Arsen keluar dari ruangannya dengan membawa salinan dokumen. Tanpa banyak bicara, Biya langsung berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia menghindari tatapan Bagas yang masih terlihat kebingungan dengan permintaan aneh dari adik sahabatnya itu.
Dengan langkah cepat, Biya berjalan menuju dapur, meninggalkan Bagas yang masih termenung, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Udah gue cek, semuanya aman,” tutur Arsen sambil menyerahkan dokumen salinan dengan nada santai.
Tapi Bagas hanya terdiam, tatapannya tertuju ke lantai, wajahnya nampak berat dan penuh pikiran.
“Heh, kenapa lo?” Arsen bertanya, sedikit heran melihat sikap temannya itu.
Arsen menatap dokumen di tangannya, tapi terhenti sejenak dan memandang Arsen dengan lirih berkata, “Masih ada yang kurang, Sen. Bagian data di Canada.”
Arsen menepuk jidatnya pelan- menandakan dirinya lupa untuk memberikan dokumen tersebut. Lalu, ia kembali masuk ke ruangannya untuk memeriksa dan mengambilkan bagian yang belum terbawa.
Sedangkan, Bagas melangkah menuju ke dapur- tempat dimana Biya melarikan diri. Mata tajam itu mengamati perempuan yang berstatus adik sahabatnya. Langkahnya mendekat berdehem pelan dan menghela napas sejenak, menatap Biya dengan tatapan campur antara prihatin dan bingung.
“Kamu serius dengan yang kamu katakan tadi, Biya?” Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tapi membawa berat yang tak bisa diabaikan.
Biya mengangguk pelan, walau dadanya masih berdebar tak menentu.
“Iya, Mas. Aku serius.”
“Atas dasar apa kamu bisa meminta hal seperti itu ke saya?” suara itu tegas tapi juga lembut. Menunjukkan pengertian, tapi juga memberikan peringatan. Belajar ciuman? Permintaan macam apa itu.
Biya terpaku, hati berdebar tak menentu. Tatapan Bagas begitu serius, seolah mempertanyakan bukan hanya permintaannya, tapi juga keberaniannya sendiri.
“Karena aku, aku nggak punya pilihan lain,” jawab Biya lirih, suaranya hampir tersendat dan melanjutkan, “Aku capek jadi bahan tertawaan. Aku butuh bantuan. Semua orang nganggep aku remeh, cupu.”
Bagas menunduk sejenak, mencoba mencerna kata-katanya dan berkata, “Ini bukan hal yang bisa kamu minta orang lain untuk mengajari kamu, Biya. Ini sesuatu yang bisa memicu perasaan asing, sesuatu yang nggak bisa dianggap main-main.”
Bagas berhenti sejenak, lalu menatap mata itu dengan tegas, “Saya tidak ingin menghancurkan pertemanan saya dengan Arsen.”
Biya menatap Bagas dengan mata penuh harap, suaranya lirih tapi tegas,
“Cuma ajarin aja kok, Mas. Aku nggak minta lebih dari itu. Aku nggak akan baper.”
Ada jeda hening sejenak, dimana keduanya saling menimbang perasaan dan batasan yang ada. Tatapan Bagas dalam, seolah mencoba menembus isi kepala Biya. Ada kerutan di dahinya, antara tak percaya dan bingung kenapa gadis itu bisa sampai berani mengucapkan permintaan gila barusan.
“Biya,” suaranya berat, nyaris bergetar. “Kenapa harus saya?”
Pertanyaan itu jatuh begitu saja, tapi mengandung banyak makna. Nada Bagas terdengar campuran antara penolakan, kaget, sekaligus rasa takut pada kemungkinan yang bisa muncul.
Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap lurus ke arah Bagas. Ada air bening di sudut matanya, tapi sorotnya penuh ketegasan.
“Karena… cuma Mas yang aku percaya.”
Bagas menelan ludah dalam, jantungnya berdegup tak karuan. Ia maju setengah langkah, menunduk sedikit hingga wajahnya hanya sejengkal dari Biya.
“Kenapa kamu seyakin ini sama saya?” tanyanya pelan, tapi penuh tekanan.
Biya menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Jujur, tubuhnya sudah berkeringat dingin- bahkan bagian punggungnya sudah basah karena keringat yang mengucur sejak ia melarikan diri ke dapur.
“Karena Mas bisa jaga rahasia dan aku tahu, Mas nggak akan macem-macem sama aku.”
Hening sejenak. Bagas menutup mata, menghela napas panjang, seolah mencoba menyingkirkan sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya.
“Saya pria dewasa, Biya,” Bagas menatapnya tajam, suaranya turun lebih rendah, nyaris menggetarkan udara. “Saya bisa saja macam-macemin kamu, kalau saya mau.”
