Home / Romansa / Ajari Aku Ciuman, Mas CEO / Bagian 3 - Realisasi Ide Gila

Share

Bagian 3 - Realisasi Ide Gila

Author: Daisy
last update Last Updated: 2025-08-20 00:15:57

Bukan Biya kalau tidak nekat datang ke kantor Bagas hanya untuk meminta tolong-yang dalam prakteknya lebih terasa seperti memaksa. Gadis itu berdiri dengan dagu terangkat, meski jelas gugup, mencoba terlihat percaya diri di hadapan meja resepsionis yang modern dengan permukaan kaca mengkilap.

“Sudah membuat janji dengan Pak Bagas?” suara mbak resepsionis terdengar formal, datar, tapi matanya jelas menilai Biya dari ujung rambut hingga sepatu.

“Belum, Mbak.” Biya menggeleng, senyumnya dipaksakan.

“Maaf, kalau begitu tidak bisa ya.”

Biya menghela nafas, lalu bersandar sedikit ke meja, suaranya menurun jadi setengah memohon. “Tolong banget, Mbak. Teleponin aja dulu. Bilang yang nyari adiknya Arsen.”

Resepsionis itu menghela nafas lelah, wajahnya menahan jengkel. Dengan setengah hati ia meraih gagang telepon, jarinya baru akan menekan tombol saat Biya menoleh ke arah lift- dan jantungnya langsung berdegup lebih cepat.

Di sana, pintu lift terbuka, menampakkan Bagas keluar dengan langkah tegap. Jas kerjanya rapi, dasi terikat sempurna, aura dingin dari seorang pria langsung terpancar kuat.

“Mas,” bisik Biya, refleks langsung melangkah cepat. High heels berketuk di lantai marmer, membuat beberapa orang di lobi menoleh.

Bagas baru sempat menoleh sekilas ketika tiba-tiba Biya sudah berdiri tepat di depannya, membuat pria itu sedikit tersentak. “Biya? Kamu ngapain disini?” suaranya dalam, tercampur kaget sekaligus heran.

“Mas, please, bantuin aku. Aku, aku beneran butuh bantuan Mas.” Suara Biya lugas penuh keyakinan, tapi juga terselip ketakutan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Tatapan Bagas meruncing. Ia menunduk sedikit, menahan suara agar tak terdengar orang lain. “Apa ini permintaan yang sama seperti kemarin?”

Biya menunduk, menelan ludah, lalu menjawab lirih nyaris tak terdengar, “Iya.”

Bagas menghela nafas panjang, jelas tidak suka diperhatikan orang banyak. Dengan suara rendah, ia menegaskan, “Jangan di sini. Kita bicara nanti.”

“Nggak mau.” Biya menggeleng cepat, matanya memohon. “Aku maunya sekarang.”

Bagas menarik napas panjang, mengusap tengkuknya sebentar seakan menahan diri. “Saya masih ada meeting di luar. Nanti saja setelah kerja.”

Sekretaris pribadinya yang dari tadi memperhatikan langsung menambahkan dengan sopan, “Maaf, Pak. Pak Darman sudah dalam perjalanan menuju restoran.”

Bagas menatap Biya, tatapan mata cokelat gelapnya terasa menekan. Ia sempat terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menghela nafas panjang, tanda menyerah. “Tidak bisa sekarang. Nanti malam saya ke rumah kamu.”

Sejenak, keheningan menyelip di antara mereka. Biya menatapnya, penuh harap, hampir tidak percaya. “Serius?”

Bagas mengangguk tipis. “Iya.”

Dan meskipun singkat, kepastian itu cukup membuat dada Biya terasa lebih lega. Meski begitu, terselip ketakutan bagaimana jika Bagas tidak menepati janjinya? Bagaimana kalau itu hanya janji manis untuk melarikan diri lagi.

Namun, sayangnya punggung tegap itu sudah menghilang ke dalam mobil. Melangkah menuju restoran untuk meeting pekerjaan. Biya menghela nafas lelah, mencoba memikirkan rencana plan C guna membujuk Bagas.

“Percaya saja dulu deh, kan Mas Bagas nggak pernah bohong.”

Dengan keyakinan yang hanya 50% itu, Biya melangkah keluar dari perusahaan. Ia juga baru menyadari kalau sedari tadi menjadi pusat perhatian banyak orang di lobi.

Tapi, memangnya dia peduli? Bodo amat.

Berbeda dengan Biya yang tampak bodo amat dan hanya berharap Bagas menepati janjinya malam ini, Bagas justru terdiam lama di dalam mobil dinasnya. Jari telunjuk dan ibu jarinya memijat kening, sementara napas panjang lolos begitu saja. Satu tangan lain mengusap rambut yang sudah tertata rapi, membuat beberapa helai bergeser acak.

“Belajar ciuman?” gumamnya lirih, seperti bicara pada diri sendiri.

Ia memejamkan mata sebentar, berusaha mencerna betul-betul. Permintaan itu terlalu konyol, terlalu kekanak-kanakan, namun tatapan serius Biya siang tadi dan kemarin malam jelas tidak sedang main-main.

Sebenarnya, siapa yang memberikan Biya ide gila seperti itu? Kenapa harus dirinya yang ditarik ke dalam hal seaneh ini?

--

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika akhirnya mobil hitam Bagas berhenti di depan rumah mewah tempat Biya dan keluarganya tinggal. Kenapa Bagas begitu berani datang untuk membahas sesuatu yang tidak masuk akal?

Jawabannya sederhana karena orang tua Biya sedang berlibur ke luar negeri dan Arsen kerap kali pulang malam. Membiarkan adiknya, Biya- sering sendirian di malam hari.

“Sudah sampai ya,” gumamnya lirih sambil memandang setir yang masih digenggamnya- kini mengerat.

Bagas duduk diam beberapa detik sebelum keluar. Ia sempat menatap ponselnya, nyaris ingin mengetik alasan untuk membatalkan. Tapi wajah Biya dengan tatapan memohon bercampur keras kepala kembali muncul di benaknya. Membuatnya hanya bisa menghela nafas lalu membuka pintu mobil.

“Mas dateng juga,” ucapnya pelan tapi penuh kelegaan.

Bagas hanya mendengus kecil, menatapnya dengan ekspresi datar namun ada kelelahan jelas di wajahnya. “Kamu pikir saya bisa tidur nyenyak kalau nggak datang?”

Tidak ada balasan, Bagas melangkah masuk ke dalam rumah mewah dengan dominasi warna emas itu. Ruang tamu besar dengan sofa mahal dan perabotan harga milyaran, tapi entah mengapa selalu terasa pengap.

Rumah mewah ini selalu terasa dingin bagi Bagas setiap kali bertamu. Satu-satunya kehangatan di rumah ini hanya pada perempuan yang kini sudah duduk di sofa dengan tatapan penuh harap.

Bagas melepaskan jasnya, meletakkannya di sandaran kursi. Dengan gerakan lelah, ia duduk, tangan terlipat di dada, menatap Biya yang duduk kikuk di hadapannya.

“Jadi,” suara Bagas rendah, matanya menelusuri wajah Biya dengan tajam. “Kamu sungguh-sungguh mau belajar ciuman?”

Biya menunduk, menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Mas.”

Bagas memijat pelipisnya sekali lagi, kepalanya menengadah menatap langit-langit. Ia sungguh tak mengerti apa yang ada di kepala gadis itu.

“Biya,” suaranya berat, mengandung peringatan. “Kamu sadar kan, permintaan kamu ini bukan hal yang bisa dianggap remeh?”

Biya terdiam, lagi menghela nafas kecil dan menatap lantai. Suaranya lirih, nyaris seperti pengakuan. “Justru karena itu aku minta tolong sama Mas. Aku percaya sama Mas Bagas.”

“Bagaimana kalau Arsen tahu tentang hal ini?” tanya Bagas kembali sambil memandang lekat-lekat Biya.

“Aku yang akan tanggung jawab. Pertemanan Mas sama Bang Arsen nggak akan berdampak apapun.”

Memangnya Bagas percaya? Perempuan yang sedang dalam usia mencari jati diri ini mau bertanggung jawab perihal pertemanan orang dewasa? omong kosong apalagi ini Biya.

