Home / Rumah Tangga / Air Mata di Hari Persandingan / Chapter 6. Di rumah sakit

Share

Chapter 6. Di rumah sakit

Author: Al Kahfi
last update Last Updated: 2025-01-31 09:49:22

"Ingat pesan Papa, Ai, nggak usah takut sama crocodile cap biawak macam Bram ini," ucap Umar lalu melihat sekilas kepada Bram.

"Ini sebenarnya yang anak Papa, Bram apa Aisyah sih? Kenapa merasa jadi anak tiri begini?" kata Bramantyo merasa tak terima dengan ucapan sang papa yang selalu saja menjelekkan dirinya.

"Diem kamu. Benerin dulu kelakuanmu, baru boleh mengajukan keberatan!" hardik sang Papa.

Aisyah tersenyum, sungguh sebenarnya ia merasa sangat berdosa karena telah menertawakan suaminya sendiri. Sementara Bram hanya diam.

Setelah kedua orang tuanya pergin, Bramantyo dan juga Aisyah pun kembali masuk ke dalam apartemen mereka.

"Mas, boleh aku lihat luka di lenganmu?" tanya Aisyah yang kini ikut duduk di samping Bramantyo.

"Nggak usah sok perhatian, kamu pasti bahagia banget, kan, karena sekarang Papa ada di pihakmu?" ucap Bramantyo dengan tatapan tak suka, namun Aisyah hanya menggeleng.

"Halah, nggak usah ngelak, percuma aku nggak akan percaya!" kata Bramantyo bertambah kesal.

"Boleh aku tau cerita nya, Mas, siapa yang sudah melukai lenganmu ini?" Aisyah membuka perban yang membalut tangan sang suami. Ia tak peduli dengan tatapan tajam suka dari Bramantyo untuk dirinya.

"Kamu ini ya, orang ngomong apa kamu jawabnya apa? Dan untuk apa kamu tau, pasti ujung-ujungnya kamu bakalan menertawakanku! " Bram kesal tapi ia tidak menolak saat Aisyah membersihkan lukanya yang masih sedikit basah.

"Kenapa su'udzon terus sih, Mas sama istri sendiri? Aku istrimu lho, bukan istri tetangga!" Dengan telaten dan penuh kehati-hatian Aisyah merawat luka Bramantyo.

"Karena aku nggak cinta sama kamu Aisyah Anidia. Kenapa maksa banget sih buat jadi istri aku? Kamu sudah tau kan jika aku ini sudah menjalin hubungan dengan Soffi cukup lama, lalu apa alasanmu menerima begitu saja pernikahan paksa ini?" Bramantyo berkata tanpa rasa bersalah sedikitpun kepada Aisyah.

Aisyah mendongak, menghentikan aktivitas tangannya sejenak, lalu berkata,

"Aku hanya sedang menjalankan lakonku sebagai seorang hamba, Mas. Tidak ada maksud lain, untuk apa aku menggugat Tuhan, nyatanya walaupun tangisku berubah darah, ketetapan Allah itu mutlak.

Jadi pilihannya ya Ikhlas, saat kita ikhlas maka apa yang sebelumnya kita benci akan menjadi sumber kebahagiaan untuk kita, nggak usah capek-capeklah buang-buang energi dengan segala macam alibi kita, nyatanya kita hanyalah hamba yang jauh dari kata sempurna, jauh, Mas, mendekati saja tidak.

Lalu apa yang kita sombongkan, dan untuk perasaanmu terhadapku, aku percaya filosofi batu dan air." Aisyah menyudahi tatapan matanya kepada Bramantyo dan kembali fokus pada luka sang suami.

"Iya, aku batu kamu airnya," ucap Bram ketus, lalu beranjak masuk kekamarnya.

"Mas kamu nggak lapar? Kita belum makan siang lho!" kata Aisyah yang memilih menyudahi rasa penasarannya terhadap luka di lengan Bramantyo.

"Gofood aja!" jawab Bram singkat, lalu pria bertubuh kekar itu pun duduk di atas ranjangnya.

Aisyah mengangguk, lalu membuka laman media sosialnya, tak lama kemudian pesanan pun datang.

Beberapa menit kemudian, makanan itu pun sudah habis tak bersisa di atas meja makan, saat Aisyah hendak mengemasi beberapa piring kotor di atas meja tersebut,

"Kok tanganku gatel-gatel gini sih?" Keluh Bram seraya melihat pada lukanya yang sudah diganti dengan perban yang baru oleh Aisyah.

Aisyah menjeda aktivitasnya, lalu mendekat kepada Bram,

"Sakit nggak, Mas? Kita ke rumah sakit aja ya? Aku takut lukamu kenapa-kenapa!" ucap Aisyah dengan wajah panik.

"Gak usah ke rumah sakit juga kali, Ay, ini hanya luka kecil, aku udah biasa, tapi ...?" kata Bramantyo yang kembali merasakan gatal pada lukanya tersebut. Wajah pria itu pun mulai memerah.

Aisyah memberanikan diri untuk memeriksa suhu tubuh Bramantyo.

"Udah dibilang aku gak apa-apa, ngeyel sih!" kata Bramantyo lalu menyingkirkan telapak tangan Aisyah dari dahinya.

"Tapi detak jantungmu kenceng banget, Mas." Aisyah semakin panik, akhirnya tanpa menunggu persetujuan Bramantyo yang kekeuh menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Aisyah pun berhasil meyakinkan dan membawa suaminya tersebut.

Dan di sinilah mereka saat ini berada.

"Dokter Sindi lagi, huh!" keluh Bramantyo saat membaca papan nama yang terpampang di depan pintu ruangan dokter itu.

"Ada apa, Mas? Kenapa wajahmu terlihat lesu begitu?" Aisyah yang memang selalu memperhatikan raut wajah suaminya itu pun merasa aneh dengan perubahan wajah Bram.

"Gak ada dokter yang lain aja apa, Ai? Aku males banget kalau harus dengerin ocehannya Tante Sindi!"

Mendengar jawaban sang suami, Aisyah pun mengerti, "Ya bagus dong, Mas, ditangani sama tante Mas Bram sendiri," kata Aisyah menimpali.

"Bagus apanya? Kamu belum tahu aja, Tante Sindi itu orangnya kayak apa!"

Aisyah tersenyum, ia akan kembali berkata, namun,

"Bram!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 33. Kekejaman Adrian 1

    Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 32. Selebar Daun Kelor

    Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 31. Memulai hidup yang baru

    Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 30. Membawamu pergi

    Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be

  • Air Mata di Hari Persandingan   29. Prahara

    "Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 28. Di mana mereka?

    Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status