Share

Chapter 5

"Bercerai? Ibu 'kan sudah berulang kali bilang kalau Ibu tidak setuju dengan keinginan kamu itu? Sudah. Ibu tidak mau membahas masalah itu lagi!" bentak Danti seraya mengibaskan tangan ke udara. Ia kesal karena anak perempuannya ini selalu membahas masalah yang itu-itu saja. Ia sudah mencium bau-bau tidak enak saat anak perempuannya ini tiba-tiba saja menyambanginya. Pasti ada berita tidak enak yang dibawanya. Ternyata firasatnya benar. Putri bodohnya ini meminta dukungannya untuk bercerai.

"Tapi Keira sudah tidak tahan hidup begini terus, Bu. Semalam Mas Panji tidak pulang. Pada Keira, Mas Panji ngakunya sedang ada urusan penting. Tapi saat Keira melihat story Soraya, Mas Panji malah terlihat sedang bersenang-senang di club dengan seorang perempuan. Mereka saling berpelukan mesra, Bu. Keira... Keira sakit hati, Bu," adu Keira dengan suara terbata-bata.

"Makanya kamu usaha dong, Ra, biar bisa hamil secepatnya. Panji itu begitu, pasti karena dia merasa kesepian. Hampa. Tidak ada yang menarik hatinya untuk pulang ke rumah. Coba kalau kalian punya anak, hidupnya pasti tidak akan kesepian seperti lagi. Dia akan lebih cepat pulang ke rumah, dan menghabiskan waktunya bermain bersama anak-anak kalian. Percaya deh sama Ibu."

Keira menghela napas kasar. Seperti yang telah ia duga, ibunya sama sekali tidak menyetujui keinginannya untuk bercerai. Bukannya marah pada Panji yang telah mencuranginya, ibunya malah menyalahkannya. Keira melirik sang ayah. Seperti biasa ayahnya bersikap santai-santai saja. Ia seperti tidak mendengar apa-apa. Pandangan ayahnya tetap tertuju pada televisi yang tengah menayangkan berita-berita politik dalam negeri. Ayahnya lebih tertarik untuk mengikuti terpecah belahnya hubungan para elit politik, daripada pecahnya rumah tangga anaknya sendiri.

"Kamu ini 'kan perawat. Kerjanya di rumah sakit. Harusnya kamu itu usaha, Ra. Minum suplemen apa kek gitu biar subur dan bisa cepat hamil. Eh, ini malah nyari jalan pintas pengen cerai. Punya otak itu mikir yang beneran sedikit dong, Ra? Enak banget kamu memberi jalan si pelakor ujug-ujug menguasai singgasanamu. Sekarang kamu cari tahu dulu siapa perempuan itu. Biar nanti Ibu temani kamu melabraknya. Jadi istri kok ya nggak punya daya juang sama sekali? Heran!" gerutu ibunya lagi.

"Keira bukannya nggak mau berjuang, Bu. Tapi masalahnya Mas Panji 'kan sudah jelas-jelas bilang kalau dia itu tidak mencintai Keira. Keira sama sekali nggak punya senjata untuk memperjuangkan Mas Panji, Bu," keluh Keira lagi. Ia berusaha menjelaskan situasi rumah tangganya pada sang ibu.

"Ada Ra, ada. Anak. Itu satu-satunya jalan kalau kamu ingin memenangkan pertarungan ini. Anak akan menjerat kedua kaki suamimu untuk selamanya," tukas ibunya kian bersemangat. Pasti ibunya mengira kalau ia telah menemukan ide yang jitu.

"Mungkin saja Panji tidak mencintai kamu. Tapi dia pasti mencintai anak-anaknya. Salah satu kakinya sudah terikat di rumah. Jadi ke manapun dia melangkah, pada siapapun ia bersenang-senang, pada akhirnya ia akan tetap pulang ke rumah. Karena apa? Karena sebelah kakinya sudah kamu belenggu," sambung ibunya lagi.

"Kamu jangan mengajari anakmu dengan trik-trik kuno warisan devide et impera begitu, Danti. Trik kelabuh-mengkelabuhi hanya akan berhasil dipraktekkan dalam hubungan bisnis. Dagang. Niaga. Tapi tidak dalam hal rumah tangga. Kehadiran seorang anak mungkin bisa mengikat kaki seorang laki-laki, tapi tidak hatinya. Apa gunanya ia setiap hari pulang, tapi hatinya tidak ada di rumah. Kamu sudah lebih dulu merasakan hal itu bukan, Danti?"