Bagas menurunkan pandangan, menatap perempuan keras kepala itu. Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa dinding dingin yang biasa ia bangun di sekeliling dirinya, mulai sedikit retak.

“Datang ke kantor saya besok siang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 9 - Lembut atau Kasar?

    Bagas meraup bibir Biya habis-habisan. Awalnya sekadar sentuhan kasar, tapi dalam hitungan detik, ciuman itu berubah jadi serbuan yang nyaris membuat Biya kehilangan kendali.Bibirnya ditarik, digigit, lalu dijilat dengan buas- seolah Bagas sedang membalas tujuh tahun tanpa disentuh dan menyentuh benda lunak ini.Biya tersentak, tangannya refleks menekan dada bidang pria itu. Tapi bukannya menjauh, Bagas justru menahan pergelangan tangannya di sisi tubuh. Lengannya mendekap Biya rapat, membatasi ruang gerak sekaligus melahap seluruh oksigennya.“Mas,” desah Biya tertahan di antara celah ciuman yang tak memberinya ruang untuk berpikir.Bagas menelan suara itu bulat-bulat, semakin menekan bibirnya ke milik Biya, semakin dalam, semakin liar- seolah ingin memastikan gadis itu tidak akan pernah lupa siapa yang pertama kali membuatnya gemetar begini.“Mhh..”Ciuman itu berlangsung begitu lama sampai Biya nyaris lupa cara bernapas. Jantungnya berdentum kacau, tubuhnya seakan meleleh di bawah

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 8 - Pelajaran Kedua

    Pukul empat kurang lima menit.Bagas menarik napas dalam-dalam, meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang bahkan ia sendiri sulit jelaskan. Tujuh tahun ia terbiasa menunggu proyek besar, kesepakatan penting, bahkan keputusan bernilai miliaran.Namun, kali ini yang ia tunggu hanya seorang gadis dan anehnya, itu membuat dadanya lebih berat dari biasanya.“Mari kita lihat, Biya,” gumamnya lirih, tatapannya tajam menembus jendela kaca yang memperlihatkan langit sore yang mulai memerah, “apakah kamu benar-benar berani masuk ke dunia saya?”Dan di sinilah Biya berada, berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang angkuh ke langit sore. Megah, dingin, dan terlalu tinggi untuk seorang dirinya yang kini merasa begitu kecil dan tak berdaya.“Gue bisa, ini Cuma sekedar belajar dan ngga lebih.”Gedung ini bukan hanya sekadar tumpukan beton dan kaca, melainkan simbol dari sosok pria yang menunggunya di dalam. Bagaswara Adi Wiratama- dingin, tegas, tak tersentuh. Dan ia, Biy

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 7 - Sampai bisa, Mas

    “Mas, nggak keberatan ngajarin aku sampai bisa?”Ini sama saja menyerahkan diri pada singa untuk dimangsa.Biya tidak tahu- bahwa selama tujuh tahun terakhir, Bagas menahan gejolak yang terus menggerogoti dirinya. Nafsu, rindu akan sentuhan, dan juga sepi yang menempel erat bagai racun. Tujuh tahun, ia memilih tak menyentuh wanita manapun, membiarkan dirinya terkubur dalam tumpukan proyek dan pekerjaan.Dan kini, tanpa sadar, Biya datang dengan polosnya. Menyerahkan diri dengan dalih belajar ciuman. Seolah ia tak paham bahwa yang sedang ia datangi bukan sekadar pria biasa, tapi seekor singa yang sabarnya sudah lama teruji, dan sekali diterobos, bisa menghabisi segalanya.Bagas menatap layar ponselnya, mendengar suara Biya yang gemetar di seberang. Jari-jarinya mengepal di meja, rahangnya mengeras. Ia tahu, satu kata “iya” darinya cukup untuk meruntuhkan semua batas.Dan Biya, gadis itu benar-benar tidak sadar sedang berdiri di mulut jurang.“Kalau begitu, datang lagi besok ke kantor s

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 6 - Debar Aneh

    “Lo gila!”Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”Lesi

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 5 - Berjalan Menuju Bahaya

    Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah te

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 4 - Pelajaran Pertama

    Satu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.“Masuk.”Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status