MasukBukan Biya kalau tidak nekat datang ke kantor Bagas hanya untuk meminta tolong-yang dalam prakteknya lebih terasa seperti memaksa. Gadis itu berdiri dengan dagu terangkat, meski jelas gugup, mencoba terlihat percaya diri di hadapan meja resepsionis yang modern dengan permukaan kaca mengkilap.
“Sudah membuat janji dengan Pak Bagas?” suara mbak resepsionis terdengar formal, datar, tapi matanya jelas menilai Biya dari ujung rambut hingga sepatu.
“Belum, Mbak.” Biya menggeleng, senyumnya dipaksakan.
“Maaf, kalau begitu tidak bisa ya.”
Biya menghela nafas, lalu bersandar sedikit ke meja, suaranya menurun jadi setengah memohon. “Tolong banget, Mbak. Teleponin aja dulu. Bilang yang nyari adiknya Arsen.”
Resepsionis itu menghela nafas lelah, wajahnya menahan jengkel. Dengan setengah hati ia meraih gagang telepon, jarinya baru akan menekan tombol saat Biya menoleh ke arah lift- dan jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Di sana, pintu lift terbuka, menampakkan Bagas keluar dengan langkah tegap. Jas kerjanya rapi, dasi terikat sempurna, aura dingin dari seorang pria langsung terpancar kuat.
“Mas,” bisik Biya, refleks langsung melangkah cepat. High heels berketuk di lantai marmer, membuat beberapa orang di lobi menoleh.
Bagas baru sempat menoleh sekilas ketika tiba-tiba Biya sudah berdiri tepat di depannya, membuat pria itu sedikit tersentak. “Biya? Kamu ngapain disini?” suaranya dalam, tercampur kaget sekaligus heran.
“Mas, please, bantuin aku. Aku, aku beneran butuh bantuan Mas.” Suara Biya lugas penuh keyakinan, tapi juga terselip ketakutan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Tatapan Bagas meruncing. Ia menunduk sedikit, menahan suara agar tak terdengar orang lain. “Apa ini permintaan yang sama seperti kemarin?”
Biya menunduk, menelan ludah, lalu menjawab lirih nyaris tak terdengar, “Iya.”
Bagas menghela nafas panjang, jelas tidak suka diperhatikan orang banyak. Dengan suara rendah, ia menegaskan, “Jangan di sini. Kita bicara nanti.”
“Nggak mau.” Biya menggeleng cepat, matanya memohon. “Aku maunya sekarang.”
Bagas menarik napas panjang, mengusap tengkuknya sebentar seakan menahan diri. “Saya masih ada meeting di luar. Nanti saja setelah kerja.”
Sekretaris pribadinya yang dari tadi memperhatikan langsung menambahkan dengan sopan, “Maaf, Pak. Pak Darman sudah dalam perjalanan menuju restoran.”
Bagas menatap Biya, tatapan mata cokelat gelapnya terasa menekan. Ia sempat terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menghela nafas panjang, tanda menyerah. “Tidak bisa sekarang. Nanti malam saya ke rumah kamu.”
Sejenak, keheningan menyelip di antara mereka. Biya menatapnya, penuh harap, hampir tidak percaya. “Serius?”
Bagas mengangguk tipis. “Iya.”
Dan meskipun singkat, kepastian itu cukup membuat dada Biya terasa lebih lega. Meski begitu, terselip ketakutan bagaimana jika Bagas tidak menepati janjinya? Bagaimana kalau itu hanya janji manis untuk melarikan diri lagi.
Namun, sayangnya punggung tegap itu sudah menghilang ke dalam mobil. Melangkah menuju restoran untuk meeting pekerjaan. Biya menghela nafas lelah, mencoba memikirkan rencana plan C guna membujuk Bagas.
“Percaya saja dulu deh, kan Mas Bagas nggak pernah bohong.”
Dengan keyakinan yang hanya 50% itu, Biya melangkah keluar dari perusahaan. Ia juga baru menyadari kalau sedari tadi menjadi pusat perhatian banyak orang di lobi.
Tapi, memangnya dia peduli? Bodo amat.
Berbeda dengan Biya yang tampak bodo amat dan hanya berharap Bagas menepati janjinya malam ini, Bagas justru terdiam lama di dalam mobil dinasnya. Jari telunjuk dan ibu jarinya memijat kening, sementara napas panjang lolos begitu saja. Satu tangan lain mengusap rambut yang sudah tertata rapi, membuat beberapa helai bergeser acak.
“Belajar ciuman?” gumamnya lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
Ia memejamkan mata sebentar, berusaha mencerna betul-betul. Permintaan itu terlalu konyol, terlalu kekanak-kanakan, namun tatapan serius Biya siang tadi dan kemarin malam jelas tidak sedang main-main.
Sebenarnya, siapa yang memberikan Biya ide gila seperti itu? Kenapa harus dirinya yang ditarik ke dalam hal seaneh ini?
--
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika akhirnya mobil hitam Bagas berhenti di depan rumah mewah tempat Biya dan keluarganya tinggal. Kenapa Bagas begitu berani datang untuk membahas sesuatu yang tidak masuk akal?
