Beranda / Young Adult / Ajari Aku Ciuman, Mas CEO / Bagian 4 - Pelajaran Pertama

Share

Bagian 4 - Pelajaran Pertama

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-20 00:20:15

Satu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.

Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.

“Masuk.”

Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.

Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.

Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu mata Biya yang berdiri kaku di ambang pintu.

“Kunci pintunya,” ucap Bagas datar.

Biya refleks menoleh ke belakang, jantungnya makin menggila. “M-Mas.”

“Kalau kamu sungguh-sungguh mau belajar,” suara Bagas tenang, tapi tegas, “kamu harus tahu dulu batasnya ada di ruangan ini. Nggak ada orang lain, cuma kamu dan saya.”

Biya menelan ludah. Dengan tangan gemetar, ia memutar kunci. Suara klik yang terdengar begitu kecil justru terasa begitu berat di dadanya.

Bagas bangkit dari kursinya, berjalan mendekat dengan langkah tenang, tatapan matanya menembus, membuat udara seolah menipis di ruangan.

Bagas berdiri menjulang tepat di hadapan Biya, menunduk sedikit. “Kuncinya cuma satu, Biya. Ikuti saya.”

Bibirnya menyentuh bibir Biya perlahan sekadar singgungan singkat, lalu menjauh sedikit. “Napas lewat hidung, jangan tegang,” bisiknya.

Biya mencoba mengikuti, matanya terpejam, dan kali ini Bagas menekan sedikit lebih lama, memberi arahan halus dengan gerakan lembut. Tangannya berpindah ke rahang Biya, membuatnya sedikit menengadah.

“Buka sedikit,” ucapnya lagi.

Biya menurut, kikuk tapi patuh. Bagas sabar membimbing, setiap gerakannya terukur dan terkendali, seperti memberi ruang untuk Biya belajar tanpa merasa terintimidasi. Saat akhirnya Bagas menarik diri, ia menatapnya dari jarak dekat.

“Gimana rasanya?” tanyanya sambil tersenyum samar.

Biya mengerjap pelan, pipinya panas dengan lirih menjawab, “rasanya aneh.”

Bagas menahan tawa. “Aneh yang bikin kamu mau nyoba lagi, atau aneh yang bikin kamu kapok?”

Biya memalingkan wajah, tersenyum kecil dan berkata malu-malu, “nggak tahu. Mungkin anehnya bikin penasaran.”

Bagas menahan senyumnya, matanya tak lepas dari wajah Ana yang masih memerah. “Kalau penasaran, berarti bisa dilanjut.”

Biya menelan ludah, wajahnya sudah memerah dengan nada malu dan sedikit merengek, “Mas.”

“Kenapa? Kamu yang minta diajarin, kan?” suaranya rendah, nyaris berbisik di dekat telinga.

Biya refleks mundur setengah langkah, tapi Bagas cepat menahan pergelangan tangannya, menariknya kembali.

Bagas menunduk lagi, kali ini tanpa banyak jarak. Bibirnya menyentuh bibir tebal itu lebih mantap, gerakannya tetap terukur, tapi ada sedikit desakan yang membuat Biya tercekat. Tangannya bergerak pelan ke tengkuk si perempuan, memberi arahan lembut agar mengikuti ritme.

Biya mencoba, meski gerakannya masih kaku dan kesulitan mengikuti arahan.

“Pelan,” bisik Bagas di sela ciuman. “Jangan buru-buru.”

Biya mengangguk kecil, matanya terpejam. Biya merasa kikuk tapi patuh. Bagas dengan sabar membimbing setiap gerakannya terukur dan terkendali seperti memberi ruang untuk Biya belajar tanpa merasa terintimidasi.

Ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—hangat yang menjalar dari bibir hingga dadanya menimbulkan getaran aneh yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Ketika Bagas akhirnya melepaskannya, nafas Biya memburu.

Bagas menatap wajah gadis itu lama, lalu tangannya terulur, mengusap pipi Biya yang memerah panas. “Masih aneh?”

Biya tersenyum malu, “aneh, tapi kayak enak.”

Bagas terkekeh pelan. “Hati-hati, kalau kamu bilang enak.”

Ucapan itu membuat Biya menunduk sejenak, menyembunyikan senyumnya yang kaku. Entah bagaimana, ketika Biya kembali mendongak, pandangan mereka bertemu.

Keheningan turun, menelan ruangan luas itu. Tak ada suara selain napas keduanya yang masih tersisa berat. Tatapan Biya dan Bagas saling bertaut, seperti ada garis halus yang menahan mereka untuk tidak bergerak tapi juga enggan melepaskan.

