Share

Chapter 2

Suasana pagi yang damai. Dua pasang suami istri berbeda generasi sedang menikmati sarapan pagi. Ritual pagi di keluarga Wicaksana memang seperti ini. Semua penghuni rumah wajib sarapan pagi bersama sebelum memulai aktifitas masing-masing.

Keira menuangkan kembali air minum Panji saat melihat isinya hampir habis. Tindakannya itu dihadiahi seulas senyum manis oleh Panji.

Tidak ada seorang pun yang akan percaya kalau rumah tangga mereka sebenarnya bermasalah, apabila mereka menyaksikan keintiman mereka pagi ini. Begitu juga dengan ke dua orang tua mereka masing-masing. Di mata mereka, pernikahan anak menantu mereka sempurna adanya. Hanya ada satu hal yang mereka rasa masih kurang. Tentu saja masalah momongan. Satu setengah tahun menikah, dalam diri Keira belum juga tampak adanya tanda-tanda kehadiran calon cucu yang sudah lama mereka idam-idamkan.

"Panji, Rara. Bukannya Ibu bermaksud untuk mencampuri rumah tangga kalian. Ibu hanya sekedar ingin mengingatkan. Kalian berdua 'kan sudah lama menikah. Apa kalian tidak punya keinginan untuk memiliki momongan?" tanya Bu Tita hati-hati.

"Lagi pula Ibu sudah tidak sabar ingin menimang-nimang cucu," Bu Tita akhirnya menyuarakan keinginannya. Menurutnya mungkin sudah waktunya untuk memperingatkan anak menantunya ini akan perlunya keturunan. Panji dan Keira sepertinya terlalu sibuk hingga tidak sempat memikirkan masalah kehadiran seorang anak. Jadi tugasnya sebagai orang tualah yang menasehati mereka berdua.

"Kalian 'kan juga tahu sendiri kalau Pandu itu tidak mau menikah. Makanya harapan Ibu untuk memiliki cucu itu hanya dari kalian berdua," bujuk Bu Tita lagi. Keira dan Panji saling berpandangan. Keira yang tidak tahu harus menjawab apa, hanya diam saja. Ia takut salah bicara. Ia sebenarnya juga sedang bingung. Pagi tadi setelah Panji sadar dari mabuknya, Panji sama sekali tidak mengatakan apa-apa padanya. Sepertinya Panji tidak mengingat hal apa saja yang telah ia lakukan pada dirinya semalam. Keira bingung. Ia ragu-ragu antara ingin mengatakan hal yang sebenarnya pada Panji, atau sebaiknya ia diam saja. Ia takut pada reaksi Panji. Bagaimana kalau nanti Panji tidak mengakuinya? Atau lebih buruknya, menuduhnya telah memanfaatkan keadaannya? Bikin sakit hati saja bukan? Makanya Keira diam saja dan bermaksud untuk menyimpan peristiwa itu hanya untuk dirinya sendiri.

"Tentu saja ingin, Bu. Tetapi mau bagaimana lagi? Mungkin yang di atas belum mempercayai kami untuk mengasuh seorang anak. Sabar ya, Bu? Kalau saatnya nanti sudah tepat, pasti kami akan punya anak juga," jawab Panji kalem. Bu Tita menarik napas panjang. Selalu begitu. Setiap ia menyinggung masalah anak pada anak menantunya ini, jawabannya selalu saja sama. Ia sampai sudah hapal kata-kata yang akan diucapkan oleh anak menantunya itu.

"Bukannya Ibu tidak mempercayai maksud baik Allah ya, Nji. Tapi selain doa dan ikhtiar, kita juga harus usaha dong, Nji?" Bu Tita kini meletakkan sendok dan garpunya. Ia ingin berbicara serius dengan anak menantunya. Mungkin sudah saatnya mereka berdua harus sedikit di kerasi.

"Usaha dengan cara memeriksakan kesehatan diri, misalnya. Hal itu 'kan tidak susah untuk dilakukan, Nji, Ra. Apalagi Rara juga kerjanya di rumah sakit. Ibu ingin kalian berdua memeriksakan diri. Siapa tahu setelah itu kamu bisa hamil, Ra." Bu Tita kini melayangkan pandangan pada menantunya. Ada pengharapan besar di balik sorot matanya. Ia memang sudah sangat ingin menimang cucu.

"Makanya dulu Panji mau nikahnya dengan Keisha, Bu. Bukannya dengan Kei--"

"Tapi sekarang istri kamu itu Keira, bukan Keisha. Keisha telah meninggalkan kamu. Itu artinya dia tidak ingin menjadi istrimu. Titik. Ayah tidak mau lagi mendengar kamu menyebut nama perempuan lain terutama di hadapan istrimu sendiri. Mengerti, Panji?" Suara bentakan ayahnya menyadarkan Panji akan kesalahannya. Dengan cepat ia mengangguk dan memperbaiki ucapannya.

"Maaf, Panji tidak sengaja, Yah."

"Minta maafnya jangan sama Ayah. Tapi sama Keira. Lagi pula belum tentu juga Keira yang bermasalah. Siapa tahu malah kamu yang kurang subur. Jangan suka menghakimi seseorang sebelum kamu tahu kebenarannya," Panji menarik napas panjang. Ayahnya memang jarang berbicara. Tetapi sekalinya berbicara selalu membuat panas telinga.

"Sebaiknya kamu turuti saran ibumu. Periksakan dirimu dan Keira ke dokter. Segera cari solusi, bukan cari kambing hitam. Umur kamu sudah berapa?" ketus ayahnya lagi. Panji hanya bisa mengangguk. Kalau kata-kata ayahnya dibantah, bisa tambah panjang lagi daftar kesalahannya di mata sang ayah. Keira yang sedari tadi mengamati pembicaraan Panji dan ayah mertuanya diam saja. Ia memang tidak pernah menginterupsi apabila Panji sedang berbicara dengan ayahnya.

"Maaf, Pak. Di depan ada anak muda yang ingin bertemu dengan Bapak. Katanya namanya Robyn. Dia juga bilang sudah ada janji dengan, Bapak." Mbak Surti, ART keluarga Wicaksana memberitahukan kalau ada tamu yang ingin bertemu dengan ayah mertuanya.

"Oh iya. Suruh tunggu di ruang kerja saya saja, Surti. Saya akan segera menemuinya," sahut ayah mertuanya seraya bangkit dari kursi.

"Ra, Ayah sudah mencarikan supir pribadi untuk kamu. Robyn namanya. Robyn adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang juga sangat mumpuni dalam ilmu bela diri. Jadi ia bisa merangkap sebagai body guard kamu juga. Selain itu, Robyn ini adalah anak Pak Ahmad. Security di kantor, Ayah. Jadi kredibilitasnya tidak perlu kamu ragukan lagi," Keira mengangguk. Apapun yang diputuskan oleh ayah mertuanya, ia setuju-setuju saja. Semua toh juga demi kebaikannya juga. Ayah mertuanya kini mengalihkan pandangan pada Panji.

"Dengan adanya Robyn, ini bukan berarti kamu bisa melepaskan tanggung jawab kamu pada Keira begitu saja. Tugas Robyn di sini hanya membantumu, kalau kamu sedang berhalangan menjemput Keira. Jadi supir utama Keira itu tetap kamu. Mengerti, Panji?"

"Mengerti, Yah."

"Bagus. Sekarang antar istrimu bekerja. Suami yang baik itu tidak egois. Jangan jadikan kesibukanmu sebagai alasan melupakan seseorang yang membutuhkan perhatianmu," tandas ayah mertuanya sebelum berlalu dari hadapan mereka semua.

