LOGINSatu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.
Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.
“Masuk.”
Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.
Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.
Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu mata Biya yang berdiri kaku di ambang pintu.
“Kunci pintunya,” ucap Bagas datar.
Biya refleks menoleh ke belakang, jantungnya makin menggila. “M-Mas.”
“Kalau kamu sungguh-sungguh mau belajar,” suara Bagas tenang, tapi tegas, “kamu harus tahu dulu batasnya ada di ruangan ini. Nggak ada orang lain, cuma kamu dan saya.”
Biya menelan ludah. Dengan tangan gemetar, ia memutar kunci. Suara klik yang terdengar begitu kecil justru terasa begitu berat di dadanya.
Bagas bangkit dari kursinya, berjalan mendekat dengan langkah tenang, tatapan matanya menembus, membuat udara seolah menipis di ruangan.
Bagas berdiri menjulang tepat di hadapan Biya, menunduk sedikit. “Kuncinya cuma satu, Biya. Ikuti saya.”
Bibirnya menyentuh bibir Biya perlahan sekadar singgungan singkat, lalu menjauh sedikit. “Napas lewat hidung, jangan tegang,” bisiknya.
Biya mencoba mengikuti, matanya terpejam, dan kali ini Bagas menekan sedikit lebih lama, memberi arahan halus dengan gerakan lembut. Tangannya berpindah ke rahang Biya, membuatnya sedikit menengadah.
“Buka sedikit,” ucapnya lagi.
Biya menurut, kikuk tapi patuh. Bagas sabar membimbing, setiap gerakannya terukur dan terkendali, seperti memberi ruang untuk Biya belajar tanpa merasa terintimidasi. Saat akhirnya Bagas menarik diri, ia menatapnya dari jarak dekat.
“Gimana rasanya?” tanyanya sambil tersenyum samar.
Biya mengerjap pelan, pipinya panas dengan lirih menjawab, “rasanya aneh.”
Bagas menahan tawa. “Aneh yang bikin kamu mau nyoba lagi, atau aneh yang bikin kamu kapok?”
Biya memalingkan wajah, tersenyum kecil dan berkata malu-malu, “nggak tahu. Mungkin anehnya bikin penasaran.”
Bagas menahan senyumnya, matanya tak lepas dari wajah Ana yang masih memerah. “Kalau penasaran, berarti bisa dilanjut.”
Biya menelan ludah, wajahnya sudah memerah dengan nada malu dan sedikit merengek, “Mas.”
“Kenapa? Kamu yang minta diajarin, kan?” suaranya rendah, nyaris berbisik di dekat telinga.
Biya refleks mundur setengah langkah, tapi Bagas cepat menahan pergelangan tangannya, menariknya kembali.
Bagas menunduk lagi, kali ini tanpa banyak jarak. Bibirnya menyentuh bibir tebal itu lebih mantap, gerakannya tetap terukur, tapi ada sedikit desakan yang membuat Biya tercekat. Tangannya bergerak pelan ke tengkuk si perempuan, memberi arahan lembut agar mengikuti ritme.
Biya mencoba, meski gerakannya masih kaku dan kesulitan mengikuti arahan.
“Pelan,” bisik Bagas di sela ciuman. “Jangan buru-buru.”
Biya mengangguk kecil, matanya terpejam. Biya merasa kikuk tapi patuh. Bagas dengan sabar membimbing setiap gerakannya terukur dan terkendali seperti memberi ruang untuk Biya belajar tanpa merasa terintimidasi.
Ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—hangat yang menjalar dari bibir hingga dadanya menimbulkan getaran aneh yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Ketika Bagas akhirnya melepaskannya, nafas Biya memburu.
Bagas menatap wajah gadis itu lama, lalu tangannya terulur, mengusap pipi Biya yang memerah panas. “Masih aneh?”
Biya tersenyum malu, “aneh, tapi kayak enak.”
Bagas terkekeh pelan. “Hati-hati, kalau kamu bilang enak.”
Ucapan itu membuat Biya menunduk sejenak, menyembunyikan senyumnya yang kaku. Entah bagaimana, ketika Biya kembali mendongak, pandangan mereka bertemu.
Keheningan turun, menelan ruangan luas itu. Tak ada suara selain napas keduanya yang masih tersisa berat. Tatapan Biya dan Bagas saling bertaut, seperti ada garis halus yang menahan mereka untuk tidak bergerak tapi juga enggan melepaskan.