Tatapan itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Biya bisa merasakan tenggorokannya kering, lidahnya kelu, tapi jantungnya justru makin kencang seperti genderang yang ingin perang.

Bagas, dengan sorot mata yang biasanya dingin dan penuh wibawa, kali ini tampak berbeda. Ada sesuatu yang berbahaya sekaligus sulit dijelaskan dalam cara ia menatap Biya.

Biya menelan ludah, lalu berbisik nyaris tanpa sadar, “Mas, kenapa liatnya gitu?”

Bagas tak langsung menjawab. Bibirnya hanya melengkung tipis, bukan senyum penuh, lebih mirip ekspresi menahan sesuatu. Ia mendekat, jarak di antara mereka kembali menyempit, dan suara beratnya terdengar rendah sekali.

“Mau dilanjut belajarnya atau sudah?” suaranya terdengar serak, berat dengan nafas yang cukup berat.

Biya membeku. Hatinya meloncat tak karuan, seakan tubuhnya menolak tapi pikirannya justru menjerit ingin tahu. Ia menelan ludah, matanya beralih sebentar ke bibir Bagas, lalu buru-buru menunduk.

“Lanjut,” jawabnya lirih, hampir tak terdengar.

Bagas menghela napas panjang, lalu mendekat. Jarak mereka kini begitu tipis, sampai Biya bisa merasakan hangat napasnya. Ia mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Biya sampai- tiba-tiba suara langkah mendekat terdengar ketukan di pintu

“Permisi, Pak. Materi meeting besok sudah siap. Saya masuk sekarang.”

Biya sontak terlonjak, wajahnya memanas. Bagas menahan diri seketika, rahangnya mengeras, ekspresinya kembali datar—tapi matanya masih menyala, menahan sesuatu yang belum selesai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 81 - Pagi yang Panas

    Bagas menoleh sedikit, tapi tidak sepenuhnya- hanya cukup agar matanya bisa melirik ke arah Biya.“Di meja kecil dekat tempat tidurmu. Semalam sempat jatuh waktu saya gendong kamu,” nada suaranya datar.“Ge-gendong?” Biya langsung menunduk, wajahnya memanas.Bagas menatapnya sekilas, ekspresinya tetap tenang. “Iya. Kamu tidur, kan. Masa saya biarkan di mobil?”“Oh i-iya, makasih, Mas,” Biya menelan ludah, pipinya memanas lebih dari bubur yang baru saja ia makan.Meski sudah pernah melakukan ciuman dan kegiatan ekstrem, tapi hubungan mereka sudah tidak sama lagi. Hanya karena gendongan saja bisa membuat perasaan si gadis membuncah dan merasa special.“Ambil aja ponselnya. Tapi,” Bagas kembali menatapnya, kali ini lebih lama. “Jangan digunakan, apalagi untuk menghubungi orang lain.”Nada itu berubah. Tidak keras, tapi cukup kuat untuk menegaskan bahwa ia sedang memberi perintah. Biya mengerutkan dahi tidak mengerti mengapa ada larangan baginya untuk menghubungi semua orang, termasuk aba

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 80 - Villa

    Biya benar-benar tidur nyenyak sepanjang malam. Matahari sudah naik, menembus jendela dengan cahaya lembut, ketika tubuhnya perlahan bergerak, bangun dari tidur panjang yang damai. “Hngg,”Matanya setengah terbuka, masih terasa kantuk yang menempel. Namun, pandangan aneh menebar ke seluruh ruangan, merasa asing dengan berbagai furniture yang ada. Perlahan, kakinya turun dengan pandangan menjelajahi ruangan dan perlahan mengarah ke pintu untuk membukanya, mencari tahu dimana dirinya berada.“Ini dimana?”Wajar saja jika Biya tidak mengingatnya, karena dulu saat dirinya datang ke villa, tidak sempat berkeliling, hanya beradu mulut di sofa- dalam artian panas. Di tengah kebingungannya, aroma hangat yang masuk ke hidungnya langsung membangkitkan kesadarannya aroma masakan yang familiar, menenangkan, dan anehnya, menimbulkan rasa nyaman.“Siapa yang masak?” gumamnya pada diri sendiri sembari berjalan ke arah aroma berada.Tepat di dapur sana, Biya melihat Bagas sedang menyiap