========================

"Mas, saya berhenti di sini saja. Kayaknya macetnya masih panjang ini. Biar saya naik--"

"Cepat turun! Jangan sampai saya diklakson-klakson mobil yang ada di belakang," bentak Panji kesal. Keira membuka pintu mobil dan dengan cepat menyandang tas, berikut botol air minumnya. Saking terburu-buru ia nyaris terjerembab ke aspal karena sepatunya tersangkut ujung karpet. Untung saja ia masih sempat berpegangan pada pintu mobil.

"Cepat tutup kembali pintu mobilnya!" seru suaminya kesal. Mobil di belakang memang terus menerus membunyikan klakson. Keira tidak habis pikir. Untuk apa mereka terus menerus menekan klakson kalau memang sedang macet. Mau diklakson sampai tombol jebol pun, mobil-mobil itu tetap tidak akan bergerak. Buang-buang energi saja bukan?

Karena jarak yang sudah tidak begitu jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja, Keira memutuskan untuk berlari saja. Lima belas menit lagi jam kerjanya akan dimulai. Makanya ia harus buru-buru kalau tidak ingin terlambat.

Akhir-akhir ini rumah sakit tempatnya bekerja, sedikit masalah. Beberapa hari lalu, ada beberapa pasien yang complain kepada pihak manajemen rumah sakit. Mereka kecewa karena tidak mendapatkan pelayanan yang baik padahal mereka sudah membayar mahal. Mereka sering mendapati petugas kesehatan yang tertidur pada saat sedang bertugas. Setiap jam dua belas malam ke atas, para petugas kesehatan, termasuk dokter dan perawat sering kali tertidur dan tidak ada di tempat. Karena itu, apabila infus pasien habis atau kondisi pasien memburuk pada jam-jam tersebut, para petugas kesehatan sering tidak bisa dijumpai. Makanya mereka semua kecewa dan mengadukannya pada pihak manajemen rumah sakit.

Pemilik rumah sakit kabarnya marah besar. Nama baik dan kreadibilitas rumah sakit menjadi tercoreng karena tindakan indisipliner beberapa orang. Makanya Keira takut sekali kalau ia sampai terlambat. Ia tidak ingin dianggap sebagai perawat yang indisipliner juga.

Dengan napas yang tersengal-sengal, ia akhirnya tiba di rumah sakit. Ia melirik pergelangan tangannya. Pukul tujuh lewat dua menit. Syukurlah, setidaknya ia tidak terlambat-terlambat amat. Tinggal mengganti pakaian di loker, ia sudah bisa mulai bertugas. Rambutnya toh sudah ia sanggul dengan rapi sedari rumah. Tinggal merapikannya sedikit, bereslah sudah. Separuh berlari ia mendorong pintu khusus staff rumah sakit dengan bahu. Kedua tangannya di penuhi dengan tas dan botol air minumnya.

"Astaga, Ra. Lo dari mana aja? Ada sidak dari anak pemilik rumah sakit. Cepetan lo ganti baju dan ngumpul di nurse station. Gue mau ngumpulin anak-anak dulu!" Marini, salah satu rekannya, memberitahukan masalah sidak sambil terus berjalan cepat. Berusaha mengumpulkan rekan-rekannya yang lain.

"Anak pemilik rumah sakit? Pak Langit Sabda Alam ya?" tanya Keira penasaran. Marini yang sudah berjalan sedikit jauh, menghentikan langkahnya.

"Bukan yang pilot itu. Tapi pengacara galak yang sering kita lihat di teve!" seru Marini yang sudah ada di ujung koridor. Rumah sakit ini dulunya adalah milik almarhum Fajar Ramadhan sebelum diwariskan pada anaknya Halilintar Sabda Alam. Pak Sabda kemudian bekerja sama dengan dokter Arshaka Abiyaksa, Sp.OG, karena beliau tidak sanggup mengurus masalah rumah sakit. Pak Sabda adalah seorang walikota sekaligus pengusaha. Dengan demikian kepemilikan rumah sakit ini menjadi dua orang. Yaitu Pak Sabda dan juga dokter Saka. Kalau bukan Langit yang datang, itu berarti... Alrasya Abiyaksa. Pengacara galak putra sulung dokter Saka. Mati! Ada lelucon dari para petugas rumah sakit tentang galaknya Rasya. Mereka bilang, mayat saja bisa kabur mendengar omelan-omelan dahsyat Rasya kalau ia sudah bersabda. Apalagi mereka yang hanya manusia biasa!

