Home / Young Adult / Ajari Aku Ciuman, Mas CEO / Bagian 5 - Berjalan Menuju Bahaya

Share

Bagian 5 - Berjalan Menuju Bahaya

Author: Daisy
last update Last Updated: 2025-08-20 00:23:17

Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.

“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”

Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”

Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.

Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.

“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”

Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah terlanjur dimulai. Pertanyaan itu terdengar seperti godaan, tapi nada Bagas terlalu serius untuk dianggap main-main.

“A-apa maksudnya?” Biya tergagap, suaranya patah-patah. Rasa malunya langsung meningkat seperti sudah tidak memiliki level, menembus batas wajar yang dimiliki manusia.

Bagas mendekat sedikit lagi, matanya tajam tapi tenang. “Mau lembut? Mau lambat? Atau kamu justru pengen tahu bagaimana kalau saya tidak menahan diri?”

Biya menelan ludah, tubuhnya menegang. Hatinya terombang-ambing antara ingin kabur atau justru diam di tempat. Dan entah bagaimana, kata yang keluar dari bibirnya justru bergetar lirih, “Aku nggak tahu, Mas.”

Bagas mencondongkan tubuh, wajahnya sangat dekat dengan Biya. “Benar-benar nggak tahu?”

Sungguh, kalau diperbolehkan Biya ingin pingsan saja. Bibir kemerahan, basah terlihat jelas di depan matanya bekas ciuman tadi.

“Mm, aku nggak tahu… Mas,” desahnya keluar tanpa sengaja, pipinya memerah. Tubuhnya bergetar, tangan gemetar menahan diri.

Sialan

Kenapa sekarang desahannya keluar, Biya benar-benar malu. Tidak ada niat menggoda- hanya saja sensasi ciuman yang pertama sangat membekas. Apalagi keduanya hampir ketahuan oleh sekretaris pribadi si direktur- yang sedang merengkuh pinggangnya.

Bagas menghela napas panjang, sudut bibirnya melengkung tipis. Tangan besar itu merengkuh tengkuk perempuan di hadapannya, menariknya sedikit lebih dekat. “Kalau begitu, biar saya yang atur.”

Biya menggigit bibir bawahnya, jantungnya semakin tak karuan. Biya hanya mampu mengangguk kecil, “iya, Mas.”

Matanya menutup refleks saat Bagas mendekat. Menerka apa yang akan dilakukan Bagas, apa lebih dari sebelumnya? Atau lebih lembut?

Sedikit menyesal, Biya sudah menjawab ‘nggak tahu’.

Hembusan napas hangat pria itu menyapu wajahnya, membuat tubuh Biya bergetar. Lalu, perlahan tapi pasti, Bagas menempelkan bibirnya lagi- kali ini tidak sekedar singgah. Ada ketegasan, kontrol penuh, yang membuat Biya terpaksa mengikuti ritmenya.

“Mmh.. Massh.”

Awalnya Biya kaku, tapi Bagas sabar mengarahkan. Tangannya bergerak ke tengkuk Biya, menahannya agar tidak mundur. Bibirnya memberi tekanan lembut lalu sedikit menuntut, membuat Biya terbata-bata, terkejut sekaligus terpikat.

“Jangan mundur, pelan-pelan,” suara tegas nan serak terdengar di sela ciuman mereka dengan bibir yang masih menempel.

Napas Biya mulai memburu, pikirannya kosong. Yang ia tahu hanyalah rasa hangat yang kian dalam di bibir dan juga dadanya hingga desahan terdengar lebih panjang. “Ah… Mas… pelan… aku.”

“Tenang, ikuti saya saja,” bisik Bagas sambil menahan tengkuknya agar tak mundur. Bibirnya menekan lagi, perlahan tapi pasti, ritmenya menuntut tanpa kasar.

Tubuh Biya terbakar, dada sesak, nafas memburu. “Mas… aku,” ia terhenti, desahnya terputus karena kepanasan. Tangan Biya nyaris meremas bahu Bagas, menahan ritme yang membuatnya terseret arus panas.

Bibir Bagas bergerak perlahan, menyesuaikan tekanan, mencium lembut tapi menuntut. Sesekali lidahnya menyelinap sebentar, menguji, membuat Biya menahan desah yang nyaris lolos.

“Mmh, Biya,” bisik Bagas serak, nada rendah yang membuat Biya semakin terseret.

Biya patuh, membuka bibirnya sedikit. Nafasnya tersengal, dada bergetar hebat. “Aaah... Mas,” desahnya terdengar lebih jelas, tubuhnya menekuk sedikit ke arah Bagas, ingin mengikuti setiap gerakan pria itu.

Bagas menekankan ritme lebih dalam, lidahnya lembut tapi menuntut, menjelajahi bibir Biya, mencium setiap lekuk dengan penuh kontrol. “Mm... rasakan,” bisik Bagas di sela ciuman, nafasnya panas menyapu pipi Biya.

Biya mengerang pelan, tangannya menekan bahu Bagas, tubuhnya terbakar dari bibir hingga dada. “Mas… hhh… ahh… terlalu… terlalu,” desahnya pecah, hampir tidak bisa menahan diri lagi.

