Hingga beratus kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Entahlah? Dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak pada lelaki berkebangsaan Prancis itu. Hatinya seperti tersirami melihat tingkah konyol Marc. Lelaki itu sudah berhasil mencuri hatinya.
***Meyyis***
Zahra pura-pura tidak terpengaruh dengan perbuatan kecil Marc. Dia membuat alaram untuk setiap istiwa sholat. Setelah itu, mengembalikan ponsel Marc kembali. Lelaki itu mengantongi ponselnya kembali. Lelaki tiga puluhan tahun itu mengajak Zahra untuk membeli es krim. Zahra seperti anak kecil berlari ke arah penjual es krim itu. Memang, siapa pun tidak sanggup menolak pesona panganan manis itu. Rasa coklat menjadi pilihan demikian juga dengan Marc.
“Kau menyukainya?” tanya Marc.
“Iya, demikian juga dengan anakku. Kami penggila es krim.” Wanita pecinta warna coklat itu sesekali menjilat es krim tersebut. Jujur saja, Marc ingin sekali mengelap mulut belepotan Zahra. Tapi di tahannya. Hingga hanya tangannya saja yang maju untuk membersihkan bibir bawah Zahra.
“Ah, belepotan, ya?” Zahra mengulang mengelap mulut belepotannya dengan punggung tangannya. Hatinya menciut karena malu. Dia sudah dewasa, tapi mengapa masih belepotan? Saat ini ingin rasanya dia menenggelamkan wajahnya ke lautan atlantik agar tidak terlihat oleh Marc.
“Kau malah cantik seperti itu.” Zahra menyembunyikan wajahnya ke arah samping.
“Marc, kita harus segera kembali. Ada salat Tarawih yang masih harus kita lakukan.” Marc mengangguk. Ingin rasanya dia mengulurkan tangannya untuk menggandeng Zahra. Tapi diurungkan niatnya. Kata-kata Jason terngiang kembali ditelinganya. Ah, rasanya serba salah. Jika demikian, dia ingin segera meminang wanita berjilbab itu menjadi sang istri. Jangankan menggandeng, memeluknya saja menjadi suatu keharusan. Marc menjadi gemas sendiri pada pikirannya. Dia menggelengkan kepalanya berharap pikiran itu akan enyah dari kepalanya.
Zahra berbalik karena Marc tidak juga menyusul ke arah mobil. Dia melihat lelaki itu menggeleng, sehingga Zahra bertanya dengan yang dilakukannya.
“Kenapa?” tanya Zahra.
“Tidak ada.” Marc berjalan menuju ke mobil menyusul Zahra. Ada banyak hal yang dia dapat dari kejadian hari ini. Seorang wanita sederhana mampu membawanya ke arah yang lebih baik. Lelaki berparas tampan itu membuka pintu kemudi kemudian duduk di ruang kemudi. Keputusannya untuk datang ke Indonesia adalah sebuah keajaiban yang Tuhan berikan. Sebelumnya dia tidak mengenal apa itu agama dan Tuhan? Dengan mengenal Zahra kemustahilan itu terhempas. Dia mulai menuju ke sana. Pengalaman ini sangat berharga untuknya. Lelaki berkulit putih itu menyalakan mobilnya untuk mengantar Zahra pulang. Ini sudah pukul tujuh malam, kata Zahra saatnya salat Tarawih. Tapi mungkin untuknya malam ini absen dulu. Sebab belum mandi seharian.
Mereka bersama dalam diam. Insiden-insiden lucu tadi menjadikan kecanggungan diantara mereka. Zahra juga tidak kuasa untuk memulai pembicaraan hingga sampai di depan rumahnya. Marc sudah tahu rumah Zahra karena agensi memberikan semua data detail milik Zahra.
Wanita bergaun senanda dengan kerudungnya itu turun dari mobil Marc. Dia menoleh ketika lelaki itu memanggilnya kembali sebelum masuk ke halaman rumahnya.
“Mimpi indah. Boleh juga mimpikan aku. Tapi sepertinya sebelum tidur aku akan mengganggumu terlebih dahulu terkait salat Tarawih itu.” Marc mengedipkan matanya. Zahra tersenyum hingga membuat Marc diatas angin. Lelaki itu melajukan mobilnya untuk meninggalkan pelataran rumah Zahra. Sedangkan Zahra sendiri memegang dadanya yang terasa berdegup kencang.