Keira sekarang bukan lagi berjalan cepat. Tetapi ia sudah berlari. Ia takut kalau ia tidak akan sempat lagi mengikuti briefing pagi. Saat tiba di ujung koridor, seseorang muncul secara tiba-tiba. Keira yang tidak sempat mengerem langkahnya, menubruk orang tersebut dengan keras. Tas dan botol air minumnya terlepas. Ia terjatuh dalam posisi berlutut. Saat ia ingin bangkit dan meminta maaf. Ia malah tidak bisa bergerak. Sanggul rambutnya sepertinya tersangkut pada sesuatu.

"Aduh!" Keira mengaduh kesakitan saat ia mencoba menarik paksa rambutnya yang masih menyangkut. Perlahan ia mencoba berpaling sambil berusaha menarik-narik sanggul rambutnya. Wajahnya seketika dihadapkan dengan... dengan... bagian depan bawah perut seorang laki-laki. Ada sesuatu yang menonjol di sana. Sepertinya sanggulnya tersangkut pada kepala ikat pinggang seorang laki-laki.

"Saya--saya-- minta maaf. Saya sedang terburu-buru. Bisakah Anda menolong saya?" tanya Keira terbata-bata. Separuh takut separuh malu juga. Posisinya saat ini tentu sangat tidak enak dipandang mata. Bersimpuh di depan bawah perut seorang pria. Suasana juga seketika hening. Ia baru menyadari ternyata rekan-rekan sejawatnya sudah berbaris rapi di depannya. Sepertinya ia memang sudah terlambat.

Orang tersebut tidak berbicara sepatah katapun. Tetapi Keira mendengar suara seperti ikat pinggang yang dibuka dan tawa tertahan rekan-rekannya. Setelah rambutnya terbebas, ia segera meraih tas dan botol air minumnya yang menggelinding pada sudut ruangan.

"Terima kasih. Saya benar-benar minta maaf Pak--"

Wajah Keira memutih melihat siapa yang sudah ditabraknya. Alrasya Abiyaksa!

"P--P--Pak Ras--Rasya. Saya benar-benar tidak sengaja." Keira semakin gugup saat menyadari orang yang ditabraknya sesungguhnya adalah orang yang paling ingin dihindarinya.

"Lain kali, kalau berjalan jangan hanya memakai kaki dan mata. Tetapi otak dan mata difungsikan juga," suara dingin dan datar menimpali ucapannya. Begini ini seorang Rasya kalau sudah membuka mulutnya. Semua orang tidak ada yang benar di matanya. "Jangan karena kelalaian Anda, orang lain jadi ikut celaka," imbuh Rasya lagi. Sejurus kemudian terdengar suara ikat pinggang yang kembali dikencangkan.

"Baik," jawab Keira singkat. Semakin lama berinteraksi dengan pengacara ini, Keira semakin takut berucap. Ia takut terpeleset. Ujung-ujungnya nanti KUHP lah yang dibawa-bawa. Hidupnya sudah rumit tanpa harus dicekoki dengan pasal-pasal berlapis lagi.

"Sekarang ganti pakaian Anda dan segera kembali ke sini. Rumah sakit ini sudah penuh dengan perawat yang indisipliner. Jadi tidak usah Anda tambahi lagi."

"Baik." Tanpa ba bi bu lagi, Keira berlari menuju lokernya dan bersiap-siap menghadapi semburan api dari naga ganas ini. Semoga saja hatinya tidak gosong nantinya. Aamiin.

Lima menit kemudian, ia sudah berbaris rapi dengan rekan-rekan sejawatnya yang lain. Ia sudah bersiap menebalkan telinga untuk mendengarkan amarah dan sindiran Rasya. Namanya saja briefing pagi. Tapi ia yakin, itu hanya kedok saja. Aslinya pasti Rasya ingin menyemburkan sebagian api di mulutnya. Tetapi ia juga harus mengakui kalau kinerja rekan-rekannya akhir-akhir ini memang tidak begitu baik. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur atau bermain ponsel pada saat shift malam daripada benar-benar bertugas.

"Seperti yang rekan-rekan sekalian ketahui, di negara kita ada kode etik keperawatan yang telah disusun DPP PPNI melalui munas PPNI pada tanggal 29 November 1989. Di sana termaktub tentang masalah etika keperawatan. Menurut ICN, ada sepuluh kode etik keperawatan dan tujuh nilai-nilai perawat proffesional yang harus rekan-rekan junjung tinggi. Ke sepuluh kode etik ini, saya yakini rekan-rekan sekalian sudah menghapalnya di luar kepala. Hanya saja, cuma dihafal tok, bukan dipraktekkan. Apalagi diamalkan," sindir Rasya pedas. Keira melirik beberapa rekannya yang memang kerap kali mengabaikan tanggung jawab, mulai gelisah. Mereka tahu, pasti kesalahan mereka akan dikuliti selembar demi selembar di sini.

"Saya tidak akan membahas tentang masalah ke sepuluh kode etik lagi, karena saya yakin rekan-rekan sekalian telah hapal isinya. Tapi saya akan membahas tentang tujuh nilai-nilai professionalisme sebagai seorang perawat yaitu ; aesthetic, altruism, equality, kebebasan, human dignity, justice dan juga truth."

Suasana seketika hening. Wajah beberapa rekannya mulai berkeringat. Sebentar lagi, mereka pasti akan dibantai habis-habisan.

Termasuk lo juga, Ra. Lo itu udah terlambat, masih nyari story lagi sama si naga api. Bener-bener nyari mati!

"Dengan kalian tertidur di saat jam kerja, itu artinya kalian telah melanggar nilai aesthetic dan altruism. Mengapa? Karena di saat kalian tidur di waktu dinas, kalian telah gagal memberikan rasa aman bagi pasien. Ketika mereka membutuhkan kalian karena suatu hal, kalian malah tidak ada di tempat. Perilaku yang seperti ini menunjukan kalau kalian tidak berkomitmen pada tugas dan tidak peduli terhadap kesejahteraan pasien. Padahal seorang perawat seyogyanya bertanggung jawab penuh terhadap pasiennya di saat ia sedang bertugas."

Suasana yang sebelumnya hening, bertambah hening saat Rasya menguraikan kesalahan mereka satu persatu. Mereka kini menyadari bahwa mereka bersalah. Mereka telah mengabaikan hak orang lain padahal mereka telah dibayar untuk melakukan semua itu. Kini mereka hanya bisa pasrah. Semoga saja mereka semua tidak diberhentikan dari rumah sakit. Mereka sudah terlanjur nyaman di sini.

"Saya tidak akan memberikan sanksi apa-apa kali ini. Saya anggap ini adalah pembelajaran bagi kita semua akan perlunya kesadaran diri. Akan tetapi, setelah peringatan pertama ini, tidak akan ada lagi keringanan untuk kesalahan yang berulang." Desahan napas lega memenuhi ruangan.

"Kalian semua boleh kembali bertugas," Keira mengucap kata alhamdullilah berkali-kali di dalam hati. Persoalan hanya sampai di sini rupanya. Syukurlah. Padahal ia sudah cemas setengah mati tadi. Alhamdullilah.

"Kecuali Ibu Keira Wicaksana,"

Matiii....

"Ada beberapa hal yang harus kita bahas lagi."

Ya Allah, ya Robbi. Tolonglah hambaMu ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status