Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.
“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”
Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”
Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.
Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.
“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”
Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah terlanjur dimulai. Pertanyaan itu terdengar seperti godaan, tapi nada Bagas terlalu serius untuk dianggap main-main.
“A-apa maksudnya?” Biya tergagap, suaranya patah-patah. Rasa malunya langsung meningkat seperti sudah tidak memiliki level, menembus batas wajar yang dimiliki manusia.
Bagas mendekat sedikit lagi, matanya tajam tapi tenang. “Mau lembut? Mau lambat? Atau kamu justru pengen tahu bagaimana kalau saya tidak menahan diri?”
Biya menelan ludah, tubuhnya menegang. Hatinya terombang-ambing antara ingin kabur atau justru diam di tempat. Dan entah bagaimana, kata yang keluar dari bibirnya justru bergetar lirih, “Aku nggak tahu, Mas.”
Bagas mencondongkan tubuh, wajahnya sangat dekat dengan Biya. “Benar-benar nggak tahu?”
Sungguh, kalau diperbolehkan Biya ingin pingsan saja. Bibir kemerahan, basah terlihat jelas di depan matanya bekas ciuman tadi.
“Mm, aku nggak tahu… Mas,” desahnya keluar tanpa sengaja, pipinya memerah. Tubuhnya bergetar, tangan gemetar menahan diri.
Sialan
Kenapa sekarang desahannya keluar, Biya benar-benar malu. Tidak ada niat menggoda- hanya saja sensasi ciuman yang pertama sangat membekas. Apalagi keduanya hampir ketahuan oleh sekretaris pribadi si direktur- yang sedang merengkuh pinggangnya.
Bagas menghela napas panjang, sudut bibirnya melengkung tipis. Tangan besar itu merengkuh tengkuk perempuan di hadapannya, menariknya sedikit lebih dekat. “Kalau begitu, biar saya yang atur.”
Biya menggigit bibir bawahnya, jantungnya semakin tak karuan. Biya hanya mampu mengangguk kecil, “iya, Mas.”
Matanya menutup refleks saat Bagas mendekat. Menerka apa yang akan dilakukan Bagas, apa lebih dari sebelumnya? Atau lebih lembut?
Sedikit menyesal, Biya sudah menjawab ‘nggak tahu’.
Hembusan napas hangat pria itu menyapu wajahnya, membuat tubuh Biya bergetar. Lalu, perlahan tapi pasti, Bagas menempelkan bibirnya lagi- kali ini tidak sekedar singgah. Ada ketegasan, kontrol penuh, yang membuat Biya terpaksa mengikuti ritmenya.
“Mmh.. Massh.”
Awalnya Biya kaku, tapi Bagas sabar mengarahkan. Tangannya bergerak ke tengkuk Biya, menahannya agar tidak mundur. Bibirnya memberi tekanan lembut lalu sedikit menuntut, membuat Biya terbata-bata, terkejut sekaligus terpikat.
“Jangan mundur, pelan-pelan,” suara tegas nan serak terdengar di sela ciuman mereka dengan bibir yang masih menempel.
Napas Biya mulai memburu, pikirannya kosong. Yang ia tahu hanyalah rasa hangat yang kian dalam di bibir dan juga dadanya hingga desahan terdengar lebih panjang. “Ah… Mas… pelan… aku.”
“Tenang, ikuti saya saja,” bisik Bagas sambil menahan tengkuknya agar tak mundur. Bibirnya menekan lagi, perlahan tapi pasti, ritmenya menuntut tanpa kasar.
Tubuh Biya terbakar, dada sesak, nafas memburu. “Mas… aku,” ia terhenti, desahnya terputus karena kepanasan. Tangan Biya nyaris meremas bahu Bagas, menahan ritme yang membuatnya terseret arus panas.
Bibir Bagas bergerak perlahan, menyesuaikan tekanan, mencium lembut tapi menuntut. Sesekali lidahnya menyelinap sebentar, menguji, membuat Biya menahan desah yang nyaris lolos.
“Mmh, Biya,” bisik Bagas serak, nada rendah yang membuat Biya semakin terseret.
Biya patuh, membuka bibirnya sedikit. Nafasnya tersengal, dada bergetar hebat. “Aaah... Mas,” desahnya terdengar lebih jelas, tubuhnya menekuk sedikit ke arah Bagas, ingin mengikuti setiap gerakan pria itu.
Bagas menekankan ritme lebih dalam, lidahnya lembut tapi menuntut, menjelajahi bibir Biya, mencium setiap lekuk dengan penuh kontrol. “Mm... rasakan,” bisik Bagas di sela ciuman, nafasnya panas menyapu pipi Biya.
Biya mengerang pelan, tangannya menekan bahu Bagas, tubuhnya terbakar dari bibir hingga dada. “Mas… hhh… ahh… terlalu… terlalu,” desahnya pecah, hampir tidak bisa menahan diri lagi.
Bagas menarik sedikit, menatap mata Biya sebentar, sorot matanya gelap dan penuh godaan.
“Sepertinya kamu masih kuat,” bisiknya, lalu kembali menempelkan bibirnya dengan ritme lebih menuntut.
Biya tak bisa berkata apa-apa lagi, nafasnya tercekat, desahan demi desahan terdengar jelas, tubuhnya menempel sepenuhnya ke Bagas. “Aaah… Ma… hhh.”
Bibir Bagas terus bergerak, ritmenya naik turun, kadang menekan, kadang menuntut, menyesuaikan setiap reaksi Biya. Tangan pria itu menyentuh punggung Biya, menahan tubuhnya agar tetap dekat, setiap gerakan terasa panas, memabukkan, dan membuat Biya kehilangan kendali sepenuhnya.
Desahan Biya semakin panjang, dada terasa sesak, pipinya memerah. “Mas… hhh… aku… aku,” suaranya nyaris pecah, tapi tubuhnya tetap mengikuti ritme Bagas.
Bagas akhirnya melepaskan bibirnya pelan, tapi tetap terlalu dekat. Dahi mereka nyaris bersentuhan. Napas keduanya berat, jarak di antara mereka nyaris lenyap dan di sana terlihat jelas seutas ludah tipis yang masih menghubungkan bibir mereka.
“Masih sanggup?” bisik Bagas, mata menatap dalam ke mata Biya.
Biya menelan ludah, desahnya terdengar lagi dan suaranya serak, hampir tersendat, “bibirku bengkak.”
Bukannya menjawab pertanyaan Bagas, Biya justru semakin membuat fokus si pria hilang. Tatapan tajam itu terpaku ke bibir Biya yang sudah memerah, sedikit bengkak akibat dilahap oleh mangsa. Napas Bagas tiba-tiba tersengal, dadanya berdebar lebih cepat.
“Biya,” bisik Bagas, suaranya serak, tangan yang tadinya menahan tengkuk Biya kini sedikit menggenggam lebih erat, hampir tak sadar ingin menekan dirinya lebih dekat.
Biya menutup mata sejenak, desahan kecil lolos. “Mas, aku… aku nggak bisa,” katanya lirih, tubuhnya gemetar di hadapan pria itu.
Bagas menunduk perlahan, bibirnya hampir menempel lagi ke bibir Biya. “Baru segini saja, kamu sudah gemetar,” bisiknya. Napas hangatnya menyapu pipi Biya, membuat seluruh tubuhnya bergetar.
Biya menelan ludah, tangan gemetar menyentuh lengan Bagas. “Aaah… Mas,” desahnya terdengar panjang, dada sesak, hati seperti terbakar.
Bagas tersenyum tipis, sorot matanya penuh ketegasan. “Ini baru permulaan, Biya.”
Biya tidak pernah tahu bahwa ciuman ini adalah awal dari semua kericuhan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Bagas meraup bibir Biya habis-habisan. Awalnya sekadar sentuhan kasar, tapi dalam hitungan detik, ciuman itu berubah jadi serbuan yang nyaris membuat Biya kehilangan kendali.Bibirnya ditarik, digigit, lalu dijilat dengan buas- seolah Bagas sedang membalas tujuh tahun tanpa disentuh dan menyentuh benda lunak ini.Biya tersentak, tangannya refleks menekan dada bidang pria itu. Tapi bukannya menjauh, Bagas justru menahan pergelangan tangannya di sisi tubuh. Lengannya mendekap Biya rapat, membatasi ruang gerak sekaligus melahap seluruh oksigennya.“Mas,” desah Biya tertahan di antara celah ciuman yang tak memberinya ruang untuk berpikir.Bagas menelan suara itu bulat-bulat, semakin menekan bibirnya ke milik Biya, semakin dalam, semakin liar- seolah ingin memastikan gadis itu tidak akan pernah lupa siapa yang pertama kali membuatnya gemetar begini.“Mhh..”Ciuman itu berlangsung begitu lama sampai Biya nyaris lupa cara bernapas. Jantungnya berdentum kacau, tubuhnya seakan meleleh di bawah