Keira terkesima. Ayahnya yang sangat irit bicara, bisa menasehati ibunya dengan kata-kata yang begitu menusuk, tapi benar adanya. Walaupun kerap diam dan terkesan tidak peduli, tapi rupanya ayahnya menyimak juga pembicaraannya dengan sang ibu. Keira terharu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ayahnya menyuarakan pendapatnya.

"Jangan mengulangi kesalahan yang pernah kamu lakukan pada anakmu, Danti. Kalau kamu sudah pernah terperosok di sebuah lubang, jangan menarik tangan orang lain lagi. Anakmu berhak bahagia, Danti," imbuh ayahnya lagi. Wajah ibunya memerah. Ibunya marah. Namun ada sesuatu yang aneh di sini. Mata ibunya memerah dan berkaca-kaca. Ibunya seperti memendam sesuatu.

"Aku juga ingin Rara bahagia, Mas. Rara adalah anakku. Darah dagingku. Aku hanya ingin dia bertahan sedikit lebih lama, demi untuk kenyamanannya sendiri," tandas ibunya geram.

"Kenyamanannya atau kenyamanan kamu?" sindir ayahnya singkat. Walaupun sedang berbicara pada ibunya, pandangan ayahnya masih tetap tercurah pada televisi dihadapannya.

"Jangan berpura-pura jadi orang baik nan bijaksana, Mas. Mas juga menikmati semua fasilitas yang diberikan Panji saat ia masih bersama Keisha bukan? Motor Harley itu salah satu contohnya. Ingat Mas, saat jari telunjuk Mas menunjuk padaku, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking Mas itu menunjuk diri Mas sendiri. Malu sama Harley, Mas!" sembur ibunya geram. Kemarahan ibunya kali ini berbarengan dengan lelehan air matanya. Sepertinya ayahnya telah menyinggung sesuatu yang menyakiti perasaan ibunya.

"Wajar saja Mas menikmati sedikit imbalan setelah Mas berkorban banyak demi keluarga tercinta kamu ini. Kamu adalah orang yang paling tahu, apa saja yang telah Mas korbankan selama ini. Pesan Mas cuma satu, Danti. Kalau kamu memang tidak bisa menasehati, minimal jangan meracuni. Biar saja Keira mengambil sikap atas keinginannya sendiri. Yang menjalani semuanya itu kan Keira. Bukan kamu." Ibunya diam saja. Ia sepertinya tidak ingin menanggapi kata-kata ayahnya lagi.

"Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus berjuang habis-habisan dulu untuk mempertahankan rumah tanggamu. Selama Panji tidak mengantarkan kamu pulang dan bilang kalau ia ingin menceraikan kamu, Ibu tidak akan menerima kehadiran kamu di rumah ini. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Sudah sore. Sebentar lagi pasti suamimu pulang. Kamu ini seorang istri. Kamu punya kewajiban untuk melayani suami kamu sebaik mungkin."

Kalau ibunya sudah memberi ultimatum seperti ini, mau tidak mau ia harus pulang. Waktu memang telah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit.

"Kenapa nasehat itu tidak kamu terapkan juga pada diri kamu sendiri, Danti? Seingat Mas, kalau kamu sudah keluar dengan Gina dan Tari, kamu selalu lupa Mas itu pulang kantor jam berapa?" sindiran ayahnya semakin membuat ibunya naik tensi. Ibunya tidak lagi mau menjawab sindiran ayahnya. Namun ia membanting asbak rokok kristal hingga hancur berkeping-keping. Inilah yang membuat Keira tidak betah di rumah. Kalau di depan para awak media dan para pewarta, ayah dan ibunya tampak mesra dan serasi sekali. Tapi kenyataan yang sebenarnya ya seperti ini. Mereka berdua seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur. Ayahnya yang merupakan salah satu petinggi partai, memang dituntut harus sempurna di depan publik. Makanya nama baik harus selalu dijaga sebaik mungkin oleh kedua orang tuanya. Dalam dunia politik, pencitraan itu penting. Tetapi pada dasarnya hubungan kekeluargaan mereka itu rapuh. Tidak pernah ada rasa cinta dan ketulusan di antara satu dengan yang lainnya.