Biya refleks menahan napas, matanya membesar. Kata-kata itu bukan ancaman kosong, tapi peringatan keras- bahwa yang dihadapi sekarang bukan mainan.
Bagas melangkah sedikit lebih dekat, tubuhnya menjulang, membuat Biya makin terpojok oleh keberanian nekatnya sendiri.
“Kamu sadar nggak, sekali saja saya turutin permintaan kamu, semua garis batas bisa hancur?” tanyanya pelan, namun dengan tekanan tajam.
Keringat dingin membasahi pelipis Biya, tapi ia tetap berdiri tegak. Tangannya mengepal, bibirnya bergetar, lalu ia berusaha mengeluarkan suara, meski lirih.
“Justru itu aku minta ke Mas. Karena aku tahu, Mas bisa nahan diri. Mas nggak kayak cowok lain.”
Bagas terdiam. Rahangnya mengeras, matanya meredup, seolah sedang berperang dengan dirinya sendiri.
“Jangan terlalu yakin, Biya,” ucapnya lirih.
Bagas menarik napas dalam, kedua tangannya bersedekap di depan dada seolah menahan sesuatu yang berat. Tatapannya berpindah dari wajah Biya ke lantai, lalu kembali lagi ke mata gadis itu yang tampak bergetar menunggu jawaban.
Biya menggigit bibir bawahnya. Ia tahu resikonya, tahu permintaannya gila. Tapi harga dirinya sudah terlalu lama diinjak. Ia tak sanggup lagi merasa jadi bahan ejekan. Dengan berani ia menegakkan bahu.
Dan di saat tegang itu menggantung- suara pintu ruangan Arsen berderit terbuka, langkah kakinya mendekat.
Bagas langsung menegakkan tubuh, wajahnya mendadak datar. Biya cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk dengan gelas di meja. Biya refleks mundur setengah langkah, wajahnya memanas.
“Gue udah nemu data Can—” suara Arsen terdengar santai, sebelum matanya menangkap situasi di dapur. Alisnya terangkat tipis.
“Eh? Lagi ngapain lo berdua?”
Arsen melangkah masuk lebih dekat, sorot matanya berubah serius. Tatapannya bergantian jatuh ke Biya yang salah tingkah lalu ke Bagas yang wajahnya terlalu tenang untuk dianggap biasa. Bibir Arsen melengkung tipis, tapi matanya tajam menusuk.
“Jangan bilang gue harus curiga sama lo, Gas.”
Bagas menoleh sedikit, tapi tidak sepenuhnya- hanya cukup agar matanya bisa melirik ke arah Biya.“Di meja kecil dekat tempat tidurmu. Semalam sempat jatuh waktu saya gendong kamu,” nada suaranya datar.“Ge-gendong?” Biya langsung menunduk, wajahnya memanas.Bagas menatapnya sekilas, ekspresinya tetap tenang. “Iya. Kamu tidur, kan. Masa saya biarkan di mobil?”“Oh i-iya, makasih, Mas,” Biya menelan ludah, pipinya memanas lebih dari bubur yang baru saja ia makan.Meski sudah pernah melakukan ciuman dan kegiatan ekstrem, tapi hubungan mereka sudah tidak sama lagi. Hanya karena gendongan saja bisa membuat perasaan si gadis membuncah dan merasa special.“Ambil aja ponselnya. Tapi,” Bagas kembali menatapnya, kali ini lebih lama. “Jangan digunakan, apalagi untuk menghubungi orang lain.”Nada itu berubah. Tidak keras, tapi cukup kuat untuk menegaskan bahwa ia sedang memberi perintah. Biya mengerutkan dahi tidak mengerti mengapa ada larangan baginya untuk menghubungi semua orang, termasuk aba
Biya benar-benar tidur nyenyak sepanjang malam. Matahari sudah naik, menembus jendela dengan cahaya lembut, ketika tubuhnya perlahan bergerak, bangun dari tidur panjang yang damai. “Hngg,”Matanya setengah terbuka, masih terasa kantuk yang menempel. Namun, pandangan aneh menebar ke seluruh ruangan, merasa asing dengan berbagai furniture yang ada. Perlahan, kakinya turun dengan pandangan menjelajahi ruangan dan perlahan mengarah ke pintu untuk membukanya, mencari tahu dimana dirinya berada.“Ini dimana?”Wajar saja jika Biya tidak mengingatnya, karena dulu saat dirinya datang ke villa, tidak sempat berkeliling, hanya beradu mulut di sofa- dalam artian panas. Di tengah kebingungannya, aroma hangat yang masuk ke hidungnya langsung membangkitkan kesadarannya aroma masakan yang familiar, menenangkan, dan anehnya, menimbulkan rasa nyaman.“Siapa yang masak?” gumamnya pada diri sendiri sembari berjalan ke arah aroma berada.Tepat di dapur sana, Biya melihat Bagas sedang menyiap
