Ternyata dia seorang psikolog, kenapa berbisnis? Bisnisnya juga jauh dari keahliannya. Zahra mulai menaruh kekaguman terhadap lelaki itu. Bukan pria terhadap wanita pada umumnya. Tapi manusia kepada manusia yang memiliki tingkat kecerdasan yang melebihi dirinya.
***Meyyis***
Hari demi hari urusan Marc hampir tidak ada kendala. Dirinya juga menyempatkan diri mengikuti kajian. Malam hari praktis dirinya jarang di apartemen. Waktunya digunakan di pondok pesantren untuk mengkaji agama. Satu yang luput ditanyakan oleh Kyai Kholid. Bahwa dirinya sudah khitan atau belum.
“Pak Kyai, saya ingin menikah. Bagaimana hukumnya?” Pak Kyai Kholid tertawa mendengarnya.
“Dengan wanita muslimah?” tanya Kyai Kholid.
“Tentu saja.” Pak Kyai Kholid mengangguk. Lelaki paruh baya itu baru ingat satu hal. Bahwa Marc berasal dari luar negeri. Jarang orang s
Angin malam melambaikan rambutnya tersebut hingga aura ketampanannya sulit dihempaskan dari wajahnya. Remang cahaya rembulan tepat menusuk ke wajah gagahnya. Sampai sangat larut, lelaki itu berada di balkon. Angin malam yang menusuk karena mulai dini, membuat dia goyah dan masuk ke dalam.Rasa kantuk mulai menggerayangi matanya. Dia berbaring. Sebelum itu, membuka ponselnya dan terlihat walpappernya wajah Zahra yang sedang tersenyum bersama Jelita di pangkuannya. Lelaki itu tersenyum dan mengapsen setiap inci kulit gambar itu, kemudian mengecup layar ponselnya. Biarkan malam ini hanya layar ponsel yang menyentuh bibirnya. Dalam hati dia yakin bahwa suatu hari Allah akan menjawab setiap doa-doanya.***Meyyis***&nbs
Sambil menunggu imsak, Zahra meminta Marc untuk gosok gigi. Dia memberikan sikat baru pada Marc. Setelahnya, mereka saling bercengkarama di ruang keluarga sambil sesekali nyemil buah yang sudah dipotong.“Zahra, besok antar aku khitan, ya?” Zahra tersedak air putih yang sedang dia minum.***Meyyis***Marc bangkit akan menolong Zahra. Tapi wanita itu mengangkat tangannya dan menyuruh Marc duduk kembali. Zubaedah tak kalah kagetnya jika Marc belum di sunat. Batin Zubaedah, “apa nggak alot sudah bangkotan?” Dia ingin tertawa tapi merasa kasihan. Tidak tertawa tapi sangat lucu. Akhirnya wanita senja itu hanya menahan tawanya di dada saja, sehingga perutnya terasa sakit. Demikian juga dengan Zahra. Dia kaget sekaligus ingin tertawa. Namun takut Marc tersinggung.“Ehem, ehem, kau besok ada pertemuan. Sebaiknya ajukan saja pertemuan itu. Setelah itu, baru pergi ke dokter. Habis di sunat itu
Sebelum benar-benar pergi, Marc memandang wajah Zahra intens. Matanya seolah mengatakan bahwa Marc menginginkan Zahra untuk mendampinginya. Tapi entahlah! Pakah Zahra memiliki perasaan yangs ama? Tiba-tiba ada perasaan psimis.“Terima kasih. Aku jalan dulu.” Marc masuk ke dalam mobilnya dan melaju.***Meyyis***Zahra menunggu hingga Marc menghilang ditelan tikungan jalan. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia tersenyum menuntaskan rasa gelinya. Bagaimana rasanya sudah besar baru saja disunat. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak. Zahra memilih untuk masuk ke tempat salat kecil yang ada di rumahnya. Beberapa lembar ayat untuk mengisi waktu sampai mentari menyapa dunia.Zahra sudah selesai membaca Al-Qur’an saat Jelita menangis karena kehilangan Marc. Dia berjalan mondar-mandir karena Marc tidak pamit dengannya.“Hai, Cantik! Menangis?” Jelita menggerakkan tangannya untuk bic
“Sudah, Nak. Nanti Uncle datang, Mama belum siap.” Jelita menyelesaikan mandinya. Gadis belia itu keluar dengan handuk yang sudah membalut tubuhnya. Zahra mengajari caranya mengenakan baju. Jelita menurut.***Meyyis***Zahra sudah siap ketika Marc datang. Dia baru saja selesai memakai kerudung setelah memakai gaun warna krem. Marc tersenyum melihat wanita itu keluar dengan gaun mengagumkannya. Jelita yangs ejak tadi bergelayut manja di leher Marc turun. Jelita menggandengan Zahra dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya menggandeng Marc. Kedua orang dewasa itu saling tatap dalam diam, tapi mengisyaratkan suatu bahasa kalbu yang hanya mereka yang mengerti. Jelita mencium pipi Marc juga Zahra secara bergantian. Wanita itu sedikit mendorong keduanya menandakan mengijinkan keduanya untuk pergi.Dari kejauhan Zubaedah datang. Dia tahu kalau anaknya mau pergi kerja. “Kalian hati-hati ya?” Marc meng