Tatapan itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Biya bisa merasakan tenggorokannya kering, lidahnya kelu, tapi jantungnya justru makin kencang seperti genderang yang ingin perang.
Bagas, dengan sorot mata yang biasanya dingin dan penuh wibawa, kali ini tampak berbeda. Ada sesuatu yang berbahaya sekaligus sulit dijelaskan dalam cara ia menatap Biya.
Biya menelan ludah, lalu berbisik nyaris tanpa sadar, “Mas, kenapa liatnya gitu?”
Bagas tak langsung menjawab. Bibirnya hanya melengkung tipis, bukan senyum penuh, lebih mirip ekspresi menahan sesuatu. Ia mendekat, jarak di antara mereka kembali menyempit, dan suara beratnya terdengar rendah sekali.
“Mau dilanjut belajarnya atau sudah?” suaranya terdengar serak, berat dengan nafas yang cukup berat.
Biya membeku. Hatinya meloncat tak karuan, seakan tubuhnya menolak tapi pikirannya justru menjerit ingin tahu. Ia menelan ludah, matanya beralih sebentar ke bibir Bagas, lalu buru-buru menunduk.
“Lanjut,” jawabnya lirih, hampir tak terdengar.
Bagas menghela napas panjang, lalu mendekat. Jarak mereka kini begitu tipis, sampai Biya bisa merasakan hangat napasnya. Ia mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Biya sampai- tiba-tiba suara langkah mendekat terdengar ketukan di pintu
“Permisi, Pak. Materi meeting besok sudah siap. Saya masuk sekarang.”
Biya sontak terlonjak, wajahnya memanas. Bagas menahan diri seketika, rahangnya mengeras, ekspresinya kembali datar—tapi matanya masih menyala, menahan sesuatu yang belum selesai.
Kolam renang ini menjadi bukti serta pengalaman hebat bagi Biya mencapai kenikmatan. Seperti sekarang saat Bagas memutar tubuh Biya hingga punggungnya menempel di dadanya. Tangan besar itu melingkar di perut Biya, naik pelan ke bawah bra, jarinya menyentuh payudaranya dari bawah, mengangkatnya ringan, ibu jarinya menggosok puting yang sudah mengeras. Biya menarik napas tajam, kepalanya terdongak dengan mengeluarkan erangan kecil."Ahh... Mas, pelan," desah Biya. Air membuat segalanya licin, gerakan tangan Bagas terasa lebih halus, lebih menggoda untuk memilin puting itu pelan, tarik-lepas, sambil bibirnya menggigit cuping telinga Biya. Tangan satunya turun, menyusuri perut datar Biya, hingga ke pinggul, lalu ke depan, jari tengahnya menyentuh area sensitif di balik celana dalam yang sudah basah- bukan hanya oleh air kolam."Kamu sudah basah," gumam Bagas serak, suaranya penuh kemenangan. Jarinya menggesek pelan di sana, lingkaran kecil yang membuat Biya menggeliat, pinggulnya bergera
"Kolam renang?" gumam Biya setelah masuk ke salah satu pintu yang sudah diperintahkan oleh karyawan itu sambil memberikan kartu akses. Biya berjalan pelan, mencari Bagas dalam ruang temaram ini. Ruangan ini sangat luas dan seingat Biya hanya ada 2 pintu di lantai 8 ini- yang memungkinkan hanya ada dua ruang kolam renang yang bisa disewa secara privat, mengingat ada kolam renang umum di lantai 4. Biya menelan ludah, menatap sekeliling. “Mas Bagas?” panggilnya pelan, tapi suaranya justru bergema lembut, menyentuh permukaan air yang hening.Tak ada jawaban. Hanya suara mesin filter air dan tetes kecil dari pancuran di sisi kolam. Ia berjalan lebih jauh, tumit sepatunya bergema di lantai batu. Kepalanya menunduk sedikit, memperhatikan bayangan tubuhnya yang memantul samar di permukaan air. Lalu...“Biya.”Suara berat itu muncul begitu saja dari sisi lain ruangan. Suara yang ia kenal, yang bisa membuat jantungnya seolah kehilangan ritme seketika.Disana, Bagas hanya mengenakan celana hit
