Kecanggungan semakin terasa di antara mereka. Keduanya hanya diam saja. Hati mereka merasa kacau. Hanya bungkam yang bisa mereka lakukan. Hanya sesekali Zahra menunjukkan jalan untuk mereka sampai di sebuah tempat. Lelaki dewasa itu hanya menuruti Zahra arah yang dituju. Ternyata mereka sampai di sebuah taman kota. Terlihat bangku-bangku panjang di sana. Permainan anak-anak dan beberapa orang yang menghabiskan waktu bergembira bersama keluarga.
Marc meminggirkan mobilnya dan menguncinya. Setelah mendapatan nomor parkir, maka Brian menyusul Zahra yang sudah lebih dulu berjalan. Zahra menemukan bangku kosong di tepi taman yang jauh dari permainan anak-anak agar mereka lebih tenang berbicara. Marc duduk di samping Zahra.
“Kita mulai dari mana?” tanya Marc.
“Ha?” Zahra belum sepenuhnya kembali ke pikirannya. Dia bertanya maksud Marc.
“Kita mulai belajar dari mana?” Zahra tertawa. Dia menertawakan dirinya sendiri karena mengira bahwa yang ditanyakan Marc adalah sesuatu yang menyangkut pada dirinya. Zahra menggelengkan kepalanya. Dia merasa sangat bodoh ketika pikirannya tidak mampu menangkap pembicaraan bersama Marc.
“Oh, iya. Mulai dari salat saja. Seorang Muslim memeliki kewajiban salat lima kali .... “ Zahra menjelaskan dengan panjang dan lebar seluruh hal tentang salat. Lelaki bermata almond dengan iris coklat itu memperhatikan. Entah yang masuk ke dalam otaknya adalah pelajarannya atau bahkan pesona Zahra. Diperhatikan seperti itu, Zahra salah tingkah. Wanita itu merasa tidak nyaman.
“Terus?” Marc sangat suka melihat Zahra yang banyak bicara. Dia sudah membayangkan banguntidur dengan seluruh omelan Zahra karena dirinya yang suka tidur dengan bertelanjang dada. Atau dirinya yang susah bangun padahal harus mengantor pagi-pagi buta.
“Marc kau mendengarkanku?” Merasa Marc hanya memandnagnya tanpa menyahut, maka Zahra memastikan bahwa Marc masih fokus mendengarkannya.
“Iya, kau sangat cantik.” Zahra menyatukan pangkal alisnya. Ternyata Marc berfantasi lain pada keterangannya.
“Pelan-pelan saja, ya? Sepertinya kau sudah lelah. Selanjutnya, besok kau harus salah Subuh. Aku bantu menyalakan alaram. Jadi setiap ada azan kamu harus salat.” Marc memberikan ponselnya. Namun masih terus fokus pada wajah cantik Zahra yang semakin menarik dengan terpaan remang lampu taman tersebut.
Lelaki itu bersender di sandaran bangku itu, dengan satu tangannya berada di sandaran sebagai tumpuan. Pikirannya entah sudah sampai di mana? Yang jelas dia membayangkan masa depannya dengan Azahra. Wanita nusantara yang anggun dan cerdas. Zahra berkali-kali gagal membuka ponsel Marc karena menggunakan sensor sidik jari.
“Marc aku tidak bisa membukanya.” Zahra menunjukkan layar ponsel tersebut.
“Kau sudah membukanya dan masuk ke dalam hatiku.” Zahra mengerutkan keningnya sekali lagi. Sebenarnya arah pembicaraanya kemana? Apa yang Marc pikirkan.
“Jangan bercanda Marc.” Marc melingkarkan tangannya seakan memeluk Zahra. Wanita itu kaget bukan kepalang. Namun ternyata Marc hanya mengambil ponselnya saja. Lelaki itu memegang jari Zahra dan mengganti sandinya hanya berpola saja dengan jari telunjuk milik Zahra.
“Sudah ‘kan? Kau mengetahuinya.” Jantung Zahra bagai terlepas dari pengaitnya. Lelaki ini membuatnya salah tingkah. Seharusnya Zahra marah dengan tingkah Marc yang sembrono. Tapi nyatanya dia tidak bisa. Hingga beratus kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Entahlah? Dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak pada lelaki berkebangsaan Prancis itu. Hatinya seperti tersirami melihat tingkah konyol Marc. Lelaki itu sudah berhasil mencuri hatinya.
***Meyyis***
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga