluarga, bukan anak manja yang bisa semaunya sendiri, dia pikir menikah itu cuma urusan ranjang saja apa? Kayak ABG baru disunat saja, lihat lintingan tembakau langsung ileran!"

"Papa perumpamaannya kenapa sadis banget sih, Pa? Bram mana pernah ngisep tembakau?” kata Bramantyo tak terima dengan perumpamaan yang diucapkan papanya. 

"Itu karena otakmu yang sudah nggak beres, Bram, sebenarnya masih banyak perumpamaan yang lebih sadis lagi yang akan Papa ungkapkan di sini. 

Inget, orang-orang kepercayaan Papa,24 jam mengawasi kamu secara bergantian, jadi percuma jika kamu ingin mengelabui Papa!” 

“Aisyah!” kata sang mertua, yang kini berganti tatap kepada menantunya itu. 

Aisyah mendongak, menunggu kalimat dari bibir Papa mertuanya tersebut. 

"Mulai sekarang, apapun yang suami kamu lakukan, jika itu bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, jangan takut untuk menghubungi Papa, kamu istri sahnya bukan istri siri apalagi hanya sekedar wanita simpanan. Jangan mau harga dirimu diinjak-injak oleh wanita lain!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 33. Kekejaman Adrian 1

    Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 32. Selebar Daun Kelor

    Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 31. Memulai hidup yang baru

    Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 30. Membawamu pergi

    Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be

  • Air Mata di Hari Persandingan   29. Prahara

    "Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 28. Di mana mereka?

    Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status