LOGIN“Lo gila!”
Begitulah reaksi Lesi akan cerita yang baru saja keluar dari bibir Biya setelah menceritakan bahwa dirinya sudah berciuman dengan Bagas.
Tidak pernah Biya sangka bahwa ide gila yang keluar dari bibir Lesi, mampu membawanya pada realisasi gila- menghasilkan debaran aneh.
“Bi, gue nggak tahu kalau lo segila ini,” tentu saja Lesi tidak percaya- mengingat temannya selama ini terlihat tenang, kalem, bahkan sering dianggap terlalu polos—ternyata berani juga melakukan hal semacam itu.
Biya terdiam, hanya bisa terus memegangi bibirnya yang masih terasa hangat, seakan bekas sentuhan Bagas enggan pergi. Ada getir, ada malu, tapi lebih dari itu- ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan.
“Lo… nyesel nggak?” tanya Lesi hati-hati, kali ini suaranya merendah.
Biya mengangkat wajahnya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Gue nggak tahu, Les. Gue bahkan nggak ngerti kenapa hati gue berdebar kayak gini. Harusnya gue takut, kan? Tapi kenapa malah pengen lagi?”
Lesi membelalak, lalu menepuk keningnya sendiri. “Astaga, Biya. Jangan bilang lo beneran jatuh sama dia?”
“Ya nggak mungkin lah, kan gue Cuma minta ajarin doang. Kenapa jadi tiba-tiba ke arah sana,” Biya buru-buru menyangkal, meski tangannya masih refleks menutupi bibirnya.
Lesi mendengus dengan sarkas berkata, “ajarin apaan coba? Kalo lo cuma pengen tau rasanya ciuman, terus kenapa sekarang lo keliatan kayak abis ngerasain hal gede banget?”
Biya menunduk makin dalam. Ia benci betapa kata-kata Lesi ada benarnya. Itu memang bukan sekadar ‘belajar’. Ada sesuatu yang ikut tertinggal di sana—sesuatu yang bahkan sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
“Les, gue serius, gue nggak ada maksud aneh-aneh. Gue cuma pengen tau caranya ciuman biar nggak diremehin terus, apalagi sama Mahes.” Suaranya merendah, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri.
Lesi terdiam sejenak. Nama itu—Mahes—langsung bikin matanya menyipit. “Astaga, Biya. Lo sadar nggak sih? Lo rela sampe ciuman sama Bagas, sahabat Abang lo sendiri, cuma gara-gara cowok brengsek itu?”
Biya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seolah ingin menahan semua alasan yang sebenarnya ingin keluar. Ia tahu Lesi nggak salah, tapi bagian dalam dirinya selalu terikat pada luka-luka kecil yang Mahes tinggalkan.
“Gue cuma nggak mau keliatan cupu terus, Les. Lo tahu kan Mahes putusin gue karena ngga bisa ciuman. Lagi pula ini kan juga ide lo.” Biya menunduk, jari-jarinya mencubit ujung lengan bajunya sendiri.
Lesi terhenyak. Ada sesal yang langsung menyelinap masuk dalam dadanya. Benar, ide gila itu awalnya keluar dari mulutnya. Tapi ia nggak pernah nyangka Biya beneran nurut.
“Bi… gue cuma bercanda waktu itu. Gue pikir lo paling juga cuma bakal marah-marah, terus move on. Eh, lo malah beneran nekat,” suara Lesi melembut, sedikit diselimuti rasa bersalah.
Biya menghela napas panjang. Merasa bahwa sahabatnya tidak benar-bear serius dalam memberikan ide, tapi sepertinya Biya yang terlalu buntu untuk mencari jalan keluar.
“Ya tapi, Les. Waktu itu gue ngerasa nggak punya pilihan lain. Semua orang nganggap gue nggak cukup. Mahes bilang gue kaku, kayak anak kecil dan lo tau sendiri, kata-kata dia tuh selalu nyangkut.”
Bibirnya berbicara, tapi otaknya mengingat bagaimana mantan pacarnya itu berciuman mesra dengan perempuan lain di hadapannya. Sebegitu cupunya kah Biya bagi Mahes?
Lesi menatapnya dalam-dalam. “Terus sekarang gimana rasanya?”
Biya mendadak terdiam. Tangannya kembali naik menyentuh bibirnya, seakan bayangan Bagas masih ada di sana. Ada rasa asing, hangat, sekaligus menegangkan yang terus menghantui.
“Rasanya… salah, tapi bener,” ucapannya lirih, hampir seperti pengakuan rahasia. Kalau Lesi tidak mendekatkan telinga, mungkin kalimat itu tidak terdegar.
Lesi terdiam. Matanya melebar, mencoba menelusuri wajah sahabatnya yang terlihat kacau—antara bingung, malu, dan jatuh. Perlahan, sudut bibirnya terangkat nakal.
