Share

Bagian 6 - Debar Aneh

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 13:10:57

“Lo gila!”

Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.

Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.

“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.

Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.

“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.

Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”

Lesi membelalak, lalu menepuk keningnya sendiri. “Astaga, Biya. Jangan bilang lo beneran jatuh sama dia?”

“Ya nggak mungkin lah, kan gue Cuma minta ajarin doang. Kenapa jadi tiba-tiba ke arah sana,” Biya buru-buru menyangkal, meski tangannya masih refleks menutupi bibirnya.

Lesi mendengus dengan sarkas berkata, “ajarin apaan coba? Kalo lo cuma pengen tau rasanya ciuman, terus kenapa sekarang lo keliatan kayak abis ngerasain hal gede banget?”

Biya menunduk makin dalam. Ia benci betapa kata-kata Lesi ada benarnya. Itu memang bukan sekadar ‘belajar’. Ada sesuatu yang ikut tertinggal di sana—sesuatu yang bahkan sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.

“Les, gue serius, gue nggak ada maksud aneh-aneh. Gue cuma pengen tau caranya ciuman biar nggak diremehin terus, apalagi sama Mahes.” Suaranya merendah, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri.

Lesi terdiam sejenak. Nama itu—Mahes—langsung bikin matanya menyipit. “Astaga, Biya. Lo sadar nggak sih? Lo rela sampe ciuman sama Bagas, sahabat Abang lo sendiri, cuma gara-gara cowok brengsek itu?”

Biya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seolah ingin menahan semua alasan yang sebenarnya ingin keluar. Ia tahu Lesi nggak salah, tapi bagian dalam dirinya selalu terikat pada luka-luka kecil yang Mahes tinggalkan.

“Gue cuma nggak mau keliatan cupu terus, Les. Lo tahu kan Mahes putusin gue karena ngga bisa ciuman. Lagi pula ini kan juga ide lo.” Biya menunduk, jari-jarinya mencubit ujung lengan bajunya sendiri.

Lesi terhenyak. Ada sesal yang langsung menyelinap masuk dalam dadanya. Benar, ide gila itu awalnya keluar dari mulutnya. Tapi ia nggak pernah nyangka Biya beneran nurut.

“Bi… gue cuma bercanda waktu itu. Gue pikir lo paling juga cuma bakal marah-marah, terus move on. Eh, lo malah beneran nekat,” suara Lesi melembut, sedikit diselimuti rasa bersalah.

Biya menghela napas panjang. Merasa bahwa sahabatnya tidak benar-bear serius dalam memberikan ide, tapi sepertinya Biya yang terlalu buntu untuk mencari jalan keluar.

“Ya tapi, Les. Waktu itu gue ngerasa nggak punya pilihan lain. Semua orang nganggap gue nggak cukup. Mahes bilang gue kaku, kayak anak kecil dan lo tau sendiri, kata-kata dia tuh selalu nyangkut.”

Bibirnya berbicara, tapi otaknya mengingat bagaimana mantan pacarnya itu berciuman mesra dengan perempuan lain di hadapannya. Sebegitu cupunya kah Biya bagi Mahes?

Lesi menatapnya dalam-dalam. “Terus sekarang gimana rasanya?”

Biya mendadak terdiam. Tangannya kembali naik menyentuh bibirnya, seakan bayangan Bagas masih ada di sana. Ada rasa asing, hangat, sekaligus menegangkan yang terus menghantui.

“Rasanya… salah, tapi bener,” ucapannya lirih, hampir seperti pengakuan rahasia. Kalau Lesi tidak mendekatkan telinga, mungkin kalimat itu tidak terdegar.

Lesi terdiam. Matanya melebar, mencoba menelusuri wajah sahabatnya yang terlihat kacau—antara bingung, malu, dan jatuh. Perlahan, sudut bibirnya terangkat nakal.

“Bi lo sadar nggak barusan ngomong apa?” tanyanya penuh penekanan.

Biya buru-buru menggeleng, wajahnya memanas. “Gue nggak ngomong apa-apa! Lo salah denger.”

“Ingat Lesi, gue lakuin ini Cuma buat buktiin Mahes kalau gue bukan cewek cupu dan gue bisa ciuman.”

Meski tidak kencang, tapi beberapa orang menoleh ke arahnya, membuat Lesi langsung menutup muka dengan tangannya. Sungguh memalukan. Biya hanya tersenyum canggung dan menepuk bibirnya karena terlalu frontal.

Sedangkan, di gedung tinggi tengah kota. Bagas- pemimpin perusahaan sedang sibuk membolak-balik dokumen. Tangan dan raganya memang sedang sibuk di kantor, tapi pikirannya melayang pada kejadian tempo hari.