Jawabannya sederhana karena orang tua Biya sedang berlibur ke luar negeri dan Arsen kerap kali pulang malam. Membiarkan adiknya, Biya- sering sendirian di malam hari.
“Sudah sampai ya,” gumamnya lirih sambil memandang setir yang masih digenggamnya- kini mengerat.
Bagas duduk diam beberapa detik sebelum keluar. Ia sempat menatap ponselnya, nyaris ingin mengetik alasan untuk membatalkan. Tapi wajah Biya dengan tatapan memohon bercampur keras kepala kembali muncul di benaknya. Membuatnya hanya bisa menghela nafas lalu membuka pintu mobil.
“Mas dateng juga,” ucapnya pelan tapi penuh kelegaan.
Bagas hanya mendengus kecil, menatapnya dengan ekspresi datar namun ada kelelahan jelas di wajahnya. “Kamu pikir saya bisa tidur nyenyak kalau nggak datang?”
Tidak ada balasan, Bagas melangkah masuk ke dalam rumah mewah dengan dominasi warna emas itu. Ruang tamu besar dengan sofa mahal dan perabotan harga milyaran, tapi entah mengapa selalu terasa pengap.
Rumah mewah ini selalu terasa dingin bagi Bagas setiap kali bertamu. Satu-satunya kehangatan di rumah ini hanya pada perempuan yang kini sudah duduk di sofa dengan tatapan penuh harap.
Bagas melepaskan jasnya, meletakkannya di sandaran kursi. Dengan gerakan lelah, ia duduk, tangan terlipat di dada, menatap Biya yang duduk kikuk di hadapannya.
“Jadi,” suara Bagas rendah, matanya menelusuri wajah Biya dengan tajam. “Kamu sungguh-sungguh mau belajar ciuman?”
Biya menunduk, menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Mas.”
Bagas memijat pelipisnya sekali lagi, kepalanya menengadah menatap langit-langit. Ia sungguh tak mengerti apa yang ada di kepala gadis itu.
“Biya,” suaranya berat, mengandung peringatan. “Kamu sadar kan, permintaan kamu ini bukan hal yang bisa dianggap remeh?”
Biya terdiam, lagi menghela nafas kecil dan menatap lantai. Suaranya lirih, nyaris seperti pengakuan. “Justru karena itu aku minta tolong sama Mas. Aku percaya sama Mas Bagas.”
“Bagaimana kalau Arsen tahu tentang hal ini?” tanya Bagas kembali sambil memandang lekat-lekat Biya.
“Aku yang akan tanggung jawab. Pertemanan Mas sama Bang Arsen nggak akan berdampak apapun.”
Memangnya Bagas percaya? Perempuan yang sedang dalam usia mencari jati diri ini mau bertanggung jawab perihal pertemanan orang dewasa? omong kosong apalagi ini Biya.
Bagas menurunkan pandangan, menatap perempuan keras kepala itu. Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa dinding dingin yang biasa ia bangun di sekeliling dirinya, mulai sedikit retak.
“Datang ke kantor saya besok siang.”
Bagas mendekat beberapa centimeter lagi, membuat nafas Biya memendek.“Jangan tutup wajah kamu,” suara Bagas rendah, berat, hampir seperti gumaman yang tertahan.Helaan napas Biya nyaris terdengar.Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut Bagas bisa mendengarnya.“Saya,” Suaranya parau. “Saya nggak apa-apa, Pak.”“Saya mau lihat apa ada yang terluka,” Bagas mengoreksi pelan tanpa marah. Ibu jari Bagas kembali mengusap pipinya, lebih perlahan. Seolah ia sedang memastikan Biya baik-baik saja.Seolah ia sedang memastikan perempuan itu masih berada dalam jangkauannya.“Saya tidak tahu kamu sudah sedewasa ini sekarang," nada Bagas turun, suaranya dalam, penuh tekanan halus.Biya menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai menggenang di dada.“Pak, saya cuma-”Biya menelan ludah keras-keras. Tangannya bergerak refleks, memegang lengan Bagas.“Tessanya nanti,” ucap Bagas lirih tapi tegas. “Saya ingin memastikan keadaan kamu dulu.”Dada Biya naik turun. Tidak stabil, karena Ba
Tessa menegang, apalagi saat melihat senyum miring yang terlihat jelas di wajah Biya. Perempuan itu melangkah mendekat, pelan, terkontrol, seperti sedang menikmati setiap detik sebelum menerkam mangsanya. Kedua tangannya terlipat santai di depan dada, namun matanya menohok tajam."Kamu membicarakan kesalahan design saya begitu detail, Tessa. Itu membuat saya cukup impresif dengan daya ingat kamu, tapi sayangnya kamu melakukan kesalahan dengan membongkar kelakuanmu sendiri."Biya berhenti tepat di depan Tessa, mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya makin menusuk. Tessa mundur setengah langkah tanpa sadar, jari-jarinya mencengkeram binder yang ia pegang.“Sa-saya hanya ingin membantu menemukan pelaku tuduhan plagiasi,” ucap Tessa, berusaha menahan getaran suaranya.“Really?” Biya menaikkan alis sambil tersenyum tipis. "Bukan penasaran dengan reaksi dan respon saya dalam memberikan sanksi dan hukuman pada pelaku?"Biya mendekat, memiringkan kepala seolah sedang mengamati sesuatu yang luc
