Home / Romansa / Ajari Aku Ciuman, Mas CEO / Bagian 1 - No Kissing, Ended

Share

Ajari Aku Ciuman, Mas CEO
Ajari Aku Ciuman, Mas CEO
Author: Daisy

Bagian 1 - No Kissing, Ended

Author: Daisy
last update Last Updated: 2025-08-20 00:04:54

Biya tak pernah menyangka, hidupnya sebagai mahasiswa bisa berubah semiris ini. Hidupnya terasa lurus-lurus saja, tanpa drama yang berarti.

Semua itu berubah ketika Mahes, pacarnya selama hampir setahun, tiba-tiba memutuskan hubungan. Alasannya membuat Biya hancur sekaligus marah hanya karena ia menolak berciuman. Bagi Biya, menjaga diri bukan hal memalukan, tapi justru prinsip yang ia pegang teguh.

“Ih, kasihan ya,” suara seseorang terdengar di koridor.

Sayangnya, di mata Mahes, sikap itu dianggap membosankan, polos, dan tidak menarik. Sejak saat itu, Biya merasa harga dirinya runtuh. Perasaan itu tumbuh menjadi luka yang sulit sembuh, sekaligus melahirkan sebuah tekad baru. Ia ingin membuktikan pada dirinya—dan diam-diam pada Mahes—bahwa ia tidak sepolos dan semembosankan itu.

“Itu kan yang diputusin Mahes cuma gara-gara nggak mau dicium. Sok suci banget.”

Biya menunduk, berusaha tak peduli, meski telinganya panas dan matanya mulai berair. Apa salahnya menjaga diri? Memangnya itu dosa?

Sepanjang jalan pulang, bisikan dan tawa meremehkan terus menghantui. Dadanya sesak, langkahnya terasa berat. Hingga akhirnya, ketika ia melewati lorong belakang kampus, Biya berhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan yang menusuk jantungnya.

Mahes—lelaki yang baru saja memutuskan dirinya—kini tengah menempelkan bibirnya pada seorang mahasiswi lain, tangannya melingkar mesra di pinggang perempuan itu. Air mata Biya luruh seketika.

Sialan.

Baginya, yang paling menyakitkan bukan sekadar ditinggalkan. Tapi fakta bahwa Mahes bisa dengan ringan berkata ia terlalu polos, lalu beberapa hari kemudian dengan mudah menunjukkan "kemesraan" itu di depan umum, seolah membuktikan kalau keputusan meninggalkan Biya memang benar.

“Ini tuh tempat belajar! Dasar brengsek!” Biya menunduk, menahan suara agar tidak pecah.

Ia berbalik, langkahnya gemetar, tak ingin lagi melihat. Dadanya perih, bukan hanya karena diejek, tapi karena Mahes membuktikan semua ucapan kejamnya dengan tindakan.

Sesampainya di rumah, Biya langsung membanting pintu. Tasnya ia lempar ke sofa, tubuhnya ikut terjerembab menyusul. Lutut ditarik ke dada, matanya masih sembab.

“Kenapa ini kenapa?” tanya Abangnya, Arsen, seraya di kursi seberang.

Di sampingnya, Bagas—teman dekat abangnya yang kebetulan sedang mampir—ikut mendengar.

“Orang-orang bilang aku nggak menarik, cuma karena aku nggak mau dicium. Mereka ketawa, bilang aku cupu, nggak seksi. Mahes juga… dia—” suaranya pecah, tak sanggup melanjutkan.

“Siapa Mahes? Pacar kamu? Abang labrak ya! Bener bener ya!”

Masih dengan mata sembab, Biya mendongak. Air matanya masih menempel. “Gak usah!”

Bukan emosi kesal yang ia lihat. Justru abangnya tertawa.

Yang ia dapatkan bukan tatapan marah, melainkan tawa keras abangnya.

“Biyaaa, kamu tuh! HAHAHAHA.” Arsen terbahak sambil menggeleng, seolah masalah Biya hanya remeh-temeh.

Biya menatapnya tak percaya. “Bang, aku serius!” suaranya pecah, matanya memerah lagi.

Tawa Arsen perlahan mereda, tapi bukan karena sadar. Ia masih menyeringai. “Ya ampun, Biya… gara-gara nggak mau dicium aja kamu dibikin nangis? Kenapa sihh kamuu?”

Biya ingin membantah, tapi terhenti ketika menyadari Bagas masih duduk di sana. Lelaki itu diam, hanya menatapnya lurus. Tatapan yang sama sekali berbeda dari Arsen—tidak mengejek, tidak meremehkan. Ia menatap Biya lurus.

Perempuan itu melemparkan bantal ke arah Arsen yang masih tertawa. Kemudian melangkah lari ke kamarnya.

Di kamar, ia berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang lelah tapi penuh tanda tanya. Jari-jarinya menyentuh pelan bibirnya yang sering kali terasa kaku dan tak percaya diri.

Matanya menelusuri lekuk wajah, bahu, hingga ke rambut yang selama ini ia anggap biasa saja. Ada getar halus di dadanya—antara ragu dan berharap.

Jarinya pelan menyentuh bibirnya sendiri, seolah mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. Bibir Biya memang bukan tipe bibir tipis atau tebal, bisa dibilang berada ditengah-tengah. Dulu, saat masih SMP, SMA, ia merasa insecure dengan bibirnya, tapi itu berubah saat mulai kuliah sarjana.

Ada kekhawatiran tersembunyi di balik kata-katanya, sebuah ketidakpastian tentang tubuh yang selama ini ia merasa asing dengannya sendiri.

“Apa aku gak menarik?”