“Belajar ciuman, ya,” lirihnya sambil menjilat bibirnya sendiri. Sudah lama Bagas tidak merasakan tekstur kenyal milik seoarang wanita. Selama 7 tahun terakhir, hidupnya hanya dipenuhi dengan pekerjaan dan proyek yang silih berganti.

Biya. Entah kenapa gadis itu berhasil menembus batas yang sudah lama ia pasang. Satu ciuman sederhana—yang katanya hanya untuk belajar—mampu mengguncang seluruh pertahanannya.

Bagas menyandarkan punggung di kursi kerjanya, menutup mata sesaat.

“Gila. Kenapa harus adiknya Arsen.” gumamnya, separuh kesal, separuh tak percaya.

Ingatan tentang tatapan gugup Biya, aroma samar dari tubuhnya, dan detak jantungnya yang berdentum cepat masih jelas di kepala. Bagas meremas pelipisnya sendiri, mencoba mengusir bayangan itu—namun justru semakin terjebak di dalamnya.

Bagas mengambil ponselnya, jarinya sempat ragu beberapa detik sebelum akhirnya menekan nomor tujuan—Biya. Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali, Bagas hampir menutup panggilan ketika tiba-tiba suara lirih di seberang sana menjawab.

“Halo?” Suara Biya terdengar lembut, halus, sama seperti bibirnya yang begitu lembut dan minta di kecup terus-menerus. Memikirkannya saja membuat Bagas harus memejamkan mata, menahan gejolak aneh yang muncul.

Bagas terdiam sejenak. Ada ribuan kalimat yang berdesakan di kepalanya, tapi tak ada satupun yang bisa lolos dari bibirnya. Ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.

“Biya, kamu yakin mau melanjutkan belajar bersama saya?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Biya refleks menggenggam ponselnya lebih erat. Jantungnya berdegup kencang, ia menggigit bibirnya dan berperang dengan otaknya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 140 - Sekian Lama Menahan

    Bagas mendekat beberapa centimeter lagi, membuat nafas Biya memendek.“Jangan tutup wajah kamu,” suara Bagas rendah, berat, hampir seperti gumaman yang tertahan.Helaan napas Biya nyaris terdengar.Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut Bagas bisa mendengarnya.“Saya,” Suaranya parau. “Saya nggak apa-apa, Pak.”“Saya mau lihat apa ada yang terluka,” Bagas mengoreksi pelan tanpa marah. Ibu jari Bagas kembali mengusap pipinya, lebih perlahan. Seolah ia sedang memastikan Biya baik-baik saja.Seolah ia sedang memastikan perempuan itu masih berada dalam jangkauannya.“Saya tidak tahu kamu sudah sedewasa ini sekarang," nada Bagas turun, suaranya dalam, penuh tekanan halus.Biya menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai menggenang di dada.“Pak, saya cuma-”Biya menelan ludah keras-keras. Tangannya bergerak refleks, memegang lengan Bagas.“Tessanya nanti,” ucap Bagas lirih tapi tegas. “Saya ingin memastikan keadaan kamu dulu.”Dada Biya naik turun. Tidak stabil, karena Ba

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 139 - Gotcha, Tessa

    Tessa menegang, apalagi saat melihat senyum miring yang terlihat jelas di wajah Biya. Perempuan itu melangkah mendekat, pelan, terkontrol, seperti sedang menikmati setiap detik sebelum menerkam mangsanya. Kedua tangannya terlipat santai di depan dada, namun matanya menohok tajam."Kamu membicarakan kesalahan design saya begitu detail, Tessa. Itu membuat saya cukup impresif dengan daya ingat kamu, tapi sayangnya kamu melakukan kesalahan dengan membongkar kelakuanmu sendiri."Biya berhenti tepat di depan Tessa, mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya makin menusuk. Tessa mundur setengah langkah tanpa sadar, jari-jarinya mencengkeram binder yang ia pegang.“Sa-saya hanya ingin membantu menemukan pelaku tuduhan plagiasi,” ucap Tessa, berusaha menahan getaran suaranya.“Really?” Biya menaikkan alis sambil tersenyum tipis. "Bukan penasaran dengan reaksi dan respon saya dalam memberikan sanksi dan hukuman pada pelaku?"Biya mendekat, memiringkan kepala seolah sedang mengamati sesuatu yang luc

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 138 - Saya, Mr. Wiratama dan Kamu