“Kau bisa memikirkannya dulu. Kuharap, kamu tidak menggeneralkan seluruh laki-laki pasti brengsek dan mau enaknya saja. Aku ikhlas apa pun nanti yang menjadi keputusanmu. Ijinkan aku untuk tetap dekat dengan Jelita, walau kau mengatakan tidak padaku.” Merc memang sudah sangat mencintai Jelita. Lelaki itu dapat melihat keistimewaan dari belia berumur enam tahun itu. Dia akan tetap menyayanginya, walau cintanya ditolak oleh Zahra. ***Meyyis**** Marc sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia akan libur selama tiga hari untuk melakasnakan niatannya dikhitan. Lelaki keturunan inggris itu akan menyucikan diri dengan melaksanakan khitan itu. Hatinya sudah mantap dengan pilihan ini. Walau akhirnya nanti berjodoh atau tidak dengan Zahra, dia tidak goyah. Senja sudah mulai menguning. Marc sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja dibantu Zahra. Sekarang, Zahra beralih tugas dari hanya penunjuk jalan, menjadi asistennya.kebetulan Zahra tahu tentang pekerja
Marc sesekali mengambilkan menu untuk Zahra. Semakin sudah Zahra bertindak obyektif. Semoga apa pun yang dipilih Zahra, merupakan kebaikan dan yang paling tepat untuk mereka. Marc dan Zahra sudah selesai berbuka. Beberapa makanan tidak habis, maka dibungkus. Tidak lupa, satu pack macaron yang warna-warni untuk Jelita. Hati Zahra menghangat. Setiap hari memang Marc selalu tidak lupa untuk membelikan Jelita oleh-oleh.***MEYYIS***Zahra dan Marc sudah beranjak dari restoran itu. Sebelumnya mereka sudah salat di masjid kecil yang ada di restoran itu. Mereka akan menuju praktek Dokter Reza. Hati Marc sangat dag dig dug. Jantungnya bergetar demikian kencang. Aliran darahnya mengalir lebih cepat. Padahal sudah di pol pendingin ruangan paling kecil temperaturnya. Zahra saja sampai kedinginan. Tapi Marc merasa kegerahan dan keringat membanjiri dahinya.“Marc, kalau kau tidak yakin, tidak usah saja. Besok masih bisa.”
“Maaf, monggo silakan.” Mbok Siti mempersilakan Zahra untuk menikmati hidangan. Zahra terlihat tidak tenang.Mbok Siti adalah pribadi yang santun. Dia juga hangat. Wanita paruh baya itu mencoba menenangkan Zahra. ***Meyyis*** Zahra berbincang dengan Bi Siti. Namun dalam perbincangannya tidak fokus. Sebab sebelum Marc pergi pun lelaki itu terlihat ketakutan. Keringat dingin bercucuran. Ingin rasanya dia menemani. Namun tidak mungkin, bukan mahramnya. “Biasanya berapa lama, Bi.” Tanya Zahra. Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu di tanyakan sebab Bi Ziti juga pasti kurang tahu. “Kalau anak-anak sebentar, Nona. Tapi tidak tahu kalau orang dewasa.” Saliva sudah tertelan. Zahra meremas jari-jarinya untuk menetralkan kegalauannya. Berkali-kali Zahra terlihat melogok ke arah belakang tempat klinik itu berada. Seolah-olah dapat terlihat yang sebenarnya sia-sia saja. “Aaa .... jangan!”
“Sudah, ini ada sisa terus dibungkus.” Zahra meletakkan panganan itu di kulkas. Zahra pamit untuk mandi. Wanita itu meraih handuknya kemudian mengguyur seluruh tubuhnya berharap bayangan Marc juga dapat lenyap dari kepalanya. Tapi ternyata sia-sia saja.***MEYYIS***Marc terbangun dengan kebingungan. Pasalnya, saat memindai ini bukan kamarnya. Lelaki dengan baju warna putih itu mencoba akan bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi. Namun bagian selangkangnya merasa berdenyut. Dia meringis.“Oh, iya, aku baru saja di khitan. Zahra ke mana ya?” Tenggorokan Marc merasa sangat kering. Dia ingin minum air putih. Lelaki itu keluar dari klinik itu dengan tertatih dan memegang bagian kain yang tepat di depan. Rasanya nyeri jika kain itu menyentuh alat vitalnya yang masih basah terluka. Dia membuka pintu. Lelaki itu berjalan ke lorong. Bermaksud mencari Zahra.“Tuan, ada perlu apa? M