“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.
“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.***Meyyis***Zubaedah mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh putri satu-satunya itu. Dia yang sudah siap dengan mukena menutupi tubuhnya akan pergi ke masjid. Demikian juga dengan putri kecilnya Jelita. Anak kecil yang memiliki keistimewaan itu sudah siap dengan mukena warna merah muda berbunga warna-warni. Anak itu mengatakan dengan tangannya apa yang terjadi?“Tidak apa-apa, Sayang. Ma, mungkin Zahra akan tarawih sendiri di rumah. Kalau tidak nanti menyusul. Belum mandi juga.” Zubaedah mengangguk seraya menggandeng tangan cucunya. Wanita paruh baya itu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Zahra berjalan pelan ke arah kamar mandi. Dengan tang ki
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.“Tidak ada, hanya ngapain tadi telepon sampai banyak banget. Aku mau mengomelimu.” Zahra mengirim pesan itu. Tepat seperti yang dibayangkan bahwa Zahra juga seperti perempuan pada umumnya yang bawel.“Mau tanya salat Tarawih.” Marc menyertakan emotion kepala nyengir.“Oh.” Itu yang di katakan Zahra. Kemudian wanita itu mengirim link vidio agar Marc berajar salat tarawih dari vidio tersebut.“Aku tidak ingin vidio, aku ingin kamu.” Hening ... Zahra hanya terdiam tidak mampu melakukan apa pun. Ah, apa yang dipikirkan oleh lelaki tiga puluh tahun itu? Bukannya sama saja? Malah lebih bervariasi belajar dari you tube.***Meyyis***
“Ada apa Pak Hasan?” tanya Salman yang baru saja datang. Akhirnya Salman yang menawarkan pada Marc, kalimat yang ditanyakan oleh pria bernama Hasan tersebut barulah Marc paham. Marc mengikuti Salman untuk membersihkan diri. ***Meyyis*** Esok harinya Marc menjemput Zahra sudah dengan dirinya yang berbeda. Tidak lagi Marc yang menggoda Zahra. Lelaki itu tampak menjaga diri. Walau sejujurnya dia ingin sesekali menggoda wanita itu. Hari-hari terlewati dengan mulus. Hingga satu hari harus bertemu dengan klien. Kali ini Zahra juga ikut. “Kita ketemu partnert di kantornya, Za. Karena sedang puasa, tidak mungkin bertemu di restoran.” Zahra hanya mengangguk. Sesekali Mrc melirik ke arah Zahra. Meneliti kembali sebenarnya apa yang dimiliki Zahra, sehingga hari-harinya begitu sunyi tanpa wanita itu? Semakin dia menelisik semakin Marc jauh dari kata sepakat dengan hatinya. Kepalanya bilang untuk menghentikan kegilaan ini, karena Marc
Zoya memang gemar belanja mewah dan jalan-jalan ke luar negeri. Berbeda dengan Zahra yang tidak suka berfoya-foya. Hanya sesekali saja, dirinya berbelanja. Hal itu juga kalau tidak butuh-butuh amat.Zahra sudah meremas tangannya. Tatapan Raehan yang terkesan merendahkan membuat Zahra tidak nyaman.***Meyyis***Marc yang menyadari perubahan tingkah laku Zahra mengembuskan napasnya lelah. Mereka berbincang ringan awalnya. Kemudian berbincang sedikit serius sampai menuju ke intinya. “Bisakah tidak ada orang lain saat perbincangan bisnis kita?” Raehan mulai berulah. Marc mengeratkan rahangnya.“Dia bukan orang lain bagi saya. Bagi Anda mungkin sudah menjadi orang lain. Tapi tidak dengan saya. Keputusan saya tergantung dari keikhlasan dia.” Marc dengan gentle membungkam mulut sampah Raehan. Lelaki yang beberapa tahun lebih tua dari Marc tersebut merasa konyol. Kebenciannya pada Zahra sepertinya merubahnya tid