Fakta hubungan masa lalu Mr. Wiratama dan Ms. Biya sudah mencuat kepada seluruh staff kantor. Tidak ada yang dapat memastikan bagaimana respon semuanya, karena setelah Bagas masuk ke dalam kamar mandi, Biya memutuskan keluar. Duduk dikursinya, menunduk dan menatap pekerjaannya."Konyol," gumamnya lirih.Tanpa memedulikan siapapun, tidak berinteraksi dengan siapapun, Biya hanya melakukan pekerjaaannya mencoba membenahi design nya. Ia sudah tidak peduli lagi kalau masalah plagiasi itu tidak terselesaikan, satu yang pasti gadis itu sudah tidak peduli apapun."Ms. Biya," panggil Tessa, salah satu staff dari tim designer."Ya?" Biya mengangkay wajahnya. Setelah sekian lama, gadis itu mendongak dan mendapati Tessa yang berdiri dengan memegang map."Perihal plagiasi sudah diselesaikan oleh Matteo dan Mr... Mr. Wiratama. Kamu tidak perlu mengubah apapun, kita tetap bisa menampilkan design ini."Tidak ada reaksi. Biya hanya terdiam lalu menganggukkan kepalanya. Bahkan ekor matanya tidak menata
"Why do you looking at me like that?"Sebuah tanya yang Valerie lontarkan begitu tatapan itu terasa mengintimidasi. Meski masih berpenampilan berantakan khas orang baru bangun tidur, tidak menampik bagaimana mata tajam itu menghunusnya."What do you think?" justru Bagas semakin berbalik bertanya dengan nada yang Valeris yakini itu seperti menguji.Biya yang awalnya fokus melihat designya mulai merasa suasana menegang. Tatapannya berpindah dari laptop menuju dua orang yang sedang mengeluarkan aura menegangkan."Kamu pikir aku yang bocorin ide dan semua designnya?" mulai ada nada tinggi dalam kalimat Valerie.Tangan perempuan itu menggenggam erat, seolah bisa meremukkan kukunya sendiri. Di lain sisi, Bagas hanya menelengkan kepala tidak peduli dengan kalimat dan reaksi Valerie."Atas dasar apa kamu mengira saya berpikir seperti itu? Saya hanya bertanya, Valerie."Jawaban Bagas tidak membuat Valerie lega, justru semakin meradang dengan wajah memerah."Aku nggak ada hubungannya dengan des
Langkah tergesa itu datangnya dari salah tim yang juga turut serta berada dalam design milik Biya. Sontak saja, keduanya langsung menjauh, dan Bagas melepaskan jemarinya dari wajah si gadis. “Pe-permisi, Mr,” suara anggota tim itu terdengar terburu-buru dan sedikit gemetar. “Saya mendapatkan informasi bahwa yang membocorkan file desain-”Dia terhenti.Terlambat menyadari atmosfer ruangan yang begitu tebal dan aneh. Bagas yang masih berdiri dekat sekali dengan Biya, napas keduanya yang belum stabil, pipi Biya merah, dan kondisi Bagas yang masih berantakan.Kecurigaan dan ketegangan langsung membuat anggota tim itu menelan ludah. Bagas mengangkat dagunya sedikit, ekspresi berubah tajam seperti CEO dingin yang semua orang takutkan.“Lanjutkan,” perintahnya.Anggota tim itu menggenggam tablet di tangannya lebih erat.“File desain Ms. Biya, bocornya bukan dari orang luar, Sir. Kami menemukan jejak akses dari-”Dia berhenti lagi, wajahnya semakin pucat. Biya menahan napas. Bagas menajamka
Sementara itu, di kantor pusat yang lampunya masih menyala hingga lewat tengah malam, Bagas berdiri di depan meja Matteo dengan rahang mengeras. Kemejanya sudah dilepas dari kancing teratas, lengan kemeja digulung hingga siku menunjukkan bahwa kesabarannya sudah habis sejak beberapa jam lalu.Matteo menatap layar laptop yang dipenuhi tab berita, komentar, dan potongan unggahan yang menuduh desain Biya menjiplak Skylar.“Saya merasa ini seperti sudah disiapkan dengan matang,” gumam Matteo sambil mengusap wajahnya lelah.Bagas memutar kursinya, menatap monitor besar di dinding. Jejak digital yang baru saja Matteo buka menunjukkan seseorang mengunggah postingan pertama tepat empat menit setelah desain Biya dipresentasikan internal. Mustahil jika orang luar memiliki akses langsung.“Entah bagaimana, saya yakin dia disini,” suara Bagas dingin, rendah.Matteo mengangguk. “Betul, Sir. Ini bukan pekerjaan amatir. Mereka menggunakan akun palsu, tapi servernya masih bisa ditarik. Saya butuh sed