***

Hari berganti minggu dan dua bulan pun telah berlalu. Selama dua bulan terakhir ini, tingkah Panji semakin menjadi-jadi. Setiap malam ada saja alasannya untuk bisa keluar rumah. Yang masalah kongkow-kongkow dengan teman lamalah. Mengentertaint tamulah. Pokoknya ada saja upayanya untuk bisa keluar rumah. Keira sendiri sudah pasrah. Ia tidak pernah lagi ingin mengetahui apa saja kegiatan Panji di luar rumah. Bukan hanya karena sepertinya ia mulai kehilangan rasa cinta. Tetapi juga karena kehadiran seseorang yang sama sekali tidak ia duga-duga.

Ia hamil. Kejadian di malam Panji memilikinya secara tidak sadar waktu itu, telah menciptakan malaikat kecil di rahimnya. Dan malaikat kecil yang masih berupa segumpal darah ini, telah membuat gonjang ganjing kondisi tubuhnya. Morning sickness membuatnya kerap muntah-muntah hebat di pagi hari hingga isi perutnya kosong. Belum lagi kesulitannya berdiri terlalu lama karena kerap pusing dan cepat lelah. Perutnya juga selalu bergejolak setiap menghirup aroma tertentu. Saat ini, untuk tetap bisa bekerja saja, ia sudah merasa sangat beruntung. Makanya ia tidak sempat lagi memikirkan tentang masalah Panji. Suaminya itu mau berbuat apa atau bertingkah seperti apa, ia sudah tidak peduli lagi. Sekarang ia lebih memfokuskan diri pada kehamilannya. Ia telah memiliki semangat hidup baru. Buah hatinya.

Pada Panji ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga dengan kedua mertuanya. Ia belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahukan mereka. Ia menunggu untuk memberitahu Panji terlebih dahulu, baru ia akan memberitahukan kedua mertuanya. Ia ingin melihat reaksi suaminya terlebih dahulu. Hanya saja waktu untuk berbicara secara khusus dengan Panji tidak pernah ada. Panji benar-benar menutup diri darinya. Jikalau dulu Panji masih mau berbicara dengannya walaupun kalimatnya singkat-singkat, sekarang tidak pernah sama sekali. Saat ia ingin membuka pembicaraan dengan Panji, ada saja cara suaminya itu untuk mengelak. Yang sedang sibuklah. Tidak mau diganggulah, dan beribu alasan lainnya.

Satu-satunya orang yang mengetahui soal kehamilannya adalah Robyn. Sangat sulit untuk menyembunyikan keadaan dirinya dari supir pribadinya itu. Dengan seringnya ia meminta Robyn untuk berhenti tiba-tiba di pinggir demi memuntahkan sarapannya, atau ia yang mendadak kepingin makan ini dan itu, pasti telah membuat Robyn curiga. Tanda-tanda kalau ia sedang hamil begitu kentara. Robyn itu mengikuti semua aktivitasnya. Di mulai dari pagi sampai sore hari. Bahkan terkadang sampai malam kalau ia kebetulan mendapat shift malam. Makanya Robyn adalah orang yang pertama tahu, saat ada perubahan yang signifikan pada dirinya.

Seperti malam ini misalnya. Perutnya kram dan ia terus muntah-muntah hebat. Sedari di rumah sakit tadi sebenarnya ia sudah merasa kurang enak badan. Tetapi ia terus bertahan karena beberapa jam baru waktunya pulang. Tanggung, pikirnya. Dan kini saat mereka telah sampai di rumah, Keira menyerah. Kondisi tubuhnya benar-benat drop. Ia nyaris tidak bisa berdiri. Makanya ia tidak bisa keluar dari mobil. Tanpa banyak bicara Robyn menggendongnya masuk ke dalam rumah. Karena merasa sangat lelah, ia pun meminta Robin untuk membaringkannya di kamar saja. Mbak Surti yang melihatnya masuk ke dalam kamar dengan digendong oleh Robyn, buru-buru ke dapur. Katanya si Mbak ingin membuatkan segelas teh manis hangat untuknya. Robyn yang sepertinya tidak tega meninggalkannya sendiri, berdiri canggung di pintu kamar. Saat perutnya kembali bergolak, Keira berusaha bangkit dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Ia takut muntahannya akan mengotori tempat tidur. Akibat dari gerakan buru-burunya, tubuhnya terhuyung-huyung dan nyaris terjatuh di lantai. Untung saja Robyn dengan sigap segera menahan laju tubuhnya.

