Share

Chapter 3

Sudah sepuluh menit Keira duduk di hadapan Rasya. Tetapi orang yang bersangkutan masih terus saja mendiaminya. Rasya hanya duduk santai di kursi kebesarannya sambil sesekali mengetik di keyboard laptop. Matanya hanya fokus memandangi layar laptopnya. Kehadirannya hanya dianggap seperti lemari arsip saja sepertinya. Semenit, dua menit, tiga menit pun berlalu. Keira mulai gerah dan merasa tidak betah.

Apa mungkin si Rasya ini sedang menunggunya mengakui kesalahannya terlebih dahulu ya? Biasanya dalam film-film detektif 'kan seperti itu. Pengacara menunggu clientnya menceritakan semua permasalahannya sampai tuntas terlebih dahulu. Setelah itu, baru 'lah si pengacara mencari solusi untuk menolong clientnya. Baiklah. Mungkin sebaiknya ia mengaku duluan saja. Mudah-mudahan kemarahan si Rasya ini bisa sedikit reda kalau ia menunjukkan itikad baiknya. Keira berdehem beberapa kali sebelum mulai berbicara.

"Saya minta maaf, Pak. Saya mengaku kalau saya memang terlambat masuk hari ini," ucap Keira pelan. Raut wajahnya ia usahakan menyesal. Rasya mengalihkan pandangan dari layar laptop. Rasya kini menatap wajahnya kala mendengarnya mulai berbicara. Ternyata dugaannya benar. Si Rasya ini baru bereaksi setelah ia dengan jujur mengakui kesalahannya.

"Tapi saya hanya terlambat dua menit, Pak. Saya bersumpah."

Krik... krik... krik...

"Soalnya ta--tadi jalanan macet sekali, Pak. Makanya saya ja--jadi sedikit terlambat."

Krik... krik... krik...

"Sekali lagi, sa--saya minta maaf ya, Pak?" Hening. Rasya sama sekali tidak bersuara. Keira mulai bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendapatkam maaf dari Rasya.

"Saya harap Bapak bersedia memaafkan kesalahan saya. Sebelum ini saya tidak pernah terlambat bekerja," Keira menghentikan kalimatnya saat Rasya menatapnya dalam-dalam. Sepertinya Rasya tidak mempercayai segala ucapannya. Ya memang ia berbohong sedikit juga sih.

"Baiklah. Saya mengaku. Saya memang pernah terlambat beberapa kali dalam setahun ini. Tetapi semuanya tidak lebih dari sepuluh menit. Bapak tahu sendiri 'kan kalau pagi-pagi itu macetnya seperti apa?" terang Keira berusaha mencari pembenaran.

Keira semakin tidak betah berada dalam ruangan ini. Rasya kembali ke mode semula. Membisu. Keira memutar otak. Berusaha mencari cara agar ia bisa secepatnya keluar dari situasi yang tidak mengenakkan ini. Bukan apa-apa. Berdekatan dengan Rasya, auto membuat dosa-dosanya terancam bocor semua. Lihatlah, tatapan matanya saja seolah-olah mengatakan ; jangan berani-berani membohongi saya. Bagaimana orang bisa betah berdekatan dengannya?

"Kalau Bapak memang sedang sibuk, saya mohon diri dulu," pamit Keira sembari beringsut dari kursi.

"Apa tadi saya mengizinkan Anda untuk pergi? Lagi pula lebaran masih tiga bulan lagi. Ngapain Anda minta maafnya sekarang?"

"Saya... saya..."

"Duduk."

Mau tidak mau Keira duduk kembali. Rasya mengotak-atik laptopnya sebentar, baru kemudian menutupnya. Perhatiannya kini benar-benar hanya tercurah padanya.

"Kacamata kamu mana?"

Heh, kacamata? Keira cengo sejenak. Jadi ia secara khusus dipanggil ke sini hanya hanya untuk urusan kacamata doang? Ahelah rugi banget ia sudah mengakui semua kesalahan yang seharusnya tidak perlu ia umbar-umbar. Begini ini kalau berbicara dengan orang yang bicaranya lebih banyak menggunakan suara hati dari pada mulutnya. Kita jadi menebak-nebak terus dan akhirnya malah jadi salah terus.

Mengenai kacamata, sesungguhnya itu hanyalah kamuflase belaka. Matanya baik-baik saja. Tidak minus sama sekali. Awal ia memakai kacamata itu adalah karena ia dan Keisha bosan selalu dikenali sebagai orang yang salah. Bayangkan saja. Mereka itu kembar identik. Duduk sebangku lagi sejak TK. Orang-orang sering kali salah mengenali mereka berdua. Oleh karena itu mereka berdua pun mengambil inisiatif untuk membuat perbedaan saat mereka masuk SMP. Keisha mengusulkan kalau salah satu dari mereka memakai kacamata saja. Jadi ada yang berbeda. Karena ia kalah saat suit, maka ia lah yang harus memakai kacamata. Sejak saat itu, mereka terlihat sedikit berbeda dan tidak pernah salah dikenali lagi.