“Bi lo sadar nggak barusan ngomong apa?” tanyanya penuh penekanan.
Biya buru-buru menggeleng, wajahnya memanas. “Gue nggak ngomong apa-apa! Lo salah denger.”
“Ingat Lesi, gue lakuin ini Cuma buat buktiin Mahes kalau gue bukan cewek cupu dan gue bisa ciuman.”
Meski tidak kencang, tapi beberapa orang menoleh ke arahnya, membuat Lesi langsung menutup muka dengan tangannya. Sungguh memalukan. Biya hanya tersenyum canggung dan menepuk bibirnya karena terlalu frontal.
Sedangkan, di gedung tinggi tengah kota. Bagas- pemimpin perusahaan sedang sibuk membolak-balik dokumen. Tangan dan raganya memang sedang sibuk di kantor, tapi pikirannya melayang pada kejadian tempo hari.
“Belajar ciuman, ya,” lirihnya sambil menjilat bibirnya sendiri. Sudah lama Bagas tidak merasakan tekstur kenyal milik seoarang wanita. Selama 7 tahun terakhir, hidupnya hanya dipenuhi dengan pekerjaan dan proyek yang silih berganti.
Biya. Entah kenapa gadis itu berhasil menembus batas yang sudah lama ia pasang. Satu ciuman sederhana—yang katanya hanya untuk belajar—mampu mengguncang seluruh pertahanannya.
Bagas menyandarkan punggung di kursi kerjanya, menutup mata sesaat.
“Gila. Kenapa harus adiknya Arsen.” gumamnya, separuh kesal, separuh tak percaya.
Ingatan tentang tatapan gugup Biya, aroma samar dari tubuhnya, dan detak jantungnya yang berdentum cepat masih jelas di kepala. Bagas meremas pelipisnya sendiri, mencoba mengusir bayangan itu—namun justru semakin terjebak di dalamnya.
Bagas mengambil ponselnya, jarinya sempat ragu beberapa detik sebelum akhirnya menekan nomor tujuan—Biya. Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali, Bagas hampir menutup panggilan ketika tiba-tiba suara lirih di seberang sana menjawab.
“Halo?” Suara Biya terdengar lembut, halus, sama seperti bibirnya yang begitu lembut dan minta di kecup terus-menerus. Memikirkannya saja membuat Bagas harus memejamkan mata, menahan gejolak aneh yang muncul.
Bagas terdiam sejenak. Ada ribuan kalimat yang berdesakan di kepalanya, tapi tak ada satupun yang bisa lolos dari bibirnya. Ia bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
“Biya, kamu yakin mau melanjutkan belajar bersama saya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Biya refleks menggenggam ponselnya lebih erat. Jantungnya berdegup kencang, ia menggigit bibirnya dan berperang dengan otaknya sendiri.
Melewati lamanya perjalanan menuju Italia dan menuju apartemen sementaranya. Bagas sama sekali tidak membuka suaranya.Sejak tadi pria itu hanya menatap keluar jendela mobil, mengikuti bayang-bayang lampu kota yang memantul di kaca. Sesekali jemarinya mengetuk pelan pahanya, kebiasaan yang muncul ketika kepalanya terlalu penuh.Sopir yang menjemput mereka sudah beberapa kali melirik lewat kaca, memastikan apakah dua orang itu lelah atau sekadar murung. Tapi Bagas tetap seperti patung, diam, tegak, dengan rahang yang sesekali mengencang. Begitu mobil berhenti di depan gedung apartemen, Bagas baru bersuara—hanya satu kata.“Turun.”Biya mengikuti langkah Bagas dengan ragu. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer lobi, gema halus yang terasa terlalu keras dalam kesunyian itu.Lift naik perlahan. Di sudut lift yang luas dan mewah itu, Bagas berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menunduk, napasnya dalam tapi tidak stabil.Biya menatapnya pelan. “Kalau capek, tidak perlu menganta
"Sunshine, I miss you so much."Seorang perempuan yang berpakaian seksi memeluk Bagas. Seorang perempuan yang selalu menempel pada Bagas sejak keduanya bertemu di Italia. "Fuck off. Why are you here?" Bagas mengernyitkan dahi. Seingatnya, tidak pernah memberitahu Valerie akan kepergiannya ke Perancis. Namun, bagaimana bisa perempuan itu tahu dan kembali mengikutinya. "Because I miss you, iam your angel, so thats why i have to always by your side."Jelas. Valerie sedang mabuk dari caranya berbicara, baunya saat berbicara."Oh God," keluh Bagas.Lengan besar itu membawa tubuh Valerie masuk ke kamar hotel dan menendang pintu agar tertutup. Bagas mengeluh akan masalah yang selalu dihadapinya saat bertemu dengan Valerie, seperti membawanya pulang dengan selamat saat mabuk."Berat, selalu menyusahkan," lagi-lagi Bagas mengeluh.Bagas melemparkan tubuh Valeris ke kasur tapi sayangnya lehernya juga tururt di tarik. Tubuh mereka hampir bertubrukan.“Shit, Valerie, let go!” Bagas berusaha me