Robyn jugalah yang memapahnya ke kamar mandi dan menungguinya mengeluarkan isi perutnya di atas closet. Keira sampai gemetaran dan berkeringat dingin karenanya. Saat Robyn memapahnya keluar dari kamar mandi, Panji masuk ke dalam kamar. Robyn buru-buru menjelaskan tentang keadaannya yang sedang kurang sehat dan ia yang hanya berniat menolong sebelum Mbak Surti datang. Panji hanya mengangguk singkat sambil lalu. Suaminya ini sekali tidak mempedulikan keadaannya. Setelah mandi, suaminya pergi lagi dan baru kembali pada pukul dua pagi.

Jikalau dulu ia selalu menanyakan apakah suaminya ingin siapkan makanan atau minuman jika pulang larut, kini tidak lagi. Ia bahkan tidak menanyakan suaminya dari mana saja. Ia sudah tidak peduli lagi. Ia memang belum tidur saat suaminya masuk ke dalam kamar. Perutnya yang masih saja kram membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Mereka saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya sama-sama membuang muka. Dari semua kesalahan yang pernah terjadi dalam hidupnya, pernah mencintai Panji adalah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukannya.

"Kenapa kamu belum tidur? Menunggu saya pulang?"

Perasaan banget ditungguin, Mas Bro? Iyuh banget nungguin tukang selingkuh pulang kandang.

"Saya kurang enak badan," jawab Keira acuh. Panji menatapnya sekilas. Mungkin ia heran mendapatkan jawaban yang terkesan ogah-ogahan darinya. Sesaat kemudian terdengar suara percikan air di kamar mandi. Membersihkan bekas-bekas dosa sepertinya.

Astaga Ra, jangan membatin. Ada malaikat kecil yang kini berkongsi raga denganmu. Jaga batinmu, jaga ucapanmu.

Terdengar suara pintu kamar mandi yang dibuka kemudian ditutup kembali. Keira memejamkan mata. Berusaha menghitung domba demi mencari kantuk yang tak kunjung datang.

"Lho, piyama saya mana? Kenapa tidak kamu siapkan?" Panji memelototi Keira saat tidak mendapati piyamanya di atas ranjang. Biasanya setiap ia mandi, Keira sudah menyiapkan piyamanya di atas ranjang.

"Saya lagi mager, Mas. Mas ambil saja sendiri dari lemari," sahut Keira acuh sembari membalik tubuh. Membelakangi suaminya. Semenjak hamil ia memang eneg banget melihat wajah Panji. Sepertinya malaikat kecilnya pun tidak suka berdekatan dengan ayahnya. Panji tidak menjawab. Sejurus kemudian Keira mendengar suara pintu lemari pakaian di buka. Berarti Panji melaksanakan apa yang tadi dikatakannya. Ia tetap memejamkan mata. Kalau ia tidak tidur sekarang, besok pagi pasti ia akan terkantuk-kantuk saat bertugas. Lesakan tempat tidur di sebelahnya menandakan ada beban lain di sampingnya.

"Kenapa kamu tidak menanyakan saya dari mana saja tadi? Biasanya kamu selalu tanya?"

Tumben ini orang kepengen ditanya?

"Saya tidak ingin tahu lagi," jawab Keira singkat.

"Kenapa tidak ingin tahu lagi? Karena kamu lebih suka mengetahui kabar Robyn daripada kabar suami sendiri? Begitu?" celetuk Panji ketus. Mendengar nama Robyn disebut-sebut, Keira membalikkan tubuhnya. Ia paling benci dengan orang yang suka bersikap playing victim seperti ini.

"Hanya karena Mas suka berbuat curang di belakang saya, bukan berarti saya juga akan melakukan hal yang sama. Saya tidak semenyedihkan itu, Mas." Balas Keira getas. Emosinya terkait saat Panji membawa-bawa nama orang lain dalam permasalahan mereka.

"Saya tahu kalau kamu mencintai saya. Seseorang baru saja memberitahu saya. Coba jawab saya dengan jujur, benar atau tidak kata-kata orang tersebut?

"Kalau Mas tanyanya beberapa bulan lalu, saya akan menjawab, iya."

"Kalau sekarang?"

"Sekarang sudah tidak lagi,"

"Mengapa?"

"Karena ada seseorang yang kehadirannya kini merampas semua rasa cinta yang saya punya," jawab Keira lantang.

"Baguslah. Karena saya juga sudah menemukan kembali seseorang yang saya cinta. Kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan tentang semua perasaan kita pada kedua orang tua kita. Keadaan kita sekarang ini, toh satu sama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status