LOGINArsen menarik kerah kemeja Bagas kasar, napasnya memburu, matanya menyala penuh amarah. “Untuk apa? Untuk apa dia datang ke lo, hah?!”Bagas memejamkan mata sejenak, darah segar di sudut bibirnya kembali menetes, tapi suaranya tetap tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja dipukuli habis-habisan.“Untuk memohon… supaya saya mengajarinya berciuman,”Ruangan itu langsung membeku.Arsen menatapnya tak percaya, napasnya terhenti di tenggorokan. “APA?!” serunya, mendorong tubuh Bagas hingga terhempas ke dinding.Tapi Bagas tetap tidak melawan. Ia justru tertawa kecil, getir, pahit, tawa yang lebih terdengar seperti luka.“Lucu ya, Sen. Dari semua hal yang bisa diminta seorang mahasiswi 22 tahun, dia memilih itu. Bukan karena nafsu, bukan karena iseng, tapi karena katanya, dia dipermalukan tidak bisa berciuman, bercinta oleh mantannya.”Arsen membeku. Urat di pelipisnya menegang, matanya membulat tajam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Lo bilang apa ba
Bagas menunduk, menatap cairan merah tua di gelasnya yang berputar perlahan, seolah mencari jawaban di dasar wine."Pandai sekali kamu dalam menebak isi hati saya. Apa begitu terlihat kalau saya terlalu mencinta gadis itu?" tanya Bagas dengan tatapan masih ke dalam wine.Suara di seberang sana sempat terhenti beberapa detik sebelum Nando menjawab dengan hati-hati,“Saya bekerja cukup lama dengan Bapak untuk tahu, kapan sesuatu atau seseorang mulai menggoyahkan fokus Bapak.”Bagas tersenyum tipis, getir. “Jadi saya benar-benar terlihat selemah itu, ya?”“Tidak, Pak,” balas Nando cepat. “Hanya sedikit berbeda. Biasanya Bapak memisahkan segalanya dengan rapi antara pekerjaan, emosi, bahkan rasa marah. Tapi sejak ada Nona Biya, batas itu mulai kabur. Begitu juga dengan kasus yang sudah bertahun-tahun Bapak kejar, nyatanya sekarang Bapak rela memberikan keringanan hanya karena mereka orang tua Non Biya."Bagas terdiam. Jemarinya mengetuk perlahan sisi gelas yang kini setengah kosong, mencip
“Aku habis berenang, Bang di kolam renang umum. Biar seger hehe.”Nada ringan itu terdengar terlalu dibuat-buat di telinga Arsen. Sama seperti kemarin, jawaban yang tidak masuk akal, senyum yang sama, tapi ada sesuatu yang tidak sama dari sorot mata Biya.Ada tenang yang aneh, tenang yang justru membuat Arsen ingin bertanya lebih jauh. Tapi sayangnya si abang menahan diri. Untuk sekarang, akan lebih baik fokus pada pengajuan banding, bukan pada sesuatu yang bahkan belum bisa di jelaskan.Namun malam itu, ketika Arsen lewat di depan kamar Biya, langkahnya terhenti. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, dan sosok adiknya duduk di tepi ranjang, dengan rambut tersingkap sebelah. Arsen melihat tanda merah samar yang sejujurnya sejak kemarin adiknya itu memakai syal kecil- yang Arsen kira itu sebagai fashion saja."Biya?" panggilnya pelan dari depan pintu.Tubuh adiknya itu menegak cepat, bahunya kaku, lalu buru-buru menarik rambutnya agar menutupi semua sisi lehernya."Bang? Belum ti
Gigitan ringan Bagas di puncak itu, tepat di klitoris yang membengkak oleh hasrat, membuat Biya menggelinjang hebat, pinggulnya bergoyang insting, mencari lebih banyak tekanan."M-Mas... ahh... terlalu... dalem," desahnya, suaranya pecah, tangannya mencengkeram dada Bagas lebih kuat, merasakan otot-otot keras di bawah telapaknya yang basah.Bagas tak menjawab dengan kata-kata, hanya dengkuran rendah yang teredam, getarannya merambat ke seluruh tubuh Biya seperti arus listrik. Mulutnya bekerja dengan rakus tapi terhitung, lidahnya berputar pelan di sekitar lubang yang masih berdenyut dari kenikmatan sebelumnya, menyedot lembut hingga Biya merasa seperti akan runtuh.Biya tertarik pada pemandangan di sana, kejantanan Bagas yang tegak sempurna, panjang dan tebal, urat-uratnya menonjol biru di bawah kulit yang berkilau basah, ujungnya merah muda dan basah oleh cairan orgasme yang menetes pelan ke lantai ubin. Itu seperti patung Yunani yang hidup, berdenyut pelan mengikuti ritme hisapan Ba
Kolam renang ini menjadi bukti serta pengalaman hebat bagi Biya mencapai kenikmatan. Seperti sekarang saat Bagas memutar tubuh Biya hingga punggungnya menempel di dadanya. Tangan besar itu melingkar di perut Biya, naik pelan ke bawah bra, jarinya menyentuh payudaranya dari bawah, mengangkatnya ringan, ibu jarinya menggosok puting yang sudah mengeras. Biya menarik napas tajam, kepalanya terdongak dengan mengeluarkan erangan kecil."Ahh... Mas, pelan," desah Biya. Air membuat segalanya licin, gerakan tangan Bagas terasa lebih halus, lebih menggoda untuk memilin puting itu pelan, tarik-lepas, sambil bibirnya menggigit cuping telinga Biya. Tangan satunya turun, menyusuri perut datar Biya, hingga ke pinggul, lalu ke depan, jari tengahnya menyentuh area sensitif di balik celana dalam yang sudah basah- bukan hanya oleh air kolam."Kamu sudah basah," gumam Bagas serak, suaranya penuh kemenangan. Jarinya menggesek pelan di sana, lingkaran kecil yang membuat Biya menggeliat, pinggulnya bergera
"Kolam renang?" gumam Biya setelah masuk ke salah satu pintu yang sudah diperintahkan oleh karyawan itu sambil memberikan kartu akses. Biya berjalan pelan, mencari Bagas dalam ruang temaram ini. Ruangan ini sangat luas dan seingat Biya hanya ada 2 pintu di lantai 8 ini- yang memungkinkan hanya ada dua ruang kolam renang yang bisa disewa secara privat, mengingat ada kolam renang umum di lantai 4. Biya menelan ludah, menatap sekeliling. “Mas Bagas?” panggilnya pelan, tapi suaranya justru bergema lembut, menyentuh permukaan air yang hening.Tak ada jawaban. Hanya suara mesin filter air dan tetes kecil dari pancuran di sisi kolam. Ia berjalan lebih jauh, tumit sepatunya bergema di lantai batu. Kepalanya menunduk sedikit, memperhatikan bayangan tubuhnya yang memantul samar di permukaan air. Lalu...“Biya.”Suara berat itu muncul begitu saja dari sisi lain ruangan. Suara yang ia kenal, yang bisa membuat jantungnya seolah kehilangan ritme seketika.Disana, Bagas hanya mengenakan celana hit