Biya menghela nafas panjang, mencoba menerima bayangan dirinya yang selama ini ia pandang sebelah mata.

Perihal tubuh saja bisa menjadi ejekan untuk orang lain, memangnya dosa ya kalau tidak seksi? Kalau semua wanita dimuka bumi ini memiliki bentuk tubuh yang dianggap seksi, itu artinya tidak ada keberagaman dalam manusia.

Benar? Harusnya sih iya.

Biya menghela nafas lelah, mencari validasi dalam pikirannya sendiri bahwa dengan begini saja sudah cukup.

Bukan gue yang nggak seksi, tapi mereka yang otak mesum. Sambil menatap pantulannya di cermin, Biya memiliki ide gila.

Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi ke ruang tamu. Arsen sudah tidak ada. Hanya Bagas yang masih duduk, menunduk ke arah laptopnya.

“Abang kemana, Mas?” suara Biya lirih.

“Salin dokumen di ruang kerjanya,” jawabnya tanpa menoleh pada Biya. Biya menghela nafas, mengumpulkan keberanian yang tersisa.

“Mas, ada sesuatu yang mau aku omongin,” suaranya pelan, nyaris bergetar.

Bagas tersenyum ramah, menatapnya penuh perhatian.

“Ada apa?”

Biya mengumpulkan kata-kata, menyiapkan langkah pertamanya dalam perjalanan yang tak mudah ini.

“Bisa ajarin aku, nggak?”

“Selama saya bisa,” begitu jawabnya yang semakin mempercepat debaran jantungnya. Bagas menatapnya dengan tenang, menunggu adik sahabatnya mengatakan niatnya.

“Ajarin apa?” tanyanya lagi.

“Ajarin aku ciuman.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 9 - Lembut atau Kasar?

    Bagas meraup bibir Biya habis-habisan. Awalnya sekadar sentuhan kasar, tapi dalam hitungan detik, ciuman itu berubah jadi serbuan yang nyaris membuat Biya kehilangan kendali.Bibirnya ditarik, digigit, lalu dijilat dengan buas- seolah Bagas sedang membalas tujuh tahun tanpa disentuh dan menyentuh benda lunak ini.Biya tersentak, tangannya refleks menekan dada bidang pria itu. Tapi bukannya menjauh, Bagas justru menahan pergelangan tangannya di sisi tubuh. Lengannya mendekap Biya rapat, membatasi ruang gerak sekaligus melahap seluruh oksigennya.“Mas,” desah Biya tertahan di antara celah ciuman yang tak memberinya ruang untuk berpikir.Bagas menelan suara itu bulat-bulat, semakin menekan bibirnya ke milik Biya, semakin dalam, semakin liar- seolah ingin memastikan gadis itu tidak akan pernah lupa siapa yang pertama kali membuatnya gemetar begini.“Mhh..”Ciuman itu berlangsung begitu lama sampai Biya nyaris lupa cara bernapas. Jantungnya berdentum kacau, tubuhnya seakan meleleh di bawah

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 8 - Pelajaran Kedua

    Pukul empat kurang lima menit.Bagas menarik napas dalam-dalam, meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang bahkan ia sendiri sulit jelaskan. Tujuh tahun ia terbiasa menunggu proyek besar, kesepakatan penting, bahkan keputusan bernilai miliaran.Namun, kali ini yang ia tunggu hanya seorang gadis dan anehnya, itu membuat dadanya lebih berat dari biasanya.“Mari kita lihat, Biya,” gumamnya lirih, tatapannya tajam menembus jendela kaca yang memperlihatkan langit sore yang mulai memerah, “apakah kamu benar-benar berani masuk ke dunia saya?”Dan di sinilah Biya berada, berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang angkuh ke langit sore. Megah, dingin, dan terlalu tinggi untuk seorang dirinya yang kini merasa begitu kecil dan tak berdaya.“Gue bisa, ini Cuma sekedar belajar dan ngga lebih.”Gedung ini bukan hanya sekadar tumpukan beton dan kaca, melainkan simbol dari sosok pria yang menunggunya di dalam. Bagaswara Adi Wiratama- dingin, tegas, tak tersentuh. Dan ia, Biy

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 7 - Sampai bisa, Mas

    “Mas, nggak keberatan ngajarin aku sampai bisa?”Ini sama saja menyerahkan diri pada singa untuk dimangsa.Biya tidak tahu- bahwa selama tujuh tahun terakhir, Bagas menahan gejolak yang terus menggerogoti dirinya. Nafsu, rindu akan sentuhan, dan juga sepi yang menempel erat bagai racun. Tujuh tahun, ia memilih tak menyentuh wanita manapun, membiarkan dirinya terkubur dalam tumpukan proyek dan pekerjaan.Dan kini, tanpa sadar, Biya datang dengan polosnya. Menyerahkan diri dengan dalih belajar ciuman. Seolah ia tak paham bahwa yang sedang ia datangi bukan sekadar pria biasa, tapi seekor singa yang sabarnya sudah lama teruji, dan sekali diterobos, bisa menghabisi segalanya.Bagas menatap layar ponselnya, mendengar suara Biya yang gemetar di seberang. Jari-jarinya mengepal di meja, rahangnya mengeras. Ia tahu, satu kata “iya” darinya cukup untuk meruntuhkan semua batas.Dan Biya, gadis itu benar-benar tidak sadar sedang berdiri di mulut jurang.“Kalau begitu, datang lagi besok ke kantor s

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 6 - Debar Aneh

    “Lo gila!”Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”Lesi

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 5 - Berjalan Menuju Bahaya

    Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah te

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 4 - Pelajaran Pertama

    Satu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.“Masuk.”Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status