    Fakta hubungan masa lalu Mr. Wiratama dan Ms. Biya sudah mencuat kepada seluruh staff kantor. Tidak ada yang dapat memastikan bagaimana respon semuanya, karena setelah Bagas masuk ke dalam kamar mandi, Biya memutuskan keluar. Duduk dikursinya, menunduk dan menatap pekerjaannya."Konyol," gumamnya lirih.Tanpa memedulikan siapapun, tidak berinteraksi dengan siapapun, Biya hanya melakukan pekerjaaannya mencoba membenahi design nya. Ia sudah tidak peduli lagi kalau masalah plagiasi itu tidak terselesaikan, satu yang pasti gadis itu sudah tidak peduli apapun."Ms. Biya," panggil Tessa, salah satu staff dari tim designer."Ya?" Biya mengangkay wajahnya. Setelah sekian lama, gadis itu mendongak dan mendapati Tessa yang berdiri dengan memegang map."Perihal plagiasi sudah diselesaikan oleh Matteo dan Mr... Mr. Wiratama. Kamu tidak perlu mengubah apapun, kita tetap bisa menampilkan design ini."Tidak ada reaksi. Biya hanya terdiam lalu menganggukkan kepalanya. Bahkan ekor matanya tidak menata

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 137 - Perasaan Konyol

    "Why do you looking at me like that?"Sebuah tanya yang Valerie lontarkan begitu tatapan itu terasa mengintimidasi. Meski masih berpenampilan berantakan khas orang baru bangun tidur, tidak menampik bagaimana mata tajam itu menghunusnya."What do you think?" justru Bagas semakin berbalik bertanya dengan nada yang Valeris yakini itu seperti menguji.Biya yang awalnya fokus melihat designya mulai merasa suasana menegang. Tatapannya berpindah dari laptop menuju dua orang yang sedang mengeluarkan aura menegangkan."Kamu pikir aku yang bocorin ide dan semua designnya?" mulai ada nada tinggi dalam kalimat Valerie.Tangan perempuan itu menggenggam erat, seolah bisa meremukkan kukunya sendiri. Di lain sisi, Bagas hanya menelengkan kepala tidak peduli dengan kalimat dan reaksi Valerie."Atas dasar apa kamu mengira saya berpikir seperti itu? Saya hanya bertanya, Valerie."Jawaban Bagas tidak membuat Valerie lega, justru semakin meradang dengan wajah memerah."Aku nggak ada hubungannya dengan des

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 136 - Valerie, Kamu Pelakunya?

    Langkah tergesa itu datangnya dari salah tim yang juga turut serta berada dalam design milik Biya. Sontak saja, keduanya langsung menjauh, dan Bagas melepaskan jemarinya dari wajah si gadis. “Pe-permisi, Mr,” suara anggota tim itu terdengar terburu-buru dan sedikit gemetar. “Saya mendapatkan informasi bahwa yang membocorkan file desain-”Dia terhenti.Terlambat menyadari atmosfer ruangan yang begitu tebal dan aneh. Bagas yang masih berdiri dekat sekali dengan Biya, napas keduanya yang belum stabil, pipi Biya merah, dan kondisi Bagas yang masih berantakan.Kecurigaan dan ketegangan langsung membuat anggota tim itu menelan ludah. Bagas mengangkat dagunya sedikit, ekspresi berubah tajam seperti CEO dingin yang semua orang takutkan.“Lanjutkan,” perintahnya.Anggota tim itu menggenggam tablet di tangannya lebih erat.“File desain Ms. Biya, bocornya bukan dari orang luar, Sir. Kami menemukan jejak akses dari-”Dia berhenti lagi, wajahnya semakin pucat. Biya menahan napas. Bagas menajamka

  • Ajari Aku Ciuman, Mas CEO   Bagian 135 - Wajah itu, Jelas Sekali

    Sementara itu, di kantor pusat yang lampunya masih menyala hingga lewat tengah malam, Bagas berdiri di depan meja Matteo dengan rahang mengeras. Kemejanya sudah dilepas dari kancing teratas, lengan kemeja digulung hingga siku menunjukkan bahwa kesabarannya sudah habis sejak beberapa jam lalu.Matteo menatap layar laptop yang dipenuhi tab berita, komentar, dan potongan unggahan yang menuduh desain Biya menjiplak Skylar.“Saya merasa ini seperti sudah disiapkan dengan matang,” gumam Matteo sambil mengusap wajahnya lelah.Bagas memutar kursinya, menatap monitor besar di dinding. Jejak digital yang baru saja Matteo buka menunjukkan seseorang mengunggah postingan pertama tepat empat menit setelah desain Biya dipresentasikan internal. Mustahil jika orang luar memiliki akses langsung.“Entah bagaimana, saya yakin dia disini,” suara Bagas dingin, rendah.Matteo mengangguk. “Betul, Sir. Ini bukan pekerjaan amatir. Mereka menggunakan akun palsu, tapi servernya masih bisa ditarik. Saya butuh sed

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status