“Kita masuk ke sana lagi?” tanya Zahra. Marc menggeleng. Dia tidak lagi berkeinginan bekerja sama dengan Raehan. Menurutnya, lelaki itu tidak profesional. Bukan hanya tentang perangainya yang buruk terhadap Zahra. Namun akan sangat sulit nantinya bekerja sama dengan orang yang tidak profesional.Zahra merasa menyesal. Seharusnya dia tidak ikut saja tadi, beralasan apa begitu untuk menghindar. Zahra sungguh tidak ingin menjadi penyebab seseorang kehilangan rizeki. Walau itu mantan suaminya, terlebih Marc seorang mualaf yang baru semalam mengikrarkan diri menjadi Muslim.Zahra memandang lekat wajah Marc yang fokus menatapnya. Dia mulai memilin ujung jilbabnya karena merasa tidak nyaman dan merasa bersalah. Sepersekian menit mereka saling diam untuk menarasikan pikirannya masing-masing.“Aku minta maaf, Marc. Karena aku, kau kehilangan miliyaran.” Marc menggelengkan kepala
“Hai, Jelita.” Marc berbicara dengan tangannya mengeja nama Jelita. Lelaki itu terlihat mahir melakukannya.***Meyyis***Zahra menganga sampai mulutnya terbuka. Lelaki itu penuh kejutan. Dia bahkan lebih piawai dari pada dirinya. Wanita tiga berhidung mancung itu sepersekian detik terpaku dengan yang dilakukan oleh pria berkebangsaan Prancis tersebut.“Kondisikan mulutmu, nanti batal kalau lalat mampir.” Selalu Marc mampu membuat Zahra tak berkutik. Sedangkan Jelita memandang bergantikan wajah mamanya yang shock dan wajah lelaki yang katanya teman mamanya itu.“Oh, mama lupa mengenalkan pada Jelita. Itu namanya Uncle Marc.” Ajaib! Jelita langsung mendekat dan memeberikan tangannya untuk meraih tangan Marc dan menciumnya. Ini kejadian langka. Sebab, selama ini Jelita takut dengan makhluk yang bernama laki-laki. Dengan Ruben yang sering berkunjung ke ru
“Dia baik, sepertinya menyukai Jelita juga. Kau tidak berpikir untuk menikah dengannya?” Zahra hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa ibunya berpikir demikian. Marc adalah kliennya. Dia hanya bekerja pada Marc sebagai tour guide untuk menemani perjalanannya. Belum tentu Marc mencintainya juga. Apalagi dengan statusnya.BAB XIKAU SUDAH KHITAN?“Ma, aneh-aneh saja. Mana mungkin dia menyukaiku. Marc itu klienku, jadi jangan berpikir macam-macam.kebetulan saja, dia bisa bahasa isyarat.” Zubaedah tersenyum. Dia sudah banyak makan asam garam. Mendekati Jelita adalah trik Marc untuk mengambil hati Zahra. Tidak mungkin Zubaedah salah menerka. Bahkan pandangan lelaki itu terhadap putrinya adalah tatapan terpesona dan mengharap.“Kalau dia menyukaimu?” Zahra berhenti mengangkat pakaian itu. Dia berpikir sejenak, kemudian menggeleng.&ldqu
Ternyata dia seorang psikolog, kenapa berbisnis? Bisnisnya juga jauh dari keahliannya. Zahra mulai menaruh kekaguman terhadap lelaki itu. Bukan pria terhadap wanita pada umumnya. Tapi manusia kepada manusia yang memiliki tingkat kecerdasan yang melebihi dirinya.***Meyyis***Hari demi hari urusan Marc hampir tidak ada kendala. Dirinya juga menyempatkan diri mengikuti kajian. Malam hari praktis dirinya jarang di apartemen. Waktunya digunakan di pondok pesantren untuk mengkaji agama. Satu yang luput ditanyakan oleh Kyai Kholid. Bahwa dirinya sudah khitan atau belum.“Pak Kyai, saya ingin menikah. Bagaimana hukumnya?” Pak Kyai Kholid tertawa mendengarnya.“Dengan wanita muslimah?” tanya Kyai Kholid.“Tentu saja.” Pak Kyai Kholid mengangguk. Lelaki paruh baya itu baru ingat satu hal. Bahwa Marc berasal dari luar negeri. Jarang orang s