Bagas menarik sedikit, menatap mata Biya sebentar, sorot matanya gelap dan penuh godaan.

“Sepertinya kamu masih kuat,” bisiknya, lalu kembali menempelkan bibirnya dengan ritme lebih menuntut.

Biya tak bisa berkata apa-apa lagi, nafasnya tercekat, desahan demi desahan terdengar jelas, tubuhnya menempel sepenuhnya ke Bagas. “Aaah… Ma… hhh.”

Bibir Bagas terus bergerak, ritmenya naik turun, kadang menekan, kadang menuntut, menyesuaikan setiap reaksi Biya. Tangan pria itu menyentuh punggung Biya, menahan tubuhnya agar tetap dekat, setiap gerakan terasa panas, memabukkan, dan membuat Biya kehilangan kendali sepenuhnya.

Desahan Biya semakin panjang, dada terasa sesak, pipinya memerah. “Mas… hhh… aku… aku,” suaranya nyaris pecah, tapi tubuhnya tetap mengikuti ritme Bagas.

Bagas akhirnya melepaskan bibirnya pelan, tapi tetap terlalu dekat. Dahi mereka nyaris bersentuhan. Napas keduanya berat, jarak di antara mereka nyaris lenyap dan di sana terlihat jelas seutas ludah tipis yang masih menghubungkan bibir mereka.

“Masih sanggup?” bisik Bagas, mata menatap dalam ke mata Biya.

Biya menelan ludah, desahnya terdengar lagi dan suaranya serak, hampir tersendat, “bibirku bengkak.”

Bukannya menjawab pertanyaan Bagas, Biya justru semakin membuat fokus si pria hilang. Tatapan tajam itu terpaku ke bibir Biya yang sudah memerah, sedikit bengkak akibat dilahap oleh mangsa. Napas Bagas tiba-tiba tersengal, dadanya berdebar lebih cepat.

“Biya,” bisik Bagas, suaranya serak, tangan yang tadinya menahan tengkuk Biya kini sedikit menggenggam lebih erat, hampir tak sadar ingin menekan dirinya lebih dekat.

Biya menutup mata sejenak, desahan kecil lolos. “Mas, aku… aku nggak bisa,” katanya lirih, tubuhnya gemetar di hadapan pria itu.

Bagas menunduk perlahan, bibirnya hampir menempel lagi ke bibir Biya. “Baru segini saja, kamu sudah gemetar,” bisiknya. Napas hangatnya menyapu pipi Biya, membuat seluruh tubuhnya bergetar.

Biya menelan ludah, tangan gemetar menyentuh lengan Bagas. “Aaah… Mas,” desahnya terdengar panjang, dada sesak, hati seperti terbakar.

Bagas tersenyum tipis, sorot matanya penuh ketegasan. “Ini baru permulaan, Biya.”

Biya tidak pernah tahu bahwa ciuman ini adalah awal dari semua kericuhan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 118 - Kolam Renang Private

    Kolam renang ini menjadi bukti serta pengalaman hebat bagi Biya mencapai kenikmatan. Seperti sekarang saat Bagas memutar tubuh Biya hingga punggungnya menempel di dadanya. Tangan besar itu melingkar di perut Biya, naik pelan ke bawah bra, jarinya menyentuh payudaranya dari bawah, mengangkatnya ringan, ibu jarinya menggosok puting yang sudah mengeras. Biya menarik napas tajam, kepalanya terdongak dengan mengeluarkan erangan kecil."Ahh... Mas, pelan," desah Biya. Air membuat segalanya licin, gerakan tangan Bagas terasa lebih halus, lebih menggoda untuk memilin puting itu pelan, tarik-lepas, sambil bibirnya menggigit cuping telinga Biya. Tangan satunya turun, menyusuri perut datar Biya, hingga ke pinggul, lalu ke depan, jari tengahnya menyentuh area sensitif di balik celana dalam yang sudah basah- bukan hanya oleh air kolam."Kamu sudah basah," gumam Bagas serak, suaranya penuh kemenangan. Jarinya menggesek pelan di sana, lingkaran kecil yang membuat Biya menggeliat, pinggulnya bergera

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 117 - Lantai 8

    "Kolam renang?" gumam Biya setelah masuk ke salah satu pintu yang sudah diperintahkan oleh karyawan itu sambil memberikan kartu akses. Biya berjalan pelan, mencari Bagas dalam ruang temaram ini. Ruangan ini sangat luas dan seingat Biya hanya ada 2 pintu di lantai 8 ini- yang memungkinkan hanya ada dua ruang kolam renang yang bisa disewa secara privat, mengingat ada kolam renang umum di lantai 4. Biya menelan ludah, menatap sekeliling. “Mas Bagas?” panggilnya pelan, tapi suaranya justru bergema lembut, menyentuh permukaan air yang hening.Tak ada jawaban. Hanya suara mesin filter air dan tetes kecil dari pancuran di sisi kolam. Ia berjalan lebih jauh, tumit sepatunya bergema di lantai batu. Kepalanya menunduk sedikit, memperhatikan bayangan tubuhnya yang memantul samar di permukaan air. Lalu...“Biya.”Suara berat itu muncul begitu saja dari sisi lain ruangan. Suara yang ia kenal, yang bisa membuat jantungnya seolah kehilangan ritme seketika.Disana, Bagas hanya mengenakan celana hit