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 79 - Menghilang

    Blitz menyambar bertubi-tubi, menyilaukan mata. Wartawan semakin menempelkan tubuh ke pagar, mengabaikan hujan yang kian mengguyur kota, mikrofon terangkat tinggi.“Pak Arsen! Benarkah tuduhan itu benar?”“Apa benar Pak Dharma dan Bu Kirana pelaku tabrak lari?”“Apakah Anda berencana mundur dari posisi direktur utama?”Pertanyaan datang seperti hujan peluru, tak memberi ruang untuk bernapas. Arsen diam. Rahangnya mengeras, tangan mengepal kuat, tanpa melirik ke arah kamera, dirinya langsung masuk ke mobil.Mengerti bahwa tuan rumahnya akan keluar, satpam rumah langsung bergegas membuka pagar yang mana membuat wartawan mulai berdesakan ingin mendekat pada mobil. Blitz kamera terus menyala membuat Arsen semakin muak dengan semua ini.“Sialan,” ucapnya pelan tapi tegas.Mobil Bugatti itu berhasil keluar dari kerumunan yang langsung membuat semua penjaga kewalahan agar mereka tidak sampai masuk dan menggedor rumah. Arsen terus gelisah menuju rumah sakit, berharap bahwa adiknya itu baik-ba

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 78 - Pertengkaran yang sudah Tak Tertolong

    Arsen kelimpungan dengan semua notifikasi mengenai klarifikasi akan skandal yang dihadapi. Bahkan sekretarisnya tidak berhenti menelepon atasannya itu untuk menanyakan bagaimana keadaan di sana.“Pak, bagaimana kalau kita memberikan pengamanan ketat dua kali lipat pada nona Biya di rumah sakit?” suara sekretaris terdengar dari speaker ponsel, panik tapi tegas.Arsen menelan ludah, pikirannya bergerak cepat. “Lakukan. Segera kontak tim pengamanan pribadi—pastikan hanya orang-orang yang terverifikasi yang boleh masuk. Koordinasikan dengan pihak rumah sakit: batasi kunjungan, minta satu ruang isolasi jika perlu. Jangan beri celah.”“Siap, Pak.” Sekretaris menutup sambungan dan langsung mem-broadcast perintah itu ke semua saluran.Biya sedang sendirian di rumah sakit karena Arsen harus cepat menyelesaikan skandal, sedangkan Kirana dan Dharma pulang karena ada yang menelepon dan memberitahu siapa sebenarnya Bagas. Orang suruhan yang dibayar untuk mematai-matai gerak-gerik mencurigakan, mak

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 77 - Semuanya Runtuh

    “Sebentar lagi, Ardhanaya. Sebentar lagi, kalian akan hancur.”Kalimat itu begitu dalam, begitu gelap, begitu terasa bagaimana benci yang mendalam dalam relung si pria. Anak lelaki yang menjadi korban atas pengecut yang lari dari tanggung jawab dan membiarkan yang tersisa merana.Setelah menimang beberapa waktu, Bagas mengambil handphone dan memanggil nomor Nando untuk melakukan perintah selanjutnya. Perintah yang akan menjadi penentu akan bagaimana hidup dua orang tersangka di masa depan.“Lakukan sekarang.”Perintah itu singkat, dingin, tanpa ruang untuk ragu. Di ujung telepon, Nando mengangguk- meski tidak terlihat, lalu menutup sambungan dengan gerakan cepat.Di gudang tua yang remang, layar laptop menyala, lampu indikator ponsel berkerlap-kerlip. Nando memberi kode. Satu per satu file yang selama ini terkunci rapi dibuka dengan laporan kecelakaan lama, salinan BAP, rekaman CCTV yang sempat disimpan, nama-nama, tanggal, hingga korespondensi yang selama dua dekade tertutup rapat. S

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 76 - Dendam

    Mengurus membantu perusahaan dari dalam?Membantu menutupi celah ketika bisnis goyah.Membantu menjaga kepercayaan investor saat ia harus sering ke luar negeri.Namun sekarang, sebuah fakta baru mencuat di kepalanya. Apa mungkin, semua bantuan itu bukan ketulusan, melainkan bagian dari rencana besar Bagas? Membantu untuk kemudian menghancurkan dari dalam, dengan cara yang paling menyakitkan.Arsen terdiam, merasakan keringat dingin merambat di tengkuknya.Jika benar begitu, berarti ia sendiri yang membuka pintu, memberi jalan, dan membiarkan musuh masuk ke jantung pertahanan keluarganya.“Fuck,” desisnya dengan meremas rambutnya frustasi.Di sisi lain, Bagas yang baru saja keluar dari area rumah sakit merasakan sore menyapu wajahnya, namun sama sekali tidak menenangkan. Jemarinya masih terasa hangat, seperti sisa genggaman tangan mungil yang tadi nyaris tak mau melepasnya. Biya.Matanya menatap kosong ke jalanan yang dilewatinya, lalu terkekeh miris. Sial. Seharusnya tidak selemah ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status