"Baik. Untuk Pak Dharma, Bu Kirana selaku pelaku dan Pak Bagas selaku korban dari kejadian ini. Kami memberikan waktu untuk bermusyawarah dan membicarakan terkait dengan semua ini."Pukul 10 siang, mereka semua dikumpulkan di ruangan negosiasi untuk pembicaraan dingin. Mengingat kasus ini dapat mengajukan banding yang mana mungkin saja akan memberatkan keluarga korban. Sekaligus, sudah 20 an tahun kasus ini terbengkalai.Arsen dan Biya juga turut hadir duduk berdampingan dengan Arsen yang menatap was-was. Di ujung meja, Bagas duduk dengan ekspresi datar, jas hitamnya rapi, posturnya tegak dan tegas seperti biasa. Sementara di sebelah kanan sudutnya, Biya duduk dalam diam, menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung rok dengan gugup.“Baik. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa pertemuan ini untuk mengonfirmasi bahwa keluarga korban menerima pengajuan banding dengan kasus yang berusia 21 tahun lalu,” ucap seorang Mediator pelan, berusaha menjaga nada netral. Di sisi lain meja,
Malam itu, Biya kembali ke kamar pukul 7 malam dengan Arsen yang sudah menunjukkan raut khawatir dan sedikit marah- sepertinya."Abang," panggil Biya lirih saat melihat abangnya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. "Kamu habis dari mana aja, abang udah cariin di taman dan hotel nggak ada,""Mungkin pas abang ke taman, aku udah jalan ke tempat lain. Aku butuh udara segar, Bang. Lagi pula aku kangen Jakarta."Kalimat itu jelas bohong. Jelas saja- Abangnya itu tidak menemukannya karena dirinya sedang berada di kamar hotel milik Bagas dan sedang merasakan kenikmatan. Beruntung, dirinya mandi terlebih dahulu di kamar Bagas dan kembali ke kamar ini dengan kondisi normal. Arsen menutup laptopnya pelan, menatap adiknya dengan mata tajam tapi penuh lelah. “Kangen Jakarta, ya?” Nada suaranya datar, tapi Biya tahu betul bahwa Arsen sedang menahan sesuatu.Bukan hanya marah, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.“Iya, aku kangen semua hal disini” jawab Biya pelan, mencoba tersenyum
Keduanya langsung duduk tegap dan wajah Biya pias."Biar saya ambil, kamu tenang saja," ucap Bagas sambil berdiri dan melangkah untuk mengambil ponsel milik Biya. Akh!Biya berteriak karena Bagas langsung berdiri tanpa memakai celananya. Tapi, si pria justru hanya tersenyum kecil dan menghiraukan nya saja. Terlihat jelas bagaimana kejantanan pria itu yang masih berdiri tegak seolah tidak pernah puas. Benar saja, Bang Arsen- kontak yang tertulis disana sedang memanggil. "Makasih, Mas," ucap Biya duduk tegap dan menerima ponselnya. Baru saja Biya menggeser tombol hijau dan menerimanya, Bagas justru berjongkok dan melebarkan kaki Biya yang dihadiahi kebingungan darinya. "Kamu di mana, Dek?" tanya Arsen diseberang sana. Baru saja Biya akan menjawab, Bagas sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di area sensitif milik Biya. "Ah, A-aku ... a-aku cari angin, Bang." Bagas menahan tawa kecil di antara paha Biya yang mulai gemetar. Lidahnya bergerak perlahan, menggoda kelopak yang masih b
Cahaya kuning lampu kamar hotel menyorot lembut, memantul di kulit yang kini dipenuhi sisa kehangatan. Biya menyandarkan kepala di dada Bagas. Dada itu terasa hangat, berdebar pelan di bawah telapak tangannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia terasa berhenti, tidak ada suara, tidak ada kebencian, hanya dua manusia yang sama-sama kelelahan mencoba memahami bagaimana mereka bisa sampai di titik ini.“Setelah ini, gimana, Mas?” bisik Biya.Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti asap yang perlahan memudar tapi meninggalkan bekas yang lama hilangnya.Bagas tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar hotel, seolah sedang menimbang seribu kata tapi tak ada satu pun yang cukup tepat. Tangannya masih di punggung Biya, bergerak lambat dan hati-hati, seperti takut menyentuh sesuatu yang bisa membuatnya sadar akan realitas.“Saya juga tidak tahu, Biya,” ujarnya akhirnya, pelan tapi jujur. “Saya tidak tahu kenapa saya di sini bersama kamu. Saya t