Lama kelamaan, ia jadi terbiasa dengan kacamata kamuflasenya. Nyaman sekali rasanya menjadi diri sendiri tanpa harus dibanding-bandingkan dengan Keisha yang memang sangat populer di sekolahnya. Keisha yang cantik, ramah, dan terkenal, menjadi rebutan para senior laki-laki di sekolahnya. Sementara ia yang nerd, tertutup dan pendiam, semakin tenggelam dari bayang-bayang Keisha. Mereka berdua akhirnya memang benar-benar berbeda.

Kacamata sekarang telah melekat erat pada dirinya. Hingga sekitar dua bulan lalu, penyamarannya terbongkar oleh ibu mertuanya sendiri. Sejak hari itu ibu mertuanya melarangnya untuk menggunakan kacamata lagi. Menurut ibu mertuanya, ia terlihat jauh lebih cantik tanpa menggunakan kacamata. Ibu mertuanya juga mengatakan, tidak baik kalau ia tidak mensyukuri anugerah dari Sang Pencipta. Diberi kesempurnaan dalam hal penglihatan, masa ingin disamarkan? Kalau dipikir-pikir, ibu mertuanya benar juga bukan?

"Apakah kamu mengalami masalah dengan pendengaran?" Suara datar-datar kesal Rasya seketika menghentikan lamunannya.

"Saya sedang tidak mengenakan kacamata saat ini, Pak?" jawab Keira cepat.

"Saya tidak buta, Keira. Saya jelas-jelas melihat kalau kamu tidak menggunakan kacamata saat ini. Makanya saya tanya, kacamata kamu mana?" Keira terdiam. Ia merasa heran. Rasya sudah dua kali menyapanya dengan sapaan kamu dan bukan anda lagi. Ia bahkan memanggil namanya saja tanpa embel-embel ibu lagi. Sepertinya Rasya ini lebih santai kalau mereka hanya berdua saja.

"Saya sudah tidak perlu memakai kacamata lagi sekarang, Pak."

"Kenapa?" Rasa penasaran membayangi mata gelap Rasya.

"Mata minus saya sudah sembuh. Jadi saya tidak perlu menggunakan kacamata lagi."

"Kamu melakukan operasi lasik?" Keira menggeleng. "Tidak, Pak. Mata minus saya sembuh dengan sendirinya," sahut Keira asal. Ia kebingungan karena terus saja dicecar oleh Rasya. 'Kan tidak mungkin kalau ia mengatakan bahwa ia menggunakan kacamata hanya karena kalah suit dari Keisha bukan?

"Kalau begitu mungkin kamu adalah salah satu bukti dari keajaiban dunia. Karena setahu saya, dalam dunia medis, mata minus itu tidak dapat disembuhkan kecuali dengan operasi lasik. Saya rasa mulai hari ini, kamu sudah bisa menerima endorsement suplemen khusus mata. Jika ekstrak kulit manggis saja bisa mendunia, mungkin kali ini kamu bisa mencoba ekstrak kulit buah durian," sindir Rasya lagi.

Keira menelan salivanya sendiri. Ia malu. Bayangkan saja. Ia yang nota bene adalah seorang perawat, bisa mengeluarkan pernyataan setidak masuk akal itu? Ia sudah mempermalukan profesinya sendiri.

"Saya--saya--" Keira tidak tahu harus menjawab apa terhadap sindiran Rasya. Rasya mengangkat tangan kanannya ke udara. "Baiklah. Kalau kamu memang tidak mau menceritakan tentang misteri kacamata ajaibmu itu, ya sudah. Kita akhiri saja masalah itu sampai di sini."

Rasya kini membuka tas kerja dan mengeluarkan beberapa buah map coklat. Ia membuka lembarannya sebentar sebelum menutupnya kembali.

"Saya memanggil kamu ke mari sebenarnya adalah untuk urusan dokumen-dokumen ini. Ketiga dokumen ini berisi draft-draft perjanjian kerjasama perusahaan ayah mertua kamu yang sudah saya legalkan. Tadinya saya ingin mengantarkan dokumen-dokumen ini ke kantor Om Abi. Hanya saja, karena ada kamu di sini, jadi sekalian saja saya titipkan. Tolong berikan dokumen-dokumen ini pada Om Abi ya, Ra?"

Keira lekas-lekas mengangguk. Dengan cepat ia menyatukan tiga dokumen itu dan memeluknya di dada. Ia sudah tidak betah lama-lama di ruangan ini.

"Kamu boleh kembali bekerja sekarang,"

Alhamdullilah hirobbil alamin.

"Oh iya. Sekedar ingin mengingatkan. Terhitung mulai hari ini, saya telah membuat peraturan baru. Barang siapa yang terlambat lebih dari lima menit pada saat pergantian shift, maka keterlambatannya akan diakumulasikan. Apabila sudah mencapai satu jam, maka akan dikenakan pemotongan gaji. Jelas, Keira Wicaksana?"

"Jelas, Pak."

Nasib... nasib...

***

Keira membolak-balik tubuhnya di atas pembaringan dengan gelisah. Sudah hampir satu jam ia membaringkan tubuh. Tetapi ia belum juga tertidur. Ia melirik ke sebelah kanan ranjang. Kosong. Tempat yang biasa ditiduri oleh Panji itu masih rapi. Sebuah guling sudah terpasang rapi di sana. Tetapi sang penghuni ranjang itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya.

Keira melirik jam dinding berbentuk hati di dinding. Pukul dua pagi kurang lima menit. Sebenarnya ia sangat cemas. Ia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Panji. Biasanya ibu mertuanya lah yang akan menelepon Panji kalau ia belum pulang pada jam-jam yang tidak lazim seperti ini. Tetapi saat ini kedua mertuanya sedang berada di luar kota. Mereka berdua mengunjungi Pandu di perkebunan tehnya di Jambi sana. Ibu mertuanya merindukan putra sulungnya yang memang sangat jarang pulang. Ia sendiri hanya pernah bertemu satu kali dengan Pandu. Itu pun terjadi pada satu setengah tahun yang lalu. Saat Pandu menghadiri pernikahannya dengan Panji.

Keira meraih ponsel, ia memutuskan untuk mengirim pesan singkat saja pada Panji. Ia tidak tenang sebelum mengetahui keadaan suaminya.

Mas Panji di mana?

Pesannya masuk. Namun belum dibaca. Keira menunggu lima menit, sepuluh menit, hingga tiga puluh menit pun berlalu begitu saja.

Ting!

Ada notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Keira buru-buru membuka aplikasi obrolannya.

Saya ada urusan di luar.

Keira menghela napas panjang. Hanya jawaban singkat seperti ini yang ia terima setelah semalaman cemas setengah mati.

Mas pulang jam berapa?

Kali ini pesannya langsung dibaca dan sepertinya langsung dibalas juga. Ada tulisan typing di sana.

Saya tidak pulang. Urusan saya masih lama. Jangan chat saya lagi.

Keira membaca balasan pesan singkat Panji tanpa berani untuk membalas lagi. Satu kata yang menggambarkan perasannya saat ini. Sakit hati sendiri. Tapi ya sudahlah. Setidaknya ia tahu kalau suaminya itu dalam keadaan baik-baik saja. Itu saja sudah cukup. Keira menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar kehilangan kantuknya sekarang. Tatapannya mengembara hingga membentur photo pernikahannya dengan Panji di dinding kamar. Walaupun mereka berdua terlihat tersenyum di photo itu, tetapi tatapan kedua mata mereka itu hampa. Kosong. Tidak terlihat kebahagiaan sedikitpun di sana.

Keira beringsut dari pembaringan dan menghampiri photo pernikahannya. Entah mengapa malam ini ia rindu sekali pada Panji. Ia ingin melepaskan sedikit beban rindu sendirinya dengan memandangi photo suaminya.

Sampai kapan saya harus menunggu kamu membuka hati untuk saya, Mas? Kata orang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tetapi kenapa kamu terus saja memandangi saya dengan penuh kepahitan, Mas? Satu setengah tahun telah berlalu. Apakah itu masih belum cukup, Mas?

Apakah Mas tahu kalau menunggu seseorang yang sebenarnya ada dalam sejangkauan tangan itu, sangat menyakitkan? Selama ini saya selalu menyediakan tangan saya untuk Mas genggam. Tetapi mengapa Mas masih saja mencari tangan lain yang tidak jelas keberadaannya?

Keira merasa matanya berembun. Jatuh cinta sendiri itu memang mengenaskan. Terlebih lagi pihak yang di jatuh cintai tidak pernah mengetahui perasaan kita. Rasa ngenesnya dua kali lipat rasanya. Karena kantuk yang sudah kadung hilang, Keira memutuskan untuk bermain ponsel saja. Ia tengkurap seperti bayi dan mulai berselancar di dunia maya. Posisi seperti ini memang paling nyaman untuk bermain ponsel. Berselancar di dunia maya memang mengasyikkan. Ia suka menghabiskan waktu dengan mengamati kehidupan teman-teman maupun suaminya dengan mengikuti medsos mereka. Biasanya Panji tidak mau menerima permintaan pertemanannya di semua medsosnya. Tetapi sejak ia membuat akun baru dengan mencomot wajah artis yang entah siapa namanya, permintaan pertemannya diterima oleh suaminya. Namanya juga laki-laki. Harus diberi trik-trik khusus baru bisa dikelabuhi.