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 116 - Di Bawah Meja

    "Baik. Untuk Pak Dharma, Bu Kirana selaku pelaku dan Pak Bagas selaku korban dari kejadian ini. Kami memberikan waktu untuk bermusyawarah dan membicarakan terkait dengan semua ini."Pukul 10 siang, mereka semua dikumpulkan di ruangan negosiasi untuk pembicaraan dingin. Mengingat kasus ini dapat mengajukan banding yang mana mungkin saja akan memberatkan keluarga korban. Sekaligus, sudah 20 an tahun kasus ini terbengkalai.Arsen dan Biya juga turut hadir duduk berdampingan dengan Arsen yang menatap was-was. Di ujung meja, Bagas duduk dengan ekspresi datar, jas hitamnya rapi, posturnya tegak dan tegas seperti biasa. Sementara di sebelah kanan sudutnya, Biya duduk dalam diam, menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung rok dengan gugup.“Baik. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa pertemuan ini untuk mengonfirmasi bahwa keluarga korban menerima pengajuan banding dengan kasus yang berusia 21 tahun lalu,” ucap seorang Mediator pelan, berusaha menjaga nada netral. Di sisi lain meja,

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 115 - Terlalu Mengikat

    Malam itu, Biya kembali ke kamar pukul 7 malam dengan Arsen yang sudah menunjukkan raut khawatir dan sedikit marah- sepertinya."Abang," panggil Biya lirih saat melihat abangnya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. "Kamu habis dari mana aja, abang udah cariin di taman dan hotel nggak ada,""Mungkin pas abang ke taman, aku udah jalan ke tempat lain. Aku butuh udara segar, Bang. Lagi pula aku kangen Jakarta."Kalimat itu jelas bohong. Jelas saja- Abangnya itu tidak menemukannya karena dirinya sedang berada di kamar hotel milik Bagas dan sedang merasakan kenikmatan. Beruntung, dirinya mandi terlebih dahulu di kamar Bagas dan kembali ke kamar ini dengan kondisi normal. Arsen menutup laptopnya pelan, menatap adiknya dengan mata tajam tapi penuh lelah. “Kangen Jakarta, ya?” Nada suaranya datar, tapi Biya tahu betul bahwa Arsen sedang menahan sesuatu.Bukan hanya marah, tapi juga kekhawatiran yang mendalam.“Iya, aku kangen semua hal disini” jawab Biya pelan, mencoba tersenyum

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 114 - Degup Kencang Tiada Akhir

    Keduanya langsung duduk tegap dan wajah Biya pias."Biar saya ambil, kamu tenang saja," ucap Bagas sambil berdiri dan melangkah untuk mengambil ponsel milik Biya. Akh!Biya berteriak karena Bagas langsung berdiri tanpa memakai celananya. Tapi, si pria justru hanya tersenyum kecil dan menghiraukan nya saja. Terlihat jelas bagaimana kejantanan pria itu yang masih berdiri tegak seolah tidak pernah puas. Benar saja, Bang Arsen- kontak yang tertulis disana sedang memanggil. "Makasih, Mas," ucap Biya duduk tegap dan menerima ponselnya. Baru saja Biya menggeser tombol hijau dan menerimanya, Bagas justru berjongkok dan melebarkan kaki Biya yang dihadiahi kebingungan darinya. "Kamu di mana, Dek?" tanya Arsen diseberang sana. Baru saja Biya akan menjawab, Bagas sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di area sensitif milik Biya. "Ah, A-aku ... a-aku cari angin, Bang." Bagas menahan tawa kecil di antara paha Biya yang mulai gemetar. Lidahnya bergerak perlahan, menggoda kelopak yang masih b

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 113 - Deep Talk

    Cahaya kuning lampu kamar hotel menyorot lembut, memantul di kulit yang kini dipenuhi sisa kehangatan. Biya menyandarkan kepala di dada Bagas. Dada itu terasa hangat, berdebar pelan di bawah telapak tangannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia terasa berhenti, tidak ada suara, tidak ada kebencian, hanya dua manusia yang sama-sama kelelahan mencoba memahami bagaimana mereka bisa sampai di titik ini.“Setelah ini, gimana, Mas?” bisik Biya.Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti asap yang perlahan memudar tapi meninggalkan bekas yang lama hilangnya.Bagas tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar hotel, seolah sedang menimbang seribu kata tapi tak ada satu pun yang cukup tepat. Tangannya masih di punggung Biya, bergerak lambat dan hati-hati, seperti takut menyentuh sesuatu yang bisa membuatnya sadar akan realitas.“Saya juga tidak tahu, Biya,” ujarnya akhirnya, pelan tapi jujur. “Saya tidak tahu kenapa saya di sini bersama kamu. Saya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status