Blitz menyambar bertubi-tubi, menyilaukan mata. Wartawan semakin menempelkan tubuh ke pagar, mengabaikan hujan yang kian mengguyur kota, mikrofon terangkat tinggi.“Pak Arsen! Benarkah tuduhan itu benar?”“Apa benar Pak Dharma dan Bu Kirana pelaku tabrak lari?”“Apakah Anda berencana mundur dari posisi direktur utama?”Pertanyaan datang seperti hujan peluru, tak memberi ruang untuk bernapas. Arsen diam. Rahangnya mengeras, tangan mengepal kuat, tanpa melirik ke arah kamera, dirinya langsung masuk ke mobil.Mengerti bahwa tuan rumahnya akan keluar, satpam rumah langsung bergegas membuka pagar yang mana membuat wartawan mulai berdesakan ingin mendekat pada mobil. Blitz kamera terus menyala membuat Arsen semakin muak dengan semua ini.“Sialan,” ucapnya pelan tapi tegas.Mobil Bugatti itu berhasil keluar dari kerumunan yang langsung membuat semua penjaga kewalahan agar mereka tidak sampai masuk dan menggedor rumah. Arsen terus gelisah menuju rumah sakit, berharap bahwa adiknya itu baik-ba
Arsen kelimpungan dengan semua notifikasi mengenai klarifikasi akan skandal yang dihadapi. Bahkan sekretarisnya tidak berhenti menelepon atasannya itu untuk menanyakan bagaimana keadaan di sana.“Pak, bagaimana kalau kita memberikan pengamanan ketat dua kali lipat pada nona Biya di rumah sakit?” suara sekretaris terdengar dari speaker ponsel, panik tapi tegas.Arsen menelan ludah, pikirannya bergerak cepat. “Lakukan. Segera kontak tim pengamanan pribadi—pastikan hanya orang-orang yang terverifikasi yang boleh masuk. Koordinasikan dengan pihak rumah sakit: batasi kunjungan, minta satu ruang isolasi jika perlu. Jangan beri celah.”“Siap, Pak.” Sekretaris menutup sambungan dan langsung mem-broadcast perintah itu ke semua saluran.Biya sedang sendirian di rumah sakit karena Arsen harus cepat menyelesaikan skandal, sedangkan Kirana dan Dharma pulang karena ada yang menelepon dan memberitahu siapa sebenarnya Bagas. Orang suruhan yang dibayar untuk mematai-matai gerak-gerik mencurigakan, mak
“Sebentar lagi, Ardhanaya. Sebentar lagi, kalian akan hancur.”Kalimat itu begitu dalam, begitu gelap, begitu terasa bagaimana benci yang mendalam dalam relung si pria. Anak lelaki yang menjadi korban atas pengecut yang lari dari tanggung jawab dan membiarkan yang tersisa merana.Setelah menimang beberapa waktu, Bagas mengambil handphone dan memanggil nomor Nando untuk melakukan perintah selanjutnya. Perintah yang akan menjadi penentu akan bagaimana hidup dua orang tersangka di masa depan.“Lakukan sekarang.”Perintah itu singkat, dingin, tanpa ruang untuk ragu. Di ujung telepon, Nando mengangguk- meski tidak terlihat, lalu menutup sambungan dengan gerakan cepat.Di gudang tua yang remang, layar laptop menyala, lampu indikator ponsel berkerlap-kerlip. Nando memberi kode. Satu per satu file yang selama ini terkunci rapi dibuka dengan laporan kecelakaan lama, salinan BAP, rekaman CCTV yang sempat disimpan, nama-nama, tanggal, hingga korespondensi yang selama dua dekade tertutup rapat. S
Mengurus membantu perusahaan dari dalam?Membantu menutupi celah ketika bisnis goyah.Membantu menjaga kepercayaan investor saat ia harus sering ke luar negeri.Namun sekarang, sebuah fakta baru mencuat di kepalanya. Apa mungkin, semua bantuan itu bukan ketulusan, melainkan bagian dari rencana besar Bagas? Membantu untuk kemudian menghancurkan dari dalam, dengan cara yang paling menyakitkan.Arsen terdiam, merasakan keringat dingin merambat di tengkuknya.Jika benar begitu, berarti ia sendiri yang membuka pintu, memberi jalan, dan membiarkan musuh masuk ke jantung pertahanan keluarganya.“Fuck,” desisnya dengan meremas rambutnya frustasi.Di sisi lain, Bagas yang baru saja keluar dari area rumah sakit merasakan sore menyapu wajahnya, namun sama sekali tidak menenangkan. Jemarinya masih terasa hangat, seperti sisa genggaman tangan mungil yang tadi nyaris tak mau melepasnya. Biya.Matanya menatap kosong ke jalanan yang dilewatinya, lalu terkekeh miris. Sial. Seharusnya tidak selemah ini