"ITALI?!" Teriakkan Arsen memenuhi apartemen mereka. Biya baru saja memberitahu abangnya bahwa ia mendapatkan kerja sama di perusahaan Italia- tentunya tanpa memberitahu bahwa perusahaan itu milik Bagas. "Abang, apaan sih. Lebay banget," keluh Biya sambil menggosok telinganya, sakit mendengar teriakan Arsen."Abang nggak kasih ijin.""Dih, ini kan mimpiku. Lagian abang udah janji kan kalau mau mendukung adik kecilmu ini meraih mimpinya," ucap Biya mendramatisir keadaan. "Tapi nggak pindah negara juga, dek. Abang khawatir.""Abang, aku udah gede loh. Udah 28 tahun ini."Arsen memutar bola matanya, menatap adiknya yang kini berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya persis seperti dulu saat merengek minta izin main di taman belakang rumah."Umur nggak jamin kamu bisa jaga diri, Biya," sahutnya datar tapi dengan nada protektif khas seorang kakak yang sulit menurunkan egonya.Biya mendesah pelan, lalu menghampiri Arsen dan duduk di sebelahnya di sofa.“Abang, please. Ini bukan cu
"Selamat datang Ms. Abiya Ardhanaya."Rasanya begitu menganggumkan berada di sebuah tempat di mana mimpinya menjadi kenyataan. Paris Fashion GroupSebuah rumah utama bagi semua mode terkenal di Perancis. Dan, Biya akan menjadi salah satu di antara mereka."Kami senang sekali menantikan kerja sama dengan Anda. Mengingat saya sudah melihat beberapa koleksi yang Anda buat selama masa kuliah. Itu luar biasa."Biya tersenyum sopan, menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan.“Terima kasih banyak. Saya merasa terhormat bisa berdiri di sini,” ucapnya lembut, meski dalam dadanya ada perasaan campur aduk antara gugup dan bangga.Ruangan itu begitu elegan dengan dinding kaca tinggi, karpet merah muda pucat, aroma bunga peony yang lembut, dan cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke Rue Saint-Honoré. Semua terasa seperti mimpi yang akhirnya terwujud.“Saya masih ingat koleksi Anda yang bertajuk Rebirth. Itu seperti metafora kehidupan perempuan yang penuh luka tapi juga kuat. Apa itu
“Formidable, mon amour.”Kalimat itu membuat seorang perempuan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan tuxode hitam dan sepatu mengkilap yang selalu terlihat luar biasa.“ABANG!”Teriak Biya dan memeluk abangnya erat.“Selamat sudah lulus secara cumlaude, adek abang tersayang,” ucapnya sambil membalas pelukan Biya.“Hadiah,” pinta Biya sambil bergelanyut manja di pelukan Arsen.“Iya, di rumah ya.”Tiga tahun sudah berlalu sejak hari di ruang sidang itu, hari ketika semua hal berantakan tapi sekaligus mulai pulih.Abiya Ardhanaya, gadis yang dulu hidup di bawah bayang-bayang dendam dan cinta salah arah, kini berdiri di panggung kehormatan universitas mode di Paris, mengenakan toga dengan pita merah dan topi yang hampir jatuh karena angin musim semi yang lembut.Gadis itu berhasil. Bukan hanya lulus, tapi cumlaude.Sebuah pencapaian yang tidak hanya membuktikan kepintarannya, tapi juga keberaniannya untuk bertahan.Dan Arsen, pria yang dulu marah dan membuat Biy
Arsen memalingkan wajah, tapi genggaman Biya membuatnya sulit benar-benar pergi. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama mengganjal di dadanya.“Jangan nangis, Biya. Abang nggak mau lihat kamu kayak gini,” suaranya serak, tapi dingin.“Abang, maaf,” Biya mendongak, air matanya jatuh deras, suaranya pecah. “Abang boleh marah, abang boleh Jijik sama aku, abang a-aku yang-”“Cukup.”Satu kata itu membuat Biya terdiam. Tatapan Arsen tajam, tapi di baliknya ada luka, ada ketakutan.“Abang nggak mau tahu siapa yang mulai. Karena, yang abang tahu, kamu adik abang, dan kita disini untuk selesain masalah mama dan papa. Setelah semuanya selesai, kita kembali ke swiss, atau kalau perlu kita pindah negara.”Biya menunduk, bahunya bergetar. “Abang.”“Kamu bisa mulai hidup baru dengan bebas. Karena kali ini kita nggak perlu lagi pakai nama samaran, abang akan pastikan kalau bagas nggak akan sentuh kamu atau nemuin kamu lagi. Kamu juga bisa lanjut kuliah lagi, kamu bisa lakui



![Without You [Indonesia]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)