Pukul empat kurang lima menit.Bagas menarik napas dalam-dalam, meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang bahkan ia sendiri sulit jelaskan. Tujuh tahun ia terbiasa menunggu proyek besar, kesepakatan penting, bahkan keputusan bernilai miliaran.Namun, kali ini yang ia tunggu hanya seorang gadis dan anehnya, itu membuat dadanya lebih berat dari biasanya.“Mari kita lihat, Biya,” gumamnya lirih, tatapannya tajam menembus jendela kaca yang memperlihatkan langit sore yang mulai memerah, “apakah kamu benar-benar berani masuk ke dunia saya?”Dan di sinilah Biya berada, berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang angkuh ke langit sore. Megah, dingin, dan terlalu tinggi untuk seorang dirinya yang kini merasa begitu kecil dan tak berdaya.“Gue bisa, ini Cuma sekedar belajar dan ngga lebih.”Gedung ini bukan hanya sekadar tumpukan beton dan kaca, melainkan simbol dari sosok pria yang menunggunya di dalam. Bagaswara Adi Wiratama- dingin, tegas, tak tersentuh. Dan ia, Biy
“Mas, nggak keberatan ngajarin aku sampai bisa?”Ini sama saja menyerahkan diri pada singa untuk dimangsa.Biya tidak tahu- bahwa selama tujuh tahun terakhir, Bagas menahan gejolak yang terus menggerogoti dirinya. Nafsu, rindu akan sentuhan, dan juga sepi yang menempel erat bagai racun. Tujuh tahun, ia memilih tak menyentuh wanita manapun, membiarkan dirinya terkubur dalam tumpukan proyek dan pekerjaan.Dan kini, tanpa sadar, Biya datang dengan polosnya. Menyerahkan diri dengan dalih belajar ciuman. Seolah ia tak paham bahwa yang sedang ia datangi bukan sekadar pria biasa, tapi seekor singa yang sabarnya sudah lama teruji, dan sekali diterobos, bisa menghabisi segalanya.Bagas menatap layar ponselnya, mendengar suara Biya yang gemetar di seberang. Jari-jarinya mengepal di meja, rahangnya mengeras. Ia tahu, satu kata “iya” darinya cukup untuk meruntuhkan semua batas.Dan Biya, gadis itu benar-benar tidak sadar sedang berdiri di mulut jurang.“Kalau begitu, datang lagi besok ke kantor s
“Lo gila!”Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”Lesi
Pintu terdorong pelan, tapi belum sempat pintu terbuka lebar, suara berat Bagas langsung memotong cepat.“Sakti, simpan dulu di mejamu. Nanti saya lihat.”Biya menahan napas, tubuhnya masih gemetar yang masih dalam rengkuhan Bagas. Jarak tipis keduanya, membuat detak jantung terdengar nyaring. Dari luar terdengar jeda sejenak sebelum Sakti menjawab, “baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu.”Suara langkah menjauh, pintu kembali tertutup perlahan. Bagas mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk sebentar. Biya tetap menunduk, mencengkeram sisi kemeja si pria, merasa nafasnya tak karuan.Tatapan Bagas sempat jatuh ke arahnya lagi—tajam, berat, dan penuh sesuatu yang tak terucap. Tangan besarnya terulur, menyentuh dagu Biya dengan lembut tapi kuat, mengangkat wajah itu untuk mendongak kembali agar tak bisa lari dari tatapan itu.“Ada permintaan khusus untuk cara berciuman kamu?”Biya membelalak, pipinya semakin panas. Ternyata Bagas tidak ingin membuang waktu dan meneruskan apa yang sudah te
Satu kalimat yang mampu membuat Biya terdiam, menelan ludah, sedikit menyesal karena terlalu nekat. Dan disinilah dirinya berada di dalam lift menuju lantai paling atas, ruang kerja direktur utama. Jantungnya berdegup kencang bukan main, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya.Langkahnya pelan, bahkan tangannya gemetar saat mengetuk pintu besar yang menunjukkan betapa tingginya selera seseorang di balik pintu ini.“Masuk.”Begitu pintu terbuka, Biya disambut oleh ruangan luas dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah. Meja kayu gelap, kursi kulit, dan rak penuh dokumen membuat suasana terasa serius dan asing.Aroma kopi hitam samar-samar tercium, bercampur wangi kayu furniture mahal. Dan di sana, di balik meja kerjanya, Bagas sudah duduk. Jasnya dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku, membuat sosoknya terlihat lebih santai tapi tetap berwibawa.Ia menatap laptop di hadapannya sejenak, lalu menutupnya perlahan.Tatapannya naik, langsung bertemu ma