Ia memulai aksi selancarnya dengan membuka IG. Berkali-kali ia tertawa-tawa sendiri saat melihat akun khusus gambar-gambar lucu. Akun suaminya sepi-sepi saja. Tidak ada postingan baru di sana. Ketika secara tidak sengaja ia menekan story Soraya, hatinya mencelos seketika. Story Soraya memperlihatkan suasana party meriah salah satu club papan atas negeri ini. Bukan clubnya yang menarik perhatiannya. Tetapi laki-laki berkemeja putih yang sedang memeluk mesra pinggang seorang wanita berambut panjanglah, yang membuat jantungnya berdetak kencang.

Keira langsung duduk dari posisi tengkurapnya. Ia kembali memandangi story anak Tante Gina itu dengan seksama. Tidak salah lagi. Laki-laki berkemeja putih itu memang Panji. Ia sangat hapal postur maupun gesture tubuh suaminya. Hanya saja perempuan yang dipeluk erat oleh Panji itu, selalu menyembunyikan wajahnya pada dada bidang suaminya. Ia jadi tidak bisa melihat secara jelas wajahnya.

Keira menutup ponsel dan melemparnya ke sudut ranjang. Air matanya kembali tumpah mengingat bagaimana mesranya suaminya memperlakukan wanita tadi. Hang out di club bersama wanita lain, rupanya urusan suaminya. Hatinya menjerit-jerit tidak terima. Tetapi ia bisa apa? Paling hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya. Paling mentok-mentoknya, berdoa memohon kekuatan untuk bisa menjalani pernikahan tanpa bahtera dan tujuan seperti ini.

Keira menutup wajahnya dengan bantal agar suara tangisnya sedikit teredam. Sakit sekali hati ini, ya Allah. Seperti beribu-ribu sembilu yang mengiris kecil-kecil kepingan hatinya. Kejadian seperti inilah yang kerap kali membuatnya ingin bercerai. Hanya saja ibunya dan Panji selalu saja menghalanginya. Ibunya selalu menekankan nama baik keluarga, dan Panji selalu beralasan belum waktunya. Mungkin Panji sedang menunggu orang yang tepat sebelum menendangnya keluar, apabila wanita impiannya sudah didapat. Selama ini ia sabar karena ia mengira, suatu saat keadaan ini pasti akan berubah. Hanya saja ia tidak menyangka, kalau keadaan seperti ini malah bisa membunuhnya pelan-pelan.

Ia telah salah mencintai seseorang yang tidak mampu ia raih. Ia diiizinkan untuk bertemu setiap hari, bahkan tidur di ranjang yang sama. Namun hatinya terus menahan perih karena menyadari bahwa hati seseorang itu tidak akan pernah ia miliki. Air matanya kembali mengalir diam-diam. Jalan hidupnya memang selalu tidak pernah mudah. Apa pun yang pernah diinginkannya harus selalu ia raih dengan susah payah. Dulu masalah cita, dan kini masalah cinta.

Ia ingat sewaktu Keisha ingin mengikuti kelas modelling dulu. Ibunya langsung mendaftarkannya pada salah satu agensi terkenal pada saat itu juga. Kata ibunya bakat itu memang harus dikembangkan. Dan ia akan selalu mendukung keinginan anak-anaknya. Di saat yang sama, ia ingin mengikuti les piano di sekitar komplek rumahnya. Ibunya menolak dan mengatakan bahwa les-les seperti itu hanya buang-buang uang saja. Ia sampai harus mengumpulkan uang saku selama berbulan-bulan demi bisa mengikuti dua kali pertemuan. Darah boleh sama, wajah juga bisa serupa. Tapi nasib mereka berdua sangat jauh berbeda.

Dalam kesedihan dan keputus asaan, Keira hanya bisa berdoa. Jika di waktu lalu ia meminta kemudahan dalam menjalani hari-harinya, kali ini isi doanya sudah berubah. Ia tidak ingin meminta kemudahan hidup lagi. Tetapi ia memohon agar lebih dikuatkan. Dengan begitu semua kesulitan-kesulitan yang ia hadapi, akan lebih mudah untuk dijalani. Semoga saja kesedihan di malam ini, akan berbuah kebahagiaan di pagi hari. Semoga. Aamiin ya